Jakarta (Antaranews Babel) - Mantan Menteri Keuangan Boediono mengatakan bahwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyat Temenggung tidak pernah melaporkan misrepsentasi aset yang dilakukan oleh pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim.
"Yang dibahas dalam rapat KKSK beban petambak Rp135 juta menjadi Rp100 juta per petambak, kalau gambaran besarnya itu. Akan tetapi, soal misrepresentasi tidak dibahas, sepanjang rapat yang saya hadiri, saya tidak ingat ada pembicaraan mengenai masalah misrepresentasi," kata Boediono dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.
Boediono diperiksa sebagai saksi untuk Ketua BPPN 2002 - 2004 Syafruddin Arsyat Temenggung yang menjadi terdakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Djakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) serta pemilik Bank Dagang Negarai Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S. Nursalim dalam perkara dugaan korupsi penerbitan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.
"Izin mengonfirmasi BAP 14 apakah ketua BPPK Syafruddin Arsyad Temenggung melaporkan kepada KKSK mengenai temuan misrepresentasi tentang PT DCD dan PT WM, saudara menjawab bahwa Syafruddin tidak melaporkan kepada KKSK tentang misrepresentasi PT DCD dan PT WM sebesar Rp4,8 triliun atas pelaksanaan FGD dari Ernest and Young`, apakah ini benar?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK I Wayan Riana.
?"Benar," jawab Boediono.
"Dalam rapat KKSK 13 Februari 2004, apakah terdakwa Syafruddin sebagai ketua BPPN melaporkan terkait dengan penyelesaian misrepresentasi utang petambak yang macet kepada KKSK?" tanya jaksa Wayan.
"Soal misrepresentasi tidak. Akan tetapi, petambak memang dilaporkan kesulitan makanya tambak macet, pengurangan beban (utang) itu menurut kami memang baik tapi dalam konteks aturan yang ada. Saya tidak ingat ada pembicaraan khusus soal kredit macet tapi info yang beredar ada petambak yang tidak bisa bayar atau kesulitan, fokus saja," jelas Boediono.
Menurut Boediono, anggota KKSK yang terdiri atas sejumlah menteri yang diketuiai oleh Menko Ekuin menerima saja data yang diberikan oleh BPPN.
"Anggota KKSK, terutama saya, mengandalkan sistem. Sistem itu memberikan masukan info dan KKSK yang kemudian melihat apakah prosedurnya itu baik. Kalau memang detailnya, saya tidak tahu. Akan tetapi, kalau mereka katakan sudah dipenuhi, ya, kami terima. Kalau tidak salah dalam surat keputusan KKSK itu mewajibkan BPPN mengecek kembali semua persyaratan dipenuhi baru dikeluarkan SKL (surat keterangan lunas)," jelas Boediono.
BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada tahun 1998. BDNI mengikuti penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA).
BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.
Aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun, termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang, padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).
Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebesar Rp3,5 triliun yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada tanggal 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.
Namun, berdasarkan keputusan KKSK pada tanggal 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7.000,00/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.
Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang sustainable dan unstainable adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8.500,00/dolar AS pada tanggal 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada tanggal 11 Februari 2004, yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.
Bahkan, pada tanggal 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan perincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan11 ribu petambak dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.
Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak sebesar Rp80 juta/petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK RI.