Pangkalpinang (ANTARA) - Indonesia tidak pernah lepas dari aktivitas pertambangan. Logam yang setiap hari kita gunakan, mulai dari ponsel, laptop, hingga kendaraan berasal dari perut bumi negeri ini. Kekayaan alam seperti emas di Papua, nikel di Sulawesi, timah di Bangka Belitung, dan batu bara di Kalimantan menjadi penopang berbagai kebutuhan industri global.
Namun, di balik limpahan potensi itu, muncul berbagai persoalan lingkungan: sungai tercemar, hutan menyusut, dan masyarakat lokal menghadapi konflik lahan.
Situasi ini bukan semata-mata karena pertambangan tidak sejalan dengan kelestarian alam, tetapi karena lemahnya kesadaran mengenai hukum dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya alam.
Padahal, kerangka hukum Indonesia sudah cukup jelas. Konstitusi melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Aturan turunan seperti UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba serta PP Nomor 96 Tahun 2021 juga mengatur proses perizinan, pengawasan, hingga perlindungan lingkungan.
Masalahnya, keberadaan regulasi tidak otomatis diikuti kedisiplinan pelaku usaha dan masyarakat. Tambang ilegal masih marak, izin palsu ditemukan, dan pencemaran kerap terjadi.
Semua ini menunjukkan bahwa pemahaman hukum di tingkat masyarakat, termasuk generasi muda, masih tertinggal jauh.
Pelajar sering kali menganggap hukum pertambangan bukan urusan mereka. Padahal, para pelajar hari ini adalah calon pemimpin, pembuat kebijakan, bahkan pengusaha yang kelak terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Tanpa pemahaman memadai sejak dini, keputusan masa depan bisa diambil tanpa mempertimbangkan keberlanjutan.
Sekolah dan lembaga pendidikan perlu mengambil peran. Edukasi hukum lingkungan dan pertambangan dapat dimasukkan melalui diskusi tematik, kegiatan literasi lingkungan, hingga simulasi proses perizinan.
Langkah-langkah sederhana ini mampu menumbuhkan kesadaran bahwa kekayaan alam bukan sekadar komoditas, tetapi warisan bersama yang harus dijaga.
Kesadaran hukum harus ditanamkan bukan hanya di fakultas hukum, tapi juga di semua jenjang pendidikan. Sekolah bisa mengadakan diskusi tematik, simulasi perizinan tambang, atau kegiatan sosial lingkungan agar siswa lebih paham hubungan antara hukum, alam, dan kehidupan manusia.
Kesadaran hukum sejatinya tidak berhenti pada pemahaman pasal-pasal. Ia merupakan refleksi etika dan kecintaan pada tanah air.
Ketika pelajar menyadari bahwa logam yang mereka gunakan berasal dari bumi yang sama tempat mereka hidup, rasa tanggung jawab itu akan muncul dengan sendirinya.
Pertambangan tetap diperlukan bagi pembangunan nasional. Namun, tanpa kepedulian lingkungan dan ketaatan hukum, berkah tersebut bisa berubah menjadi bencana.
Karena itu, sudah saatnya pelajar Indonesia menjadi generasi yang melek hukum pertambangan. Dari bumi kita belajar, dan untuk negeri kita bertanggung jawab.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
