Pangkalpinang (ANTARA) - Saat ini menyeruak ramai istilah keren WFA (work From Anywhere) dan WFH (work from home), istilah WFH saat pandemi covid sudah dikenali masyarakat khususnya aparat pemerintahan, karena pada saat itu sedang terjadi pandemi Covid 19 sehingga pemerintah mengambil keputusan untuk membolehkan bekerja dari rumah (WFH).
Kita maklumi alasan yang mendasari hal tersebut karena kedaruratan akibat adanya wabah penyakit virus Covid 19. saat ini kita sekali lagi dikagetkan dengan kebijakan Pemerintah yang dipelopori oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan memberikan fleksibilitas bekerja di rumah atau dimana saja selama dua ( 2 ) hari (WFA) dan tiga (3) di kantor (WFO).
Alasan yang mendasari adalah adanya pemotongan anggaran yang dilakukan Pemerintah sesuai dengan Inpres nomor satu (1) Tahun 2025 yang ditetapkan tanggal 22 Januari 2025 serta Surat Menteri Keuangan nomor S-37 / MK.02/2025. melalui ketetapan inpres tersebut didapat Rp306,69 triliun dari total belanja negara sebesar Rp3.621,3 Triliun.
Tentunya pemotongan ini membawa konsekuensi ke setiap kementerian dan lembaga juga pemerintahan daerah. Berbagai opsi penghematan yang dilakukan melalui pemangkasan anggaran dinas luar, operasional sehari-hari, pertemuan dan rapat-rapat serta melakukan penerapan WFA.
Semua kebijakan yang dilakukan itu positif dan memberi pelajaran bagi birokrasi pemerintahan ternyata masih bisa dilakukan penghematan atas biaya yang selama ini dikeluarkan. Khusus untuk WFA tentunya perlu dicermati karena prasyarat mendasar untuk penerapan ini haruslah memperhatikan berbagai aspek.
Penerapan WFA harus didukung infrastruktur teknologi mulai dari jaringan internet, data base, aplikasi umum dan khusus, paket internet baik dari sisi pemerintahan serta yang tak kalah penting adalah tata kelola atau mekanisme pekerjaan WFA itu harus ada manual book serta regulasi yang berisi ketentuan punishment and reward seandainya dalam proses berjalan WFA ada oknum pegawai yang melanggar. tentunya ini perlu waktu yang cukup untuk mengkajinya.
Penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) sudah ditetapkan sejak tahun 2018 yakni dengan ditetapkan Perpres 95 tahun 2018. kemajuan yang dicapai cukup signifikan dimana se Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memperoleh nilai baik (4 Kabupaten) dan sangat baik termasuk Provinsi nilai sangat baik.
Indikator ini menunjukkan kesiapan daerah di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah memiliki kesiapan dalam menjalankan WFA tapi ini dari sisi Pemerintahan sedangkan dari sisi kepegawaian yang menjalan WFA apakah sudah memiliki kesiapan yang sama sulit kita prediksi.
Saat penerapan WFH di masa Covid 19 yang lalu banyak pegawai menganggap WFH sama dengan liburan karena mekanisme yang mengatur melalui regulasi hanya berupa jadwal bukan formulasi tata cara WFH. sehingga saat terjadwal kena di WFH maka yang bersangkutan merasa tidak memiliki beban karena belum ada regulasi serta aturan lainnya. tentunya Pemerintah dalam hal ini BKN sudah memiliki mekanisme yang jelas terutama dalam tata cara bekerja WFA.
Karena posisi yang bersangkutan dapat berada dimana saja , jangan sampai ada kejadian atau kebutuhan yang mendesak posisi pegawai yang dibutuhkan tidak terlacak karena lost sinyal karena kebetulan di daerah sekitar pegawai masih blank spot.
kita bersyukur di Kepulauan Bangka Belitung untuk akses internet nomor dua (2) setelah DKI Jakarta demikian juga untuk lingkup pemakaian jaringan internet masih masuk 10 besar daerah yang melek internet. sedangkan daerah blankspot makin berkurang masih sekitar 28 daerah yang masih blank spot.
Dampak WFA juga harus melihat beban yang akan bertambah bagi pegawai karena mereka akan membeli paket data untuk mengakses internet karena masih kurangnya fasilitas wifi gratis apalagi jika WFAnya mereka bekerja di kebun yang mungkin akses internetnya masih 2G atau bahkan tidak ada sinyal.
Akses untuk mengambil data dan berkomunikasi visual memerlukan akses 4G. belum lagi perangkat yang dipakai minimal harus memiliki Random Acces Memory diatas 4GB dan penyimpanan untuk data yang besar di atas 16 Gb bahkan untuk pekerjaan teknis memerlukan ruang penyimpanan yang lebih besar lagi.
Jika mereka belum memiliki peralatan tersebut maka perlu upgrade ke perangkat yang tinggi lagi dan ini tentunya perlu biaya yang tidak sedikit. penambahan atau kebutuhan terhadap perangkat sudah keharusan untuk berjalannya WFA. Persoalannya siapa yang mendanai kebutuhan tersebut. ibarat tentara tidak memiliki senjata, bagaimana ia bisa bertempur di medan laga.
Sebagai aparatur sipil negara maka kelengkapan peralatan seharusnya disiapkan oleh Pemerintah, karena perubahan mekanisme atau tata cara dengan digitalisasi harus disiapkan. beberapa perangkat HP ada yang sudah memiliki akses yang memadai untuk mengirimkan dan menerima data apakah proses penggunaannya sudah dipahami secara maksimal.
Belum maksimal hal tersebut karena kurangnya pemahaman terhadap peralatan tersebut berakibat komunikasi antar muka tidak berjalan dengan baik pada akhirnya berakibat adanya penilaian buruk dari atasan. Karena respon yang diharapkan tidak sesuai ekspektasi pimpinan.
Siapa yang akan memperkuat kapasitas dan kapabilitas yang bersangkutan agar penerapan digitalisasi berjalan dengan baik, keengganan pegawai terhadap pemakaian teknologi ini juga berakibat adanya pihak tertentu yang akan diminta bantuannya apakah sudah ada pemahaman terhadap keamanan siber karena adanya celah terbuka apalagi kunci atau passwordnya diberikan kepada orang lain yang tidak memiliki konsekuensi hukum.
Bocornya informasi tidak hanya disebabkan kelihaian hacker namun sebagian besar disebabkan human error dari user atau pemakai tehnologi. Selain itu peran Badan Kepegawaian dalam memonitor dan memverifikasi berjalannya WFA ini sangat sulit, apakah memiliki panduan IT yang cukup karena suatu saat perlu cek and ricek status posisi pegawai yang ada.
Belum lagi hasil pekerjaan yang sudah diselesaikan dalam kegiatan sehari, berbeda dengan secara manual dilihat dari absensi harian yang ada. seandainya ada anywhere melenceng jauh dari kota tempat tinggalnya dan termonitor bagaimana hal itu disikapi.
Jika jauh posisinya tentunya pegawai tersebut dibekali surat ijin yang dapat menjadi dukungannya secara hukum kepegawaian. tidak kalah pentingnya adalah formulasi dan pembagian kerja bagi yang memiliki tupoksi pada pelayan publik, seperti pendidikan, kesehatan dan perijinan agar semua pelayanan tersebut berjalan maksimal dan tidak mengurangi kualitas pelayanan jika ada pembagian kerja WFA dibagian tersebut. karena prinsipnya penerapan digitalisasi ini akan memberi manfaat pada efisiensi, waktu, ruang, kecepatan dan akuntabilitas serta kepastian hukum.
Selain itu perlu kolaborasi pemerintah daerah terutama dengan pemerintah daerah yang sudah melakukan WFA seperti di Jawa Barat bagaimana kendala yang ditemui dan apa saja persiapan serta mekanisme dalam penerapan WFA. Jika kolaborasi ini dilakukan dengan baik maka akan mempermudah pelaksanaannya.
Meminta bantuan organisasi Asosiasi Kepala Dinas Provinsi Seluruh Indonesia (ASKOMPSI) dan Forum Kepala Dinas Komunikasi Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia adalah suatu keniscayaan yang akan memperkuat jalannya WFA di daerah-daerah. tentunya dengan sumber daya yang beragam ditambah dengan berbagai kemampuan yang dimiliki semua kesulitan dalam WFA akan mudah diatasi. tentunya tidak terlepas penguatan pada Dinas Kominfo-nya.
Semoga dengan penerapan ini maka pemanfaatan teknologi informasi akan memberi dampak positif baik sisi efisiensi dan juga kualitas pelayan publik. melalui efisiensi tersebut kita berharap manfaat kemakmuran baik dari sisi aparatur maupun disisi masyarakat.
)* Sudarman adalah Ketua Forum Silaturahmi Bangka Belitung dan juga mantan Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung