Jakarta (Antara Babel) - Dataran Tinggi Dieng yang terbagi ke Kabupaten
Wonosobo dan Banjarnegara menyimpan permata titisan Eyang/Kiai Kaladete
berupa anak 8-12 tahun berambut gimbal/gembel sebagaimana diyakini
masyarakat di salah satu plato terkenal di Pulau Jawa.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, anak-anak gembel itu
harus melalui prosesi adat saat proses pencukuran rambut gimbal mereka
jika tidak ingin rambut kusut tersebut kembali tumbuh usai dipangkas.
Ada unsur menarik dari prosesi adat pencukuran rambut gimbal
anak-anak kecil itu yaitu terjadi proses "perdamaian" tiga agama/aliran
kepercayaan yaitu Islam, Hindu dan Kejawen.
Bagaimana tidak, dalam proses pencukuran sembilan anak gembel pada
penyelenggaraan Dieng Culture Festival (DCF) 2017 itu memiliki unsur
tiga agama/kepercayaan. Nampak ada shalawatan yang mewakili agama Islam
dan ruwatan yang merupakan buah perpaduan Kejawen (biasa lekat dengan
Animisme dan Dinamisme) serta Hindu.
Arkeolog pendiri Studio Aksi Pelestarian Arsitektur dan Kawasan
Arkeologis (Stapaka) Jajang Agus Sonjaya mengatakan keterpaduan tiga
unsur agama/ kepercayaan itu menjadi sedap laksana kuliner Sayur Pecel
atau Gado-gado yang terdiri dari berbagai bahan dan bumbu.
Semua bahan Sayur Pecel yang banyak ditemui sebagai makanan khas di
Pulau Jawa tersebut mampu berpadu padan menjadi kuliner yang digemari
asal diramu dengan takaran yang pas.
Begitu juga dalam anak gembel dari Dieng itu yang mampu menjadi
tanda keterpaduan indah antara Islam, Hindu dan Kejawen. Nilai-nilai
terkait anak gembel, kata peneliti situs Dieng itu, mampu hidup di
tengah masyarakat dataran tinggi di Jawa Tengah tersebut.
Saat Antara menyaksikan prosesi pencukuran Anak Gembel, sesekali
terdengar kidung-kidung berbahasa Jawa dan Sanskerta secara bergantian.
Tidak ketinggalan terdapat bahasa Arab yang diambil dari ayat Al Quran
berikut shalawatan. Terdapat satu muara yang sama yaitu berisi doa
kepada Tuhan Yang Maha Esa mengenai permintaan dan harapan yang diwakili
oleh pemuka adat dan tokoh agama.
Pada prosesi pencukuran, Anak Gembel itu terkait dengan keberadaan
salah satu "Mbahu Rekso" (penunggu) Dieng bernama Eyang Kaladete. Tokoh
yang "mowksa" (meninggal dunia secara jiwa dan raga) di Gunung Kendil
itu sering menyukai orang-orang tertentu di Dieng, terutama anak-anak.
Merujuk tesis Jajang Agus Sonjaya tentang Dieng, mereka yang disukai
Eyang Kaladete biasanya akan berambut gimbal secara misterius. Si
Rambut Gimbal umumnya akan mengajukan permintaan pada orang tuanya yang
harus dikabulkan suatu hari kelak melalui upacara pencukuran rambut yang
mengundang banyak warga.
Sebelum dilakukan pencukuran rambut gembel, pemimpin ritual atau
juru kunci sehari sebelumnya akan memohon izin pada para "Mbahu Rekso"
Dieng yang tinggal di puncak-puncak gunung, sumber air, kawah dan di
candi-candi.
Roh-roh tersebut akan masuk ke dalam tubuh orang yang dipilih dan
berbincang dengan hadirin yang datang saat ritual. Pada kesempatan
membahas makna permintaan anak gembel yang hendak dicukur, juga
membicarakan hal-hal lain terkait lingkungan dan kemasyarakatan,
misalnya tentang hutan yang rusak, Kali Tulis yang menyempit, penunggu
Kali Tulis yang jarang dikunjungi/diziarahi hingga masalah-masalah
sederhana.
"Inti pencukuran rambut gimbal adalah di sini, pada ajaran
nilai-nilai yang disampaikan roh melalui mediator. Isi pesan dan
maknanya bisa bermacam-macam. Seorang bocah gembel yang minta kopiah,
maknanya ia ingin jadi anak sholeh, sekaligus mengingatkan orang tuanya
agar tidak meninggalkan ibadah. Itu salah satu yang pernah saya dengar
saat berkomunikasi dengan Mbah Naryono, salah satu sesepuh di Dieng saat
itu," kata dia.
Asisten Pemangku Adat Dieng Kulon Mbah Sumanto mengatakan ada
bermacam-macam permintaan para Anak Gembel. Mbah Sumanto sendiri
merupakan tetua adat sementara sepeninggal Mbah Naryono yang telah tutup
usia. Selain Sumanto terdapat juga Mbah Sumarsono yang menjadi asisten
mendiang Mbah Naryono.
Mereka berdua adalah sosok yang menggantikan Mbah Naryono termasuk
untuk mencukur rambut gimbal anak berambut kusut dari Dieng. Meski
begitu, tidaklah selalu Anak Gembel yang dicukur berasal dari Dieng
tetapi ada juga dari luar kota. Contohnya, anak gembel bernama Zafira
Miraj Cintami yang meminta salak pondoh, anggur, semangka, apel dan dua
ekor sapi sebelum gimbalnya dicukur secara adat.
Zafira bersama orang tuanya datang dari Jawa Barat ke Dieng untuk
melakukan pencukuran rambut gimbal, seiring penyelenggaraan Dieng
Culture Festival (DCF) 2017.
Sebelumnya, saat dicukur di berbagai salon, rambut gimbal Zafira
tidak pernah bisa hilang. Sebagian masyarakat meyakini hanya dengan
prosesi adat pencukuran anak gembel maka rambut gimbalnya tidak akan
tumbuh lagi.
Banyak unsur masyarakat Dataran Tinggi Dieng yang meyakini jika anak
gimbal rambutnya akan terus tumbuh kusut usai dicukur. Untuk
menghentikan tumbuhnya rambut gimbal di kemudian hari maka dilakukan
upacara adat pencukuran dengan salah satu proses yang harus dipenuhi
adalah mengabulkan permintaan anak gimbal.
Mbah Sumanto mengatakan pada pencukuran Anak Gembel tahun ini,
sembilan anak berambut gimbal itu memiliki permintaan bermacam-macam
seperti kambing, buah-buahan, es krim, sepeda, PC tablet, jajanan warung
tetangga, sapi, burung "Lovebird" dan lainnya.
Pemangku Adat Dieng lainnya Mbah Sumarsono mengatakan permintaan
Anak Gembel harus dipenuhi sebelum prosesi pencukuran rambut kusut
mereka. Jika tidak ditunaikan maka gimbal itu akan tumbuh lagi di
kemudian hari.
Mbah Sumar mengatakan banyak hal harus dilengkapi dalam prosesi
pencukuran Anak Gembel seperti kirab atau arak-arakan, jamasan
(pensucian lewat memandikan) dan pencukuran rambut gimbal berikut
prosesi lainnya yang memakan waktu beberapa hari.
Dari berbagai prosesi itu, dia berharap agar mendapat bantuan Allah
sehingga segala doa yang dipanjatkan dapat dikabulkan dan semua diliputi
keamanan dan kedamaian.
Magnet Pariwisata
Acara pencukuran Anak Gembel memang belakangan menjadi magnet
pariwisata tersendiri bagi Dieng. Efek berlipat diharapkan dari
pergelaran Dieng Culture Festival yang merupakan acara tahunan. Beberapa
dampak positif diharapkan dapat bisa didapat yaitu untuk melestarikan
kebudayaan Dieng sekaligus menarik minat wisatawan untuk datang.
Tokoh pemuda dan budaya Dieng, Alif Fauzi, mengatakan pada DCF 2017
panitia menyiapkan beberapa inovasi dalam pelaksanaan festival
kebudayaan tahunan yang memasuki penyelenggaraan ke-8 itu. Beberapa hal
yang baru itu seperti adanya mata acara Festival Caping Gunung dan
Penampilan Sendratari Rambut Gembel.
Kendati begitu, terdapat acara utama yaitu Pencukuran Anak Gembel
yang diadakan pada akhir acara. Setelah dicukur, rambut Anak Gembel
tersebut dilarung di Telaga Warna.
Telaga Warna sendiri secara budaya masyarakat Dieng dianggap sebagai
perwakilan air yang terhubung dengan Laut Kidul/ Pantai Selatan Pulau
Jawa. Di Pantai Selatan itu merupakan singgasana Nyi Roro Kidul sebagai
ratu penguasa laut di selatan Jawa.
Nilai Universal Kejawen
Bagi beberapa kalangan beragama, tradisi pencukuran Anak Gembel bisa
dianggap mencampuradukkan agama satu dengan yang lainnya. Akan tetapi,
bagi Jajang Agus Sonjaya yang merupakan penasihat Yayasan Taman
Syailendra Dieng mengatakan terdapat nilai universal kebaikan dalam
sejumlah candi bernilai religius yang ditinggalkan masyarakat masa lalu
di Dieng.
Dia mengatakan penjelasannya soal Kejawen bukan dalam rangka membela
atau membangun kebenaran soal aliran spiritual yang menjadi dasar
filsafat beberapa orang Jawa.
Jika ditilik dari sejarah, Jajang mengatakan Islam yang masuk ke
Dieng itu merupakan Islam tarekat yang dekat dengan Kejawen dengan
amalan bertapa, semedi dan sejenisnya. Dengan tarekat juga Islam dapat
tersebar dan dianut mayoritas orang Dieng saat ini. Orang Dieng saat ini
adalah Muslim yang taat sehingga memaknai Kejawen secara miring di
dataran tinggi tersebut juga kurang tepat.
Di balik cara pandang dan ritual mereka, ada nilai-nilai kebaikan
yang bisa dijadikan nasihat bagi masyarakat, seperti pelestarian
lingkungan dan warisan budaya yang menjadi tanggung jawab anak bangsa.
"Bisikan" dari roh kepada para pemangku adat Dieng soal permintaan
Anak Gembel mengenai sesuatu harus dimaknai sesuai konteks. Dalam suatu
acara pencukuran Anak Gembel, pemangku adat adalah "penerjemah"
permintaan bocah berambut kusut.
Pada suatu waktu, kata Jajang, ada permintaan Anak Gembel yang
menginginkan ular putih tetapi tidak dapat dipenuhi para penyelenggara
ruwatan. Sejatinya di masa lampau ular putih itu bisa ditemukan di Dieng
tapi tidak lagi dapat ditemukan.
Dari kasus itu, lanjut dia, perlu dimaknai bahwa ular putih sulit
ditemukan karena habitatnya rusak sehingga hewan melata itu menjadi
langka di suatu kawasan.
"Pesannya, agar masyarakat memperbaiki habitat bukan malah
merusaknya. Alam perlu dipelihara kelestariannya. Jangan hanya dimaknai
secara bendawi permintaan Anak Gembel itu apa," kata dia.
Berita Terkait
MUI ingatkan umat Islam memilih pemimpin hukumnya wajib
23 November 2024 12:38
Anis Matta, Wamenlu dunia Islam
21 Oktober 2024 20:10
Israel klaim tewaskan pemimpin Jihad Islam Palestina
11 Oktober 2024 15:35
Museum NTB wakili Indonesia dalam pameran sejarah Islam di Arab saudi
7 Oktober 2024 16:11
Khabib sebut Islam Makhachev kembali pertahankan juara Januari 2025
1 Oktober 2024 09:09
Tercatat 355 WBP Lapas Sungailiat siap sampaikan hak pilih
22 September 2024 20:02
Menonton film porno dosa? Ini hukumnya dalam Islam
22 September 2024 12:02