Pangkalpinang (ANTARA) - Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikenal luas sebagai daerah penghasil timah terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sejak era kolonial Belanda hingga hari ini, tambang timah telah menjadi tulang punggung ekonomi daerah ini. Namun, di balik kejayaan itu, muncul tantangan besar yang kini mengancam masa depan Bangka Belitung, cadangan timah yang kian menipis dan dampak ekologis yang semakin nyata.
Menurut Pj Gubernur Sugito, saat ini produksi timah di Bangka Belitung mencapai sekitar 90.000 ton per tahun. Dengan cadangan yang tersisa, diperkirakan sumber daya alam ini akan habis dalam waktu kurang dari 25 tahun. Jika kita hanya mengandalkan tambang sebagai sumber pendapatan utama, apa yang akan terjadi setelah itu?
Ketergantungan yang terlalu tinggi terhadap sektor pertambangan kini mulai menunjukkan dampak negatifnya. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada semester pertama tahun 2024, pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung hanya mencapai 0,13 persen. Angka ini sangat jauh dari target nasional yang berada di kisaran 5 persen. Melemahnya sektor tambang serta konflik tata niaga timah menjadi penyebab utama stagnasi ini.
Lebih parah lagi, operasional beberapa smelter/pabrik pengolah timah dihentikan karena persoalan perizinan dan tata kelola distribusi timah yang masih semrawut. Akibatnya, banyak pekerja dirumahkan dan aktivitas ekonomi daerah menjadi lesu. Ini menimbulkan efek domino: daya beli masyarakat menurun, pengangguran meningkat, dan kesenjangan sosial semakin terasa.
Namun, di tengah bayang-bayang krisis ini, masih ada secercah harapan. Pemerintah Provinsi Bangka Belitung mulai menunjukkan inisiatif nyata untuk menyelamatkan masa depan daerah. Salah satu langkah konkret adalah program “Semarak Babel” yang menargetkan penanaman 2,5 juta pohon di lahan-lahan bekas tambang yang kini kritis. Hingga pertengahan tahun 2024, sekitar satu juta pohon telah berhasil ditanam.
Langkah ini patut diapresiasi karena memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam memulihkan kerusakan lingkungan yang selama puluhan tahun ditimbulkan oleh eksploitasi tambang. Namun, upaya ini harus terus dikawal agar tidak hanya menjadi proyek pencitraan belaka. Masyarakat, aktivis lingkungan, dan dunia pendidikan perlu dilibatkan agar pemulihan lingkungan bisa berlangsung berkelanjutan dan berbasis partisipasi publik.
Dari sisi infrastruktur, pemerintah juga mulai membangun dua pelabuhan baru di Belinyu dan Parittiga dengan anggaran sebesar Rp153 miliar. Pembangunan ini diharapkan mampu memperkuat konektivitas antardaerah di Bangka Belitung, menurunkan biaya logistik, dan membuka peluang baru di sektor perdagangan serta pariwisata. Sayangnya, hal ini juga dibayangi oleh keterbatasan anggaran daerah. Penurunan drastis anggaran perbaikan jalan dari Rp135 miliar menjadi hanya Rp40 miliar pada tahun 2025 menandakan bahwa pemerintah harus berhitung cermat dalam menentukan skala prioritas pembangunan.
Lalu, ke mana seharusnya Bangka Belitung melangkah?
Diversifikasi ekonomi menjadi kata kunci yang tidak bisa ditawar. Kita tidak bisa terus bergantung pada sumber daya alam yang tidak terbarukan. Potensi pariwisata, misalnya, sangat besar, namun belum tergarap maksimal. Keindahan pantai di Belitung telah menarik perhatian dunia sejak film Laskar Pelangi dirilis, tetapi promosi dan infrastruktur pendukungnya belum cukup kuat untuk menjadikan daerah ini sebagai destinasi wisata unggulan, baik secara nasional maupun internasional.
Begitu juga dengan sektor pertanian dan perikanan. Banyak masyarakat di pesisir yang masih mengandalkan hasil tangkapan laut secara tradisional. Jika sektor ini didukung dengan teknologi, pelatihan, dan akses pasar yang memadai, hasilnya bisa menjadi sumber pendapatan baru yang berkelanjutan. Ditambah lagi dengan peluang di sektor industri kreatif yang bisa melibatkan generasi muda, seperti pengolahan produk UMKM, kriya lokal, hingga produk berbasis digital.
Pendidikan dan pelatihan vokasi juga perlu diperkuat agar sumber daya manusia Bangka Belitung mampu bersaing di era transformasi ekonomi. Anak-anak muda tidak boleh lagi didorong hanya menjadi pekerja tambang, tetapi juga ditantang untuk menjadi inovator, pengusaha, dan pelopor perubahan.
Selain itu, pemerintah daerah harus berani bersikap tegas terhadap praktik pertambangan ilegal yang merusak lingkungan dan merugikan negara. Ini bukan sekadar soal penertiban tambang liar, tetapi menyangkut keberlanjutan hidup generasi mendatang. Penegakan hukum, transparansi dalam perizinan tambang, serta tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan adalah hal-hal yang mendesak untuk diwujudkan.
Bangka Belitung kini berada di persimpangan jalan. Jalan pertama adalah terus berjalan di jalur lama mengekstraksi sumber daya alam tanpa strategi jangka panjang. Jalan kedua adalah bertransformasi menuju ekonomi hijau, berkelanjutan, dan inklusif. Pilihan ada di tangan kita semua: pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan pemuda-pemudi daerah.
*) Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Bangka Belitung (UBB)
Bangka Belitung di persimpangan jalan: Antara ketergantungan timah dan harapan baru
Oleh Suci *) Selasa, 29 April 2025 17:03 WIB
