Pangkalpinang (ANTARA) - Pernikahan dini adalah pernikahan yang terjadi ketika seseorang menikah sebelum usia 19 tahun, yaitu usia dimana seorang remaja seharusnya fokus pada perkembangan diri, baik secara mental, fisik, dan intelektual namun banyaknya remaja sekarang yang salah memilih jalan hingga terjerumus kedalam situasi yang salah.
Meski Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menetapkan batas minimal usia menikah adalah 19 tahun bagi pria dan wanita, namun praktik pernikahan di bawah umur masih banyak ditemukan di berbagai daerah.
Pernikahan dini kerap terjadi melalui dispensasi pengadilan agama atau pengadilan negeri dengan alasan mendesak. Namun, upaya tersebut sebenarnya tidak dianjurkan karena berpotensi menimbulkan berbagai masalah baru baik dari sisi kesehatan, psikologis, hingga ekonomi. Maka dari itu pentingnya untuk kita dapat memahami dampak negatif dari apa yang sudah atau pun akan kita lakukan dan juga solusi lain jika ada masalah yang mendasari keinginan untuk menikah di usia muda.
Data menunjukkan angka pernikahan dini lebih tinggi pada kelompok ekonomi bawah, yakni 3,06 persen pada usia di bawah 15 tahun dan 25,79 persen pada rentang usia 16-18 tahun, dengan mayoritas berasal dari keluarga berpendapatan rendah. Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab utama, di mana keluarga kurang mampu memilih pernikahan dini sebagai cara mengurangi beban ekonomi.
Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya literasi mengenai kesehatan reproduksi membuat banyak remaja dan orang tua kurang memahami risiko yang akan dihadapi akibat pernikahan dini. Pergaulan bebas yang kurang diawasi juga berkontribusi pada munculnya kehamilan di luar nikah, yang kemudian menjadi pemicu utama terjadinya pernikahan dini.
Dalam aspek budaya, pernikahan di usia muda dianggap hal yang wajar oleh sebagian masyarakat, terutama sebagai upaya menjaga kehormatan anak perempuan. Namun, berbeda dengan anak laki-laki yang sering ditahan untuk menikah karena dianggap belum siap secara finansial dan dalam memimpin keluarga.
Dampak negatif dari pernikahan dini sangat besar, terutama pada kesehatan fisik dan reproduksi. Remaja yang menikah dan hamil sebelum usia 15 tahun berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan, kelahiran prematur, serta stunting dan berat badan rendah pada bayi. Selain itu, kesehatan mental remaja juga terganggu akibat ketidakmatangan emosional yang dapat menyebabkan depresi dan isolasi sosial.
Dari segi ekonomi, pernikahan dini sering kali memperburuk kondisi keluarga karena pasangan muda belum memiliki kesiapan finansial dan pendidikan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini justru menambah beban keluarga secara keseluruhan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, peran lingkungan keluarga sangat penting sebagai pondasi pertama dalam memberikan kenyamanan dan perhatian kepada remaja. Selain itu, lingkungan pertemanan yang positif juga membantu remaja menjauhi perilaku yang berisiko.
Pemerintah juga diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum terkait batas usia pernikahan, pengawasan dispensasi pernikahan dini, serta melaksanakan program edukasi di sekolah dan keluarga mengenai dampak negatif pernikahan dini. Penyediaan layanan konseling bagi pasangan muda, khususnya yang sudah menikah, juga menjadi langkah penting untuk mencegah pernikahan dini berulang.
Pernikahan dini dapat dicegah melalui dukungan sinergis dari keluarga, pemerintah, dan masyarakat. Upaya bersama berupa edukasi, penguatan hukum, dan layanan psikologis menjadi kunci agar generasi muda dapat menikmati masa remaja dan meraih masa depan yang lebih cerah tanpa terbelenggu pernikahan dini.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
