Jakarta (Antara Babel) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK membacakan surat
keterangan dokter Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto
yang mengatakan anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani
hanya berpura-pura sakit.
"Kebetulan di sini saya ada anjuran dari dokter spesialis obstetri
dan ginekolog yang menyatakan anjurannya mohon lebih berhati-hati dalam
memilih pasien karena pasien datang dengan keluhan yang dicari-cari,
terkesan hanya mencari alasan untuk keluar dan kalau tidak ada yang
emergency diisolasi dulu oleh dokter (di dalam rutan)," kata Jaksa
Penuntut Umum (JPU) KPK Kresno Anto Wibowo dalam sidang di pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Selanjutnya Kresno menyerahkan surat itu kepada ketua majelis hakim Frangki Tambuwun.
Terdakwa pada perkara ini adalah anggota DPR dari fraksi Partai
Hanura Miryam S Haryani yang didakwa memberikan keterangan yang tidak
benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua
keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan dalam kasus
korupsi KTP-E.
Dalam sejumlah sidang, Miryam mengajukan izin berobat ke RSPAD
sehingga keluar dari tempat tahanannya di rumah tahanan klas I cabang
Jakarta Timur yang berlokasi di gedung KPK kavling C-1.
Dalam sidang hari ini, pengacara Miryam juga mengajukan 2 izin berobat untuk kliennya.
"Yang kami baca di sini adalah untuk pemeriksaan lebih lanjut ada 2
yaitu pemeriksaan untuk dokter internis dan fisioterapi, dokter
internisnya yang mana? tidak jelas, karena di sini yang ada jawabannya
hanya fisioterapi," ungkap Kresno menanggapi permintaan pengacara
Miryam.
"Nanti kami pertimbangkan," kata hakim Frangki.
"Surat dari pemeriksa terdakwa Miryam yang pada intinya menyebutkan
bahwa sebenarnya tidak ada penyakit yang harus datang (ke RS) dan bisa
ditangani dokter KPK. Ini kami berikan ke majelis hakim untuk diberikan
pertimbangan, sementara untuk fisioterapi sesuai dengan ini kami
persilakan ke majelis hakim untuk mempertimbangkan," tambah Kresno.
"Keterangan dari dokter internis tadi mengatakan tidak perlu ya maka
nanti kami pertimbangkan yang mana yang akan dipenuhi," ungkap hakim
Frangki.
Dalam perkara ini, Miryam didakwa memberikan keterangan yang tidak
benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua
keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang
menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan
alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh 3
orang penyidik KPK padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut
tidak benar. Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang pada Kamis, 23
Maret 2017.
Selanjutnya pada Kamis, 30 Maret 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam
di persidangan bersama 3 penyidik yaitu Novel Baswedan, MI Susanto dan A
Damanik. Ketiga penyidik itu menerangkan bahwa mereka tidak pernah
melakukan penekanan dan pengacaman saat memeriksa terdakwa sebagai
saksi, lebih lanjut diterangkan dalam 4 kali pemeriksaan pada 1, 7, 14
Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada terdakwa diberi kesempatan
untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keerangannya pada setiap akhir
pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani Miryam.
Setelah mendengar keterangan 3 penyidik KPK, hakim kembali menayakan
kepada Miryam terhadap keterangan tersebut. Atas pertanyaan hakim,
Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dirinya telah ditekan
dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta dipaksa
mendatangani BAP sehingga Miryam tetap menyatakan mencabut semua BAP
termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.
Terhadap perbuatan tersebut, Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal
35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP
yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama
12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.