Kinerja tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla telah dinilai atau ditimbang sisi keberhasilan dan
kekurangannya oleh sejumlah pengamat ekonomi maupun pengamat politik.
Penilaian yang dilakukan siapa pun terhadap kinerja pemerintahan
mana pun tak jarang terjebak pada penghakiman yang subjektif karena
asumsi-asumsi dasar yang digunakan untuk menilai kadang dilakukan
berdasarkan kepentingan subjektif.
Namun ada juga penilaian yang berangkat dari fakta-fakta objektif
yang dikumpulkan atau disajikan oleh institusi independen di luar negeri
yang relatif tak terkooptasi oleh pihak pemerintahan yang dinilai.
Tak mudah untuk menimbang suatu kinerja pemerintahan dengan pikiran
jernih. Setidaknya, pertimbangan yang sudah diikhtiarkan dengan pikiran
jernih itu tak akan mungkin memuaskan semua pihak.
Dalam konteks tiga tahun kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla, salah
satu dasar penilaian yang bisa dipilih adalah pernyataan Ketua Tim Dana
Moneter Internasional (IMF) Luis E. Breur bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada 2017 sebesar lima persen tergolong cukup tinggi.
Dari pernyataan Breur dan data dari Bank Dunia, pengamat politik
ekonomi Fachry Ali memberi pujiannya terhadap pencapaian tiga tahun
pemerintahan Jokowi-Kalla, yang sanggup menyesuaikan diri terhadap
situasi ekonomi global yang berubah.
Artinya, dalam konteks ekonomi global dengan kecenderungan
proteksionisme ekonomi Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump,
yang kebijakan ekonomi politiknya mendorong pemulangan kembali dana
investor AS yang ditanam di luar negeri, pertumbuhan ekonomi Indonesia
bisa dipertahankan pada level lima persen.
Pertumbuhan ekonomi suatu negara tentu sangat dipengaruhi antara
lain oleh seberapa besar tingkat pertumbuhan investasi yang berasal
dari penanam modal luar negeri. Dalam situasi terjadinya tendensi
ekonomi AS di bawah Trump untuk memberikan kemudahan atau penurunan
pajak dalam rangka mengembalikan dana investor AS yang ditanam di luar
negeri, maka mau-tak mau perlu ada investor luar negeri lain yang perlu
didorong untuk menanam modal mereka ke Indonesia.
Investor dari China, salah satu negara yang berpotensi menggantikan
posisi AS sebagai pemegang peran penting ekonomi global, tampaknya bisa
menjadi target dalam upaya peningkatan investasi di Tanah Air.
Namun, pada tataran politik, fenomena meningkatnya investasi dari
penanam modal China ini sering menjadi komoditas politik yang bisa
digunakan untuk menggoyang pemerintahan Jokowi-Kalla.
Ada pengamat politik yang mengatakan bahwa program yang belum
memperlihatkan hasil pada tiga tahun kinerja Jokowi-Kalla adalah di
sektor perubahan mentalitas. Dengan kata lain, program revolusi mental
yang dijadikan salah satu ikon kebijakan Jokowi di ranah sosial budaya
belum memberikan hasil yang memuaskan.
Rupanya persoalan yang dikemas dalam frasa revolusi mental ini
terlampau pelik dan kompleks untuk dilihat hasilnya dalam tiga tahun
pemerintahan. Bagaimana mungkin, misalnya, mentalitas korup yang
menggejala dan disuburkan dalam era otokrasi lebih dari tiga dasawarsa
itu bisa dijungkirbalikkan hanya dalam waktu tiga tahun?
Yang kurang disadari oleh mereka yang mengkritik Jokowi dari aspek
pembangunan mentalitas adalah fakta bahwa Jokowi tak pernah berjanji
mentalitas itu akan diubah dalam hitungan tiga atau empat tahun.
Sesungguhnya penilaian yang dilandasi pikiran jernih dalam hal
perubahan mental harus dilakukan secara institusional. Artinya, ada
lembaga-lembaga tertentu yang sudah memperlihatkan perubahan mentalitas
pada aparatnya, namun juga ada yang belum memperlihatkan hasil
sebagaimana diimpikan oleh Jokowi.
Adanya institusi yang bukan wewenang langsung Presiden dalam
memilih pucuk pemimpinnya tapi dipilih oleh rakyat seperti gubernur,
wali kota atau bupati juga berpengaruh terhadap terjadinya perubahan
atau perbaikan mentalitas aparat di bawahnya.
Penegakan hukum
Barangkali yang perlu diberi perhatian ekstra oleh Jokowi-Kalla
dalam dua tahun mendatang sisa pemerintahannya adalah perkara penegakan
hukum yang masih belum sepenuhnya memberikan kepuasan publik yang
signifikan.
Salah satu contoh yang masih membuat geram publik adalah belum
tertanganinya secara berarti penuntasan perkara narkoba. Berkali-kali
terjadi kasus yang sering diungkap media massa bahwa orang yang sudah
dipenjara masih bisa mengendalikan perdagangan narkoba.
Secara logis, kepala lembaga pemasyarakatan bisa bersikap keras
terhadap anak buahnya yang kecolongan sampai seorang narapidana bisa
mengatur perdagangan narkoba dari penjara.
Fenomena ironis itu tentu mengandung makna bahwa kepala lembaga
pemasyarakat itu tak punya kemampuan mengendalikan aparat di bawahnya
yang gampang disogok oleh sang narapidana pengendali perdagangan
narkoba. Jika bukan demikian, sang kepala lembaga pemasyarakatan itulah
yang menjadi sasaran suap dari sang narapidana.
Pelanggaran yang dilakukan narapidana yang masih membahayakan
masyarakat itu bisa dihentikan secara efektif bila ada ketegasan tanpa
kompromi lagi dari menteri terkait untuk memecat kepala-kepala
lembaga pemasyarakatan yang lalai sehingga ada sipir yang kecolongan
membiarkan napi memiliki ponsel untuk mengendalikan transaksi narkoba
dari penjara.
Perkara mentalitas dalam penegakan hukum tentu bukan hanya
seputar perdagangan narkoba yang masih mencemaskan masyarakat. Praktik
suap-menyuap di lingkungan peradilan dalam berbagai kasus hukum pun
masih menggejala dan tak terpungkiri hingga saat ini.
Tampaknya perlu waktu panjang untuk mengatasi persoalan mentalitas
yang benihnya sudah ditabur berpuluh-puluh tahun silam itu.
Menimbang Dengan Pikiran Jernih
Selasa, 28 November 2017 14:07 WIB