Pangkalpinang (ANTARA) - Dua puluh tahun lebih sejak otonomi daerah diresmikan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperkuat kembali dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, kita menyaksikan pergeseran besar dalam relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Semangat awalnya adalah desentralisasi kekuasaan, memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk lebih mandiri dalam mengatur rumah tangganya, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Tapi seperti banyak hal dalam tata kelola negara, semangat dan realitas kerap kali tidak berjalan beriringan.
Pemerintah daerah saat ini bukan lagi sekadar perpanjangan tangan pusat. Mereka berada di garis depan dalam menghadapi persoalan nyata, kerusakan lingkungan, konflik agraria, distribusi manfaat ekonomi yang timpang, dan tekanan dari berbagai kepentingan. Ironisnya, di tengah kompleksitas tersebut, kewenangan mereka justru kian menyusut, terutama pasca berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 yang memindahkan sebagian besar kewenangan strategis pengelolaan SDA. Seperti perizinan tambang dan kehutanan ke tingkat provinsi dan pusat. Logika di balik penarikan kewenangan itu jelas dianggap bahwa kabupaten/kota belum cukup siap dari sisi kapasitas teknis, integritas birokrasi, maupun sistem pengawasan. Namun, apakah penyederhanaan ini merupakan solusi jangka panjang? Atau justru bentuk lain dari ketidakpercayaan negara terhadap kematangan daerahnya sendiri?
Faktanya, daerah adalah pihak yang paling dekat dengan denyut nadi masyarakat lokal, mereka yang pertama merasakan dampak eksploitasi sumber daya, baik secara ekologis maupun sosial. Ketika hutan digunduli tanpa kendali, sungai tercemar, atau tambang meninggalkan lubang maut, yang pertama menanggung akibatnya adalah masyarakat di sekitar lokasi. Ironisnya, suara mereka tenggelam oleh tekanan kepentingan ekonomi nasional dan elit politik yang berkuasa.
Dalam kondisi ini, pemerintah daerah kerap berada dalam kondisi yang serba salah. Di satu sisi didorong untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), di sisi lain dituntut menjaga keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. Tanpa kapasitas kelembagaan yang kuat, baik dari sisi sumber daya manusia, ketersediaan data yang akurat, sistem digitalisasi, hingga transparansi anggaran, daerah akan terus menjadi bulan-bulanan. Bukan hanya oleh kepentingan investor, tetapi juga oleh tekanan dari pemerintah pusat yang menuntut hasil, tanpa sepenuhnya memberi dukungan dalam prosesnya. Membangun kapasitas daerah bukan hanya soal pelatihan aparatur atau menambah alokasi anggaran. Lebih dari itu, perlu ada komitmen politik yang konsisten untuk menjadikan daerah sebagai mitra sejajar dalam pengelolaan SDA. Pemerintah pusat seharusnya tidak berperan sebagai pengendali mutlak, melainkan sebagai fasilitator dan penjaga etika kebijakan, memberikan ruang belajar, ruang untuk membuat kesalahan, dan yang paling penting adalah ruang untuk memperbaiki.
Tidak sedikit daerah yang sesungguhnya memiliki potensi tata kelola SDA yang baik, terutama jika diberikan kewenangan yang sepadan dan pendampingan yang berkelanjutan. Namun potensi itu akan tetap terkubur jika sistem pemerintahan kita terus memelihara sikap sentralistik yang menyamar dalam jubah koordinasi nasional.
Desentralisasi yang ideal seharusnya mampu mendorong keberanian pemerintah daerah untuk menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan karakteristik unik wilayahnya serta aspirasi masyarakat setempat. Hal ini mencakup hak daerah untuk menolak kegiatan pertambangan yang terbukti merugikan masyarakat, hak untuk mengembangkan kawasan konservasi yang berlandaskan kearifan lokal, serta hak untuk menetapkan kebijakan pembangunan lingkungan hidup secara mandiri dan berkelanjutan. Dengan demikian, desentralisasi bukan sekadar pembagian kewenangan, melainkan juga pemberdayaan daerah dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam.
Pertanyaan besar yang patut kita renungkan bersama adalah apakah kita sungguh-sungguh ingin membangun tata kelola SDA yang adil dan berkelanjutan, ataukah kita masih terjebak dalam paradigma lama yang melihat SDA semata sebagai komoditas ekonomi jangka pendek? Jika jawabannya adalah keberlanjutan dan keadilan, maka memperkuat otonomi daerah dengan semua kompleksitas dan tantangannya. Bukanlah pilihan, tetapi keharusan.
Sudah saatnya kita beralih dari sekadar membahas “kewenangan yang diberikan” menuju pembahasan mendalam tentang “kapasitas yang dibangun”. Negara yang kuat bukanlah negara yang terpusat, tetapi negara yang mampu mempercayai dan memperkuat unit-unit pemerintahannya di akar rumput. Karena di sanalah kehidupan nyata berlangsung, dan dari sanalah masa depan lingkungan serta keadilan sosial bangsa ini ditentukan.
*) Adzkia Camilaidha adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
Otonomi daerah dan tantangan tata kelola SDA: Antara kewenangan dan kapasitas
Oleh Adzkia Camilaidha *) Sabtu, 7 Juni 2025 10:39 WIB
