Pengacara asal Indonesia masuk dalam daftar 20 pengacara paling berpengaruh di Singapura versi Singapura Business Review 2019 terkait dengan kontribusinya sebagai pusat penyelesaian sengketa teratas di Asia Pasifik.
Berdasarkan Singapura Business Review 2019 yang diterima di Jakarta, Minggu (22/12), dua puluh pengacara telah muncul sebagai sosok yang paling menjanjikan dalam industri itu selama tahun keenam dari tokoh-tokoh hukum Singapore Business Review yang berusia 40 tahun dan di bawahnya pada 2019.
Singapura Business Review dalam keterangan tertulis di laman resminya menyebutkan profesional yang dipilih berspesialisasi dalam berbagai masalah, seperti penyelesaian sengketa, restrukturisasi dan insolvensi, merger dan akuisisi (M&A), serta industri seperti real estat, kedirgantaraan, ritel, perbankan dan keuangan, serta energi.
Ke-20 pengacara ini telah memberi saran kepada klien-klien terkenal tentang transaksi multimiliar secara lokal dan di seluruh Asia. Mereka juga telah berkontribusi dalam status Singapura sebagai pusat penyelesaian sengketa teratas, sebut media tersebut.
Salah satu pengacara, Wincen Santoso (32) dari DLA Piper Singapore menilai arbitrase menjadi primadona untuk penyelesaian sengketa bisnis di skala internasional.
Semakin sentralnya perekonomian di Asia bagi dunia turut memberikan dampak bagi meningkatnya volume transaksi bisnis internasional di kawasan ini. Sengketa bisnis pun akhirnya menjadi hal yang tidak terelakkan.
Wincen menjelaskan Indonesia masuk lima besar setelah Amerika Serikat, India, Malaysia, dan China yang paling banyak berperkara di Singapore International Arbitration Centre (SIAC).
Bila pada 2017 hanya ada 32 pihak yang melibatkan perusahaan Indonesia di SIAC, tahun lalu jumlahnya meningkat ada 62 pihak yg melibatkan perusahaan Indonesia di Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Jumlah itu melonjak drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Padahal, jumlah itu belum termasuk perkara-perkara yang melibatkan perusahaan Indonesia di International Chamber of Commerce (ICC), London Court of International Arbitration (LCIA), dan Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC)," lanjutnya.
Hal ini disebabkan makin derasnya investasi asing masuk Indonesia dan juga sebaliknya banyak perusahaan Indonesia yang "go international", sehingga sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan asing dan perusahaan lokal pun makin marak.
Sengketa bisnis yang melibatkan pelaku bisnis internasional tidak jarang berujung pada arbitrase internasional.
"Terbukti, jumlah kasus sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan Indonesia di tingkat arbitrase internasional pun makin meningkat tajam," sambungnya.
Wincen menjelaskan arbitrase layaknya seperti pengadilan swasta, di mana para pihak berperkara dapat menunjuk arbiter (hakimnya). Arbitrase juga menyidangkan perkara untuk tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak dikenal istilah banding atau kasasi.
Di samping itu karena perkara diadili oleh arbiter yang ditunjuk oleh pihak berperkara, sehingga arbiter/hakim benar-benar menguasai masalah. Misalnya untuk perkara konstruksi dapat dipertimbangkan untuk ditunjuk arbiter yang ahli di bidang konstruksi, kata Wincen di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan arbitrase menjadi sarana untuk penyelesaian sengketa bisnis internasional populer karena diakui 159 negara.
Jadi misalnya ada sengketa antara perusahaan Indonesia versus perusahaan Republik Rakyat Tiongkok di Singapura dan diselesaikan melalui arbitrase. Kemudian, pihak Indonesia menang dan ternyata aset perusahaan RRT berada di Russia, Australia, dan Inggris, maka putusan arbitrase pada umumnya dapat dieksekusi di sejumlah negara tersebut dengan beberapa catatan, katanya.
Hal itu berbeda apabila sengketanya diadili di pengadilan asing. Pengadilan negara lain pada umumnya tidak akan mau melaksanakan putusan pengadilan asing apabila tidak ada dasar perjanjian internasional.
Selain itu, setiap negara punya kedaulatan masing-masing jadi tidak bisa putusan pengadilan Singapura dilaksanakan di Indonesia, tanpa adanya dasar perjanjian internasional, kecuali dalam kerangka arbitrase internasional, ungkap Wincen.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019
Berdasarkan Singapura Business Review 2019 yang diterima di Jakarta, Minggu (22/12), dua puluh pengacara telah muncul sebagai sosok yang paling menjanjikan dalam industri itu selama tahun keenam dari tokoh-tokoh hukum Singapore Business Review yang berusia 40 tahun dan di bawahnya pada 2019.
Singapura Business Review dalam keterangan tertulis di laman resminya menyebutkan profesional yang dipilih berspesialisasi dalam berbagai masalah, seperti penyelesaian sengketa, restrukturisasi dan insolvensi, merger dan akuisisi (M&A), serta industri seperti real estat, kedirgantaraan, ritel, perbankan dan keuangan, serta energi.
Ke-20 pengacara ini telah memberi saran kepada klien-klien terkenal tentang transaksi multimiliar secara lokal dan di seluruh Asia. Mereka juga telah berkontribusi dalam status Singapura sebagai pusat penyelesaian sengketa teratas, sebut media tersebut.
Salah satu pengacara, Wincen Santoso (32) dari DLA Piper Singapore menilai arbitrase menjadi primadona untuk penyelesaian sengketa bisnis di skala internasional.
Semakin sentralnya perekonomian di Asia bagi dunia turut memberikan dampak bagi meningkatnya volume transaksi bisnis internasional di kawasan ini. Sengketa bisnis pun akhirnya menjadi hal yang tidak terelakkan.
Wincen menjelaskan Indonesia masuk lima besar setelah Amerika Serikat, India, Malaysia, dan China yang paling banyak berperkara di Singapore International Arbitration Centre (SIAC).
Bila pada 2017 hanya ada 32 pihak yang melibatkan perusahaan Indonesia di SIAC, tahun lalu jumlahnya meningkat ada 62 pihak yg melibatkan perusahaan Indonesia di Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Jumlah itu melonjak drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Padahal, jumlah itu belum termasuk perkara-perkara yang melibatkan perusahaan Indonesia di International Chamber of Commerce (ICC), London Court of International Arbitration (LCIA), dan Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC)," lanjutnya.
Hal ini disebabkan makin derasnya investasi asing masuk Indonesia dan juga sebaliknya banyak perusahaan Indonesia yang "go international", sehingga sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan asing dan perusahaan lokal pun makin marak.
Sengketa bisnis yang melibatkan pelaku bisnis internasional tidak jarang berujung pada arbitrase internasional.
"Terbukti, jumlah kasus sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan Indonesia di tingkat arbitrase internasional pun makin meningkat tajam," sambungnya.
Wincen menjelaskan arbitrase layaknya seperti pengadilan swasta, di mana para pihak berperkara dapat menunjuk arbiter (hakimnya). Arbitrase juga menyidangkan perkara untuk tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak dikenal istilah banding atau kasasi.
Di samping itu karena perkara diadili oleh arbiter yang ditunjuk oleh pihak berperkara, sehingga arbiter/hakim benar-benar menguasai masalah. Misalnya untuk perkara konstruksi dapat dipertimbangkan untuk ditunjuk arbiter yang ahli di bidang konstruksi, kata Wincen di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan arbitrase menjadi sarana untuk penyelesaian sengketa bisnis internasional populer karena diakui 159 negara.
Jadi misalnya ada sengketa antara perusahaan Indonesia versus perusahaan Republik Rakyat Tiongkok di Singapura dan diselesaikan melalui arbitrase. Kemudian, pihak Indonesia menang dan ternyata aset perusahaan RRT berada di Russia, Australia, dan Inggris, maka putusan arbitrase pada umumnya dapat dieksekusi di sejumlah negara tersebut dengan beberapa catatan, katanya.
Hal itu berbeda apabila sengketanya diadili di pengadilan asing. Pengadilan negara lain pada umumnya tidak akan mau melaksanakan putusan pengadilan asing apabila tidak ada dasar perjanjian internasional.
Selain itu, setiap negara punya kedaulatan masing-masing jadi tidak bisa putusan pengadilan Singapura dilaksanakan di Indonesia, tanpa adanya dasar perjanjian internasional, kecuali dalam kerangka arbitrase internasional, ungkap Wincen.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019