Jakarta (Antara Babel) - Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan masalah klasik di Indonesia, dalam 20 tahun terkhir ini, pemerintah memang telah menyusun pembangunan ekonomi yang diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan otonomi daerah yang diyakini berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar, dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Jumat mengatakan, program pembangunan ekonomi antar wilayah di Indonesia yang berjalan sejauh ini masih bertumpu di wilayah pulau Jawa, hal itu terbukti dari tingkat kontribusi pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa yang mencapai 58 persen.
"Sedangkan pembangunan di luar Jawa masih relatif kecil, maka wajar jika tingkat pertumbuhan ekonominya masih berada dikisaran 2 persen sampai 7,4 persen, belum lagi tingkat pengangguran yang masih cukup tinggi dibanding Pulau Jawa. Kondisi itu juga membuat Indeks Rasio Gini Indonesia semakin menganga yakni mencapai angka 0,42," ungkapnya.
Berbicara dalam acara Focus Group Discussion, di kantor LPP DPP PKB Jakarta, Kamis, menurut Marwan, ketimpangan pembangunan antar wilayah itu terjadi karena pemerintah kurang memperhatikan tercapainya pemerataan hasil pembangunan di seluruh wilayah sehingga terdapat kecenderungan kebijakan pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia.
"Akhirnya menimbulkan gap antara wilayah yang memiliki PDRB per kapita tertinggi dan terendah yang berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak merata di seluruh wilayah," ujar Marwan, yang juga Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu (LPP) DPP PKB itu.
Lebih jauh, Marwan menjelaskan, faktor lain yang menyebabkan ketimpangan antar wilayah masih terjadi adalah masih minimnya infrastruktur di daerah yang mengakibatkan mobilitas barang dan jasa seperti kegiatan perdagangan dan penyerapan tenaga kerja antar daerah terhambat.
"Aktivitas perdagangan yang lambat sangat mempengaruhi harga barang karena melihat demand yang begitu tinggi dari pada supply. Di sisi lain juga, masyarakat yang memiliki keterampilan tertentu kesulitan memgakses daerah lain yang membutuhkan jasanya karena minimnya infrastruktur itu tadi, ini menyebabkan semakin memperpanjang panceklik mereka untuk memiliki pendapatan," urainya.
Melihat kondisi tersebut, Marwan menyarankan agar pemerintah segera melakukan merealisasikan rencana pembangunan daerah yang sudah dipetakan di dalam Rencana Pembangan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
"Kebutuhan infrastruktur yang mendesak yang jelas daerah yang berada di kawasan tertinggal, dan perbatasan. Disana banyak wilayah potensial seperti NTB, Papua, Kalimantan, tapi tidak terserap karena kendala mobilitas," terangnya.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kompetensi masyarakat di wilayah tersebut agar mampu bersaing dengan masyarakat di daerah lain yang lebih berkembang.
"Perlu dicanangkan target peningkatan masa pendidikan di daerah-daerah tertinggal dan terpencil, pengentasan buta aksara dan pengembangan keterampilan bagi masyarakat yang tidak mampu melanjutkan pendidikan lebih lanjut untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja baik di daerahnya sendiri maupun di daerah lain," kata Marwan.