Jakarta (Antara Babel) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
mengatakan upaya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan memblokir izin
bagi para pelaku usaha yang bermasalah guna mendorong kualitas
pelayanan kepabeanan.
"Kita memperbaiki pelayanan kepada publik dan memisahkan pelaku
ekonomi yang punya rekam jejak baik dengan mereka yang dianggap high
risk dan butuh pengawasan lebih lanjut," kata Sri Mulyani dalam jumpa
pers Tim Reformasi Perpajakan dan Kepabeanan dan Cukai di Jakarta,
Senin.
Ketegasan itu, kata Sri Mulyani, telah dilakukan otoritas bea dan
cukai agar pelaku usaha yang patuh bisa mendapatkan pelayanan yang
memadai dan tidak ikut dirugikan oleh ulah para pengusaha nakal yang
tidak mau mematuhi peraturan perpajakan berlaku.
"Bukan kami ingin melakukan intimidasi, melainkan kami ingin
mengatakan pelaku ekonomi yang memiliki kepatuhan baik berhak
mendapatkan pelayanan. Jadi, tujuannya memisahkan pelaku yang baik dan
kurang baik agar jangan sampai pelaku yang baik dirugikan pelaku yang
tidak baik," katanya.
Sri Mulyani menjelaskan upaya tersebut juga merupakan sinergi
penguatan yang dilakukan di Tim Reformasi Perpajakan dan Kepabeanan dan
Cukai agar penerimaan dari bea cukai bisa lebih optimal dan layanan
kepabenanan dapat lebih cepat.
"Upaya ini juga dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pengguna
jasa dan pengamanan fasilitas fiskal yang diberikan agar terjadi
optimalisasi penerimaan dari sektor bea dan cukai, perbaikan data
statistik impor, serta perbaikan waktu layanan," ujar Ketua I Tim
Pengarah Tim Reformasi Perpajakan ini.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah melakukan penertiban
terhadap importir berisiko tinggi dan tidak menyampaikan laporan surat
pemberitahuan tahunan (SPT) kepada Direktorat Jenderal pajak dengan
melakukan pemblokiran terhadap 676 importir.
Otoritas bea cukai juga telah memblokir izin 30 perusahaan Gudang
Berikat yang tidak menyampaikan laporan SPT, memblokir izin 9.568
perusahaan yang tidak melakukan impor selama 12 bulan, mencabut izin 50
perusahaan penerima fasilitas gudang berikat, dan 88 penerima fasilitas
kawasan berikat.
Selain melakukan pertukaran data dengan Direktorat Jenderal Pajak,
otoritas bea cukai juga melakukan joint program untuk meminimalkan
potensi pelarian hak negara dengan melakukan pemeriksaan sederhana,
konseling, penagihan, maupun penyidikan.
Untuk peran ini, bea cukai telah melakukan revitalisasi peran
audit di unit pusat dan vertikal guna lebih mengefektifkan fungsi
pengawasan melalui kegiatan pemeriksaan dokumen, penelitian ulang, dan
audit yang diharapkan bisa meningkatkan kepatuhan pengguna jasa.
Selain itu, kedua otoritas juga membentuk identitas tunggal dan
profil bisnis dengan menyatukan nomor identitas kepabeanan (NIK) dan
nomor pokok wajib pajak (NPWP) untuk mempercepat pelayanan registrasi,
memberikan perlakuan proposional, dan mendorong kemudahan berusaha.
Institusi bea cukai ikut menggiatkan insentif bagi pengguna jasa
dengan tingkat kepatuhan yang baik berupa penambahan perusahaan penerima
fasilitas Authorized Economic Operator (AEO) dan Mitra Utama
(MITA)Kepabeanan.
Hingga Februari 2017, tercatat sebanyak 44 perusahaan telah
mendapatkan sertifikasi AEO dan 113 perusahaan MITA pada tahun 2016.
Jumlah tersebut direncanakan bertambah menjadi 264 perusahaan pada tahun
2017.
Bertambahnya perusahaan penerima fasilitas ini bisa berdampak pada
penurunan waktu muat di pelabuhan (dwelling time) MITA dan AEO lebih
cepat 30 persen dari total "dwelling time" saat ini sehingga bisa
menurunkan biaya logistik perusahaan.
Di sektor cukai, otoritas bea cukai membangun aplikasi automasi
pembekuan pabrik rokok ilegal dan telah mencabut izin dua pabrik rokok
serta membekukan izin dua pabrik rokok, melalui aplikasi ini, hingga
Maret 2017.
Pembangunan aplikasi automasi di sektor cukai ini akan
meningkatkan efektivitas pengawasan produksi dan peredaran rokok ilegal,
serta meningkatkan penerimaan negara melalui penurunan potensi kerugian
negara.
Menkeu: Pemblokiran Izin Usaha Pengusaha Bermasalah Perbaiki Pelayanan Publik
Senin, 3 April 2017 21:04 WIB
Kita memperbaiki pelayanan kepada publik dan memisahkan pelaku ekonomi yang punya rekam jejak baik dengan mereka yang dianggap `high risk` dan butuh pengawasan lebih lanjut.