Jakarta (Antaranews Babel) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menginformasikan bahwa Wakil Presiden Republik Indonesia 2009-2014
Boediono diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi
terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Hari ini saksi datang ke KPK untuk diperiksa terkait kasus BLBI
dengan tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung," kata Juru Bicara KPK
Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.
Febri menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap Boediono dilakukan dalam
kapasitas yang bersangkutan sebagai mantan Menteri Keuangan 2001-2004
atau pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Lebih lanjut, ia pun menyatakan bahwa Boediono mendatangi gedung KPK
atas inisiatifnya sendiri karena sebelumnya yang bersangkutan
berhalangan hadir untuk diperiksa.
"Atas inisiatif sendiri meminta diperiksa hari ini karena sebelumnya yang bersangkutan berhalangan," ucap Febri.
Boediono sudah mendatangi gedung KPK, Jakarta sekitar pukul 09.50
WIB dengan mengenakan baju batik lengan pendek warna coklat.
Sebelumnya, KPK baru saja menahan mantan Kepala Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung pada Kamis
(21/12) lalu di Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur Cabang Rutan
KPK untuk 20 hari ke depan.
KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017 lalu.
Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian
Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank
Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan
kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8
Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor
yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor
yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati
Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono,
Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri
BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah
menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban
pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan
sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi
kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset
oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari
pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI,
kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL
terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.
KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25
Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara
dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham
pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban
penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58
triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada
BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi
penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan
walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.
Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri dari Rp1,1 triliun yang dinilai
"suistanable" dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7
triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restukturisasi yang
menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan.
Sebelumnya berdasarkan perhitungan BPK hanya Rp220 miliar yang
kemudian benar-benar tidak menjadi bagian dari indikasi kerugian
keuangan negara tersebut.
Sehingga dari total Rp4,8 triliun, indikasi kerugian keuangan negaranya adalah Rp4,58 triliun.
Syafruddin pun sempat mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, namun Hakim Tunggal Effendi Mukhtar menolak seluruh
permohonan praperadilan yang diajukannya dalam pembacaan putusan pada 2
Agustus 2017 lalu.