Sittwe (Antara Babel) - Ratusan warga Myanmar mencoba menutup jalan
pengiriman bantuan kepada masyarakat Rohingya di negara bagian Rakhine,
tempat Perserikatan Bangsa-Bangsa menuduh militer berusaha melakukan
pembersihan suku.
Reuters melaporkan, saksi mengatakan bahwa
pengunjuk rasa melemparkan bom molotov sebelum akhirnya polisi
membubarkan mereka dengan mengeluarkan tembakkan ke udara.
Unjuk rasa tersebut menjadi bukti peningkatan permusuhan kelompok,
yang dapat mempersulit pengiriman bantuan, dan terjadi ketika Presiden
AS Donald Trump menyerukan pengakhiran segera kekerasan, yang
menimbulkan kekhawatiran akan peralihan pemerintahan Myanmar ke
kekuasaan militer.
Pengiriman bantuan itu, yang diselenggarakan Komite Palang Merah
Internasional (ICRC), dikirim ke negara bagian utara, tempat serangan
gerilyawan pada 25 Agustus memicu serangan militer.
Kekerasan tersebut menyebabkan lebih dari 420.000 warga Rohingya
melarikan diri ke negara tetangganya, Bangladesh, namun masih banyak
yang tertinggal di Myanmar. Mereka bersembunyi karena takut terjebak
dalam kekerasan lebih lanjut tanpa adanya bahan makanan dan persediaan
lainnya, menurut para pekerja bantuan.
Sekitar ratusan orang mencoba menghentikan sebuah kapal yang
mengangkut penuh, sekitar 50 ton persediaan bantuan di sebuah dermaga,
di ibu kota negara bagian Rakhine, Sittwe, pada Rabu, kata kantor
penerangan pemerintah pada Kamis.
Pengunjuk rasa,beberapa membawa tongkat dan jeruji logam,
melemparkan bom molotov dan sekitar 200 polisi memaksa mereka untuk
membubarkan diri dengan mengeluarkan tembakkan ke udara, kata seorang
saksi, ia menambahkan bahwa melihat sejumlah orang terluka.
Delapan orang ditahan, menurut pernyataan tertulis yang dikeluarkan kantor penerangan pemerintah setempat.
Juru bicara ICRC tidak segera bersedia memberikan tanggapannya.
Polisi di Sittwe juga tidak segera bersedia dimintai keterangan.
Ketegangan antara masyarakat kebanyakan yang merupakan pengikut
Buddha dan warga Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine telah terjadi
selama beberapa dasawarsa namun memuncak dalam sejumlah kekerasan yang
terjadi dalam beberapa tahun belakangan.
Pertempuran terkini terjadi pada Agustus, ketika gerilyawan Rohingya
menyerang sekitar 30 pos polisi dan sebuah markas tentara, menewaskan
sekitar 12 orang.
Pemerintah mengatakan lebih dari 400 orang, kebanyakan dari mereka adalah pemberontak, tewas sejak saat itu.
Sejumlah kelompok pemantau dan warga Rohingya yang melarikan diri
mengatakan bahwa tentara dan masyarakat Buddha Rakhine telah melakukan
kampanye yang bertujuan untuk mengusir penduduk Muslim dan membakar desa
mereka.
Myanmar menolak tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa pasukannya
menyasar pemberontak Tentara Pembebasan Arakan Rohingya (ARSA), yang
mereka anggap dalang pembakaran rumah dan penyerangan terhadap warga.