Pangkalpinang (ANTARA) - Reformasi hukum pidana di Indonesia tidak hanya soal memperbarui pasal-pasal dalam undang-undang, tetapi juga tentang menghadirkan keadilan yang lebih manusiawi. Salah satu wujud nyata dari reformasi itu adalah penerapan restorative justice atau keadilan restoratif. Pendekatan ini lahir sebagai jawaban atas kelemahan sistem peradilan pidana konvensional yang selama ini lebih menekankan pada penghukuman.
Dalam pendekatan konvensional, pelaku dianggap sebagai pihak yang harus dibalas dengan sanksi pidana, sementara korban sering kali terpinggirkan dan masyarakat hanya menjadi penonton. Padahal, tindak pidana sejatinya bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga peristiwa sosial yang merusak hubungan antarindividu dan komunitas.
Di Indonesia, konsep ini bukan lagi sekadar wacana. Ia telah memperoleh legitimasi dalam berbagai aturan hukum, mulai dari tingkat penyidikan melalui Peraturan Polisi (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021, penuntutan dengan Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020, hingga peradilan lewat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024. Hal ini menegaskan bahwa restorative justice kini menjadi jalur resmi yang bisa ditempuh dalam penyelesaian perkara pidana, khususnya tindak pidana ringan.
Praktik di Polres Bangka Tengah
Polres Bangka Tengah menjadi salah satu contoh bagaimana restorative justice dapat diimplementasikan secara kontekstual. Alih-alih segera membawa perkara ke ranah hukum formal, kepolisian mendorong penyelesaian konflik di ruang-ruang yang lebih dekat dengan Masyarakat seperti kantor desa atau kelurahan.
Kasat Reskrim Polres Bangka Tengah, Imam Satriawan, menegaskan bahwa perdamaian sebaiknya dimulai dari lingkungan lokal.
“Perdamaian itu sejatinya tidak terjadi di kantor polisi, melainkan di kantor desa atau kelurahan, dengan melibatkan kepala desa, lurah, hingga camat. Baru setelah ada akta dading atau surat pernyataan damai, dokumen tersebut dibawa kepada penyidik sebagai bukti bahwa pihak-pihak yang bersengketa telah bersepakat berdamai,” ungkapnya.
Langkah ini memperlihatkan bahwa restorative justice bukan hanya teori, melainkan praktik nyata yang menekankan penyelesaian damai melalui musyawarah. Setelah kesepakatan damai dicapai, Polres Bangka Tengah melanjutkan dengan gelar perkara yang melibatkan pelaku, korban, keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga tokoh adat. Dengan demikian, perdamaian yang tercapai tidak hanya sah secara administratif, tetapi juga sah secara moral dan sosial.
Batasan dan syarat
Namun, penerapan restorative justice tentu tidak bisa dilakukan sembarangan. Perpol Nomor 8 Tahun 2021 telah memberikan batasan yang jelas melalui syarat formil dan materiil. Salah satu syarat materiil adalah bahwa tindak pidana yang dimohonkan tidak menimbulkan keresahan atau penolakan dari masyarakat.
Dengan demikian, meskipun suatu perkara termasuk tindak pidana ringan, jika perbuatan pelaku dianggap meresahkan masyarakat secara luas, maka upaya restorative justice bisa ditolak. Di sinilah peran penting tokoh masyarakat untuk memberikan keterangan apakah suatu perbuatan layak diproses secara restoratif atau tidak. Prinsip ini menjaga agar restorative justice tidak disalahgunakan, sekaligus memastikan bahwa proses perdamaian benar-benar diterima masyarakat.
Lebih dari sekadar administrasi
Hakikatnya, gelar perkara restorative justice bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah ruang dialog yang empatik, partisipatif, dan bermakna. Dalam forum ini, pelaku diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, korban mendapatkan haknya kembali, sementara masyarakat memperoleh rasa aman. Dengan model seperti ini, hukum tidak hanya dilihat sebagai alat balas dendam negara terhadap pelaku, tetapi juga sebagai sarana untuk memperbaiki hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana. Proses ini menciptakan keadilan yang substantif, bukan sekadar keadilan prosedural.
Harapan ke depan
Penerapan restorative justice di Polres Bangka Tengah menunjukkan bahwa hukum bisa berjalan selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Polisi tidak lagi dipandang semata-mata sebagai aparat penegak hukum yang represif, melainkan juga sebagai mediator dan fasilitator perdamaian.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Sosialisasi yang lebih luas kepada masyarakat sangat dibutuhkan agar mereka memahami bahwa penyelesaian perkara melalui jalur restoratif bukan berarti melindungi pelaku, melainkan memulihkan kerugian korban dan memulihkan harmoni sosial. Selain itu, pengawasan yang ketat juga penting agar restorative justice tidak dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu atau justru mencederai rasa keadilan.
Pada akhirnya, restorative justice harus dipahami sebagai langkah maju menuju sistem hukum yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB)
