Pangkalpinang (ANTARA) - Dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, asas cepat, sederhana, dan biaya ringan merupakan landasan fundamental yang menjiwai seluruh penyelenggaraan peradilan. Asas ini termaktub dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa pengadilan wajib membantu para pencari keadilan dan mengatasi berbagai hambatan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Keberadaan asas ini bukan sekadar norma hukum prosedural, melainkan cerminan dari cita-cita peradilan yang berorientasi pada kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Peradilan tidak hanya diharapkan menegakkan hukum secara formal, tetapi juga menghadirkan keadilan yang dapat dirasakan oleh para pencari keadilan, khususnya mereka yang kerap terhambat oleh panjangnya proses dan tingginya biaya perkara.
Kendati demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penerapan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan masih jauh dari ideal. Proses persidangan kerap tertunda akibat faktor administratif, jadwal hakim yang padat, atau ketidakhadiran para pihak yang berperkara. Penundaan yang berulang tidak hanya menambah beban perkara di pengadilan, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa kecepatan dalam proses hukum tidak semata bergantung pada sistem prosedural, melainkan juga pada komitmen, disiplin, dan tanggung jawab seluruh pihak yang terlibat, baik aparat peradilan, advokat, maupun para pencari keadilan itu sendiri.
Putusan Verstek: Wujud asas cepat dalam praktik
Salah satu instrumen hukum yang merefleksikan semangat asas cepat adalah putusan verstek. Berdasarkan Pasal 125 Herziene Inlandsch Reglement (HIR), verstek memungkinkan hakim menjatuhkan putusan apabila tergugat tidak hadir tanpa alasan sah meski telah dipanggil secara patut.
Mekanisme ini dirancang untuk mencegah proses peradilan menjadi berlarut-larut akibat ketidakhadiran tergugat yang tidak kooperatif. Dengan demikian, pengadilan tetap dapat memberikan kepastian hukum bagi penggugat dan mencegah keadilan tertunda hanya karena kelalaian atau kesengajaan pihak lawan.
Namun, kecepatan dalam menjatuhkan putusan tidak boleh menafikan prinsip keadilan dan hak untuk membela diri. Oleh sebab itu, hukum memberikan ruang bagi tergugat untuk mengajukan perlawanan (verzet) apabila merasa dirugikan atau memiliki alasan sah atas ketidakhadirannya. Mekanisme ini berfungsi sebagai penyeimbang agar asas cepat tetap berjalan dalam koridor kepastian hukum dan keadilan substantif.
Memaknai asas cepat secara proporsional
Asas cepat, sederhana, dan biaya ringan tidak dapat diartikan secara sempit sebagai sekadar mempercepat penyelesaian perkara. Lebih dari itu, asas ini harus dimaknai sebagai upaya sistematis untuk menghadirkan peradilan yang efisien, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik.
Sinergi antara lembaga peradilan, aparat hukum, dan masyarakat menjadi kunci agar asas tersebut tidak hanya menjadi jargon normatif. Pemanfaatan teknologi melalui sistem e-court dan e-litigation dapat menjadi langkah konkret mempercepat administrasi perkara tanpa mengurangi hak-hak hukum para pihak.
Pada akhirnya, tujuan peradilan bukan sekadar cepat dan murah, tetapi juga pasti dan adil. Kecepatan tanpa kepastian hukum hanya akan melahirkan ketergesaan, sedangkan kepastian hukum tanpa efisiensi justru menjauhkan rakyat dari akses terhadap keadilan.
Perpaduan antara efisiensi dan kepastian hukum menjadi fondasi bagi sistem peradilan yang humanis, sebuah peradilan yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga memanusiakan keadilan itu sendiri.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung Semester 3 Jurusan Hukum
