Manila (Antara Babel) - Gereja Katolik Filipina mengecam pemberantasan
narkotika oleh Presiden Rodrigo Duterte karena dapat menciptakan teror
di kalangan keluarga miskin, kata pesan dalam kebaktian pada Sabtu.
Pesan tersebut akan disampaikan lagi kepada jemaat di seluruh pelosok negara itu pada misa Minggu, lapor Reuters.
Dalam kecaman bernada keras atas penindakan terhadap pengedar dan
pemakai narkotika itu, Konferensi Keuskupan Katolik Filipina menyatakan
bahwa membunuh orang bukan jawaban atas perdagangan gelap obat dan
mengganggu. Namun, pemerintah tidak memedulikan pertumpahan darah atau
bahkan malah menyetujuinya.
"Penyebab terbesarnya adalah ketidakpedulian. Hal itu diyakini
sebagai kewajaran dan bahkan buruk, sesuatu yang menurut mereka perlu
dikerjakan," kata keusukupan dalam surat pastoral, yang salinannya
didapat Reuters.
"Penyebab lain adalah teror di beberapa tempat masyarakat miskin.
Beberapa yang tewas bukan karena narkotika. Mereka yang tewas itu tidak
terhitung," katanya.
Lebih dari 7.600 orang tewas sejak Duterte melancarkan kampanye
antinarkoba pada tujuh bulan yang lalu. Lebih dari 2.500 dikatakan
polisi tewas dalam baku tembak selama penggerebekan dan operasi tegas.
Baik pemerintah maupun polisi secara tegas menyangkal terjadinya pembunuhan di luar jalur hukum.
Kantor kepresidenan belum memberikan komentar atas surat keuskupan itu.
Saat mengawali misa pada Sabtu sore, beberapa pastor membacakan
surat yang ditandatangani oleh keuskupan di negara dengan penduduk
Katolik terbesar di Asia itu.
Surat itu tidak menyebutkan nama Duterte, namun mendesak politikus
terpilih melayani masyarakat umum dengan baik dan bukan kepentingan
mereka serta menyerukan penanganan terhadap sejumlah polisi nakan dan
hakim korup.
Hampir 80 persen dari 100 juta jiwa penduduk Filipina beragama
Katolik dan tidak seperti di banyak negara lain yang persoalan keyakinan
sudah mulai memudar, mayoritas rakyat negara itu masih menjalani
kewajiban agamanya dengan antusias.
Dalam wawancara dengan Reuters pada tahun lalu, lebih dari puluhan
pendeta menyatakan bahwa mereka belum memastikan bagaimana melawan
pembunuhan yang mendapatkan dukungan masyarakat terhadap kampanye
Duterte itu.
Beberapa di antara mereka menyatakan bahwa menentang Duterte akan
menghadapi bahaya. Duterte juga mengutuk Paus karena menyebabkan lalu
lintas macet saat kunjungannya pada 2015 kunjungannya dan baru-baru
pekan ini menyampaikan keterusterangannya terkait pastor yang dia
dituduh memiliki istri, terlibat dalam tindakan homoseksual,
menyalahgunakan dana negara dan menganiaya anak-anak.
Nakal
Terkait tuduhan bahwa banyak pedagang narkoba dan pengguna telah
menjadi korban pembunuhan ekstrayudisial itu, uskup mengatakan "setiap
orang memiliki hak agar dianggap tidak bersalah sampai terbukti
bersalah", dan hukum harus ditaati.
"Kami juga harus mengutamakan reformasi terhadap polisi nakal dan hakim korup," katanya.
Surat keuskupan itu dibacakan selama misa Sabtu sore di depan jemaat
yang beranggotakan 50 orang, kebanyakan perempuan, di dalam kubah
gereja St Yosef, kompleks Camp Crame, markas Kepolisian Nasional
Filipina di Manila.
Romo Jojo Borja, seorang pendeta di Camp Crame, menyatakan bahwa
situasi saat ini sulit bagi pastor, terutama mereka yang dipekerjakan
oleh pemerintah.
"Kami harus selalu berada di tengah. Saat kami bicara menentang
pemerintah, kami bisa ditendang dari pelayanan kepada umat. Terkadang
kami diminta untuk bertanya tentang loyalitas kami," katanya.
Surat kepausan itu keluar kurang dari sepekan setelah Duterte
menangguhkan semua kegiatan operasional kepolisian dalam memberantas
narkoba karena adanya praktik korupsi yang mengakar di pasukan tersebut.
Presiden menberikan tugas kepada badan penanggulangan narkoba dan menginginkan militer mendukung pemberantasan narkoba.
Dalam beberapa laporannya tahun lalu, Reuters menunjukkan bahwa 70
persen data korban tewas karena operasi polisi. Hal itu menjadi bukti
kuat bahwa polisi menembak para tersangka narkoba.
Laporan Reuters juga menemukan bahwa para pejabat tingkat rendah di
lingkungan masyarakat miskin membantu polisi memberikan daftar tersangka
pengedar dan pengguna narkoba. Banyak orang yang namanya tercantum itu
berakhir dengan kematian.
Duterte menggunakan data yang berlebihan dan cacat, termasuk jumlah
pengguna narkoba di Filipina, untuk membenarkan tindakannya yang keras,
demikian penyelidikan Reuters.
Dalam laporan pekan ini, Amnesti International menyatakan bahwa
pemberantasan narkoba diperlakukan seperti kriminal, melakukan
pembunuhan, dan mengirimkannya ke rumah duka.
Amnesti menyatakan bahwa gelombang pembunuhan terkait narkotika
tampaknya sistematis, terencana, dan tergalang oleh pihak berwenang dan
bisa jadi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berita Terkait
Hoaks! Artikel Presiden Filipina yang pertanyakan banyaknya teroris di Indonesia
26 September 2024 10:31
Presiden Jokowi buat "vlog" usai timnas Indonesia kalahkan Filipina
11 Juni 2024 23:57
Presiden Jokowi tiba di GBK saksikan laga timnas Indonesia vs Filipina
11 Juni 2024 20:12
Presiden Jokowi ingin peluang BUMN meningkat dukung pembangunan Filipina
5 September 2022 13:18
Presiden Jokowi dan Presiden Filipina diskusikan isu bilateral
5 September 2022 12:29
Presiden Jokowi tanam pohon bersama Presiden Filipina
5 September 2022 11:19
Presiden Joko Widodo sambut kedatangan Presiden Filipina di Istana Bogor
5 September 2022 10:48
Mantan presiden Filipina Fidel Valdez Ramos wafat
1 Agustus 2022 07:54