Jakarta (Antara Babel) - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengakui bahwa pemerintah Indonesia terlalu persuasif dalam merespons penyanderaan WNI oleh kelompok separatis Filipina, Abu Sayyaf, yang sekarang sudah keempat kalinya terjadi.
Pernyataan tersebut diungkapkan untuk menanggapi fakta bahwa kelompok bersenjata tersebut terkesan memilih-milih target saat menculik tiga WNI yang sedang menangkap ikan di perairan perbatasan Malaysia dan Filipina, Minggu (10/7) malam.
"Mungkin kita terlalu persuasif, mungkin juga karena alasan ekonomi atau faktor politik. Ini harus kita analisa dengan benar," ujar Gatot usai mengikuti rapat koordinasi tentang pusat krisis (crisis centre) pembebasan sandera WNI di Kemenkopolhukam, Jakarta, Senin.
Istilah persuasif yang dimaksud Gatot merujuk pada kecenderungan pemerintah Indonesia untuk membebaskan sandera melalui jalur negosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf, dan belum pernah melakukan upaya militer padahal peristiwa serupa telah terjadi berulang kali.
"Kita tidak melakukan kegiatan operasi militer ke sana, jadi mereka memanfaatkan celah-celah itu. Tetapi kalau ada (operasi militer), saya yakin mereka tidak akan berani," katanya.
Karena itu, Panglima TNI mendorong implementasi perjanjian kerja sama yang telah dibahas dalam pertemuan antara Menteri Pertahanan RI-Filipina, Juni lalu, yang antara lain mencakup izin operasi militer bagi prajurit Indonesia untuk membebaskan WNI yang disandera di wilayah Filipina.
Dalam hal ini, Panglima TNI juga meminta pemerintah Malaysia ikut andil dalam pembebasan sandera mengingat ketiga WNI yang diculik merupakan tenaga kerja legal yang bekerja untuk kapal penangkap ikan berbendera Malaysia.
Tiga WNI yang diculik oleh kelompok separatis Filipina yakni Lorence Koten (34) selaku juragan kapal, Teodorus Kopong (42), dan Emanuel (40).
Menurut keterangan majikan kapal, Chia Tong Len, para penculik memilih target warga yang akan disandera yakni WNI yang memiliki paspor Indonesia, sedangkan tiga ABK warga Filipina dan satu ABK WNI yang tidak membawa paspor, dilepaskan.
Peristiwa ini menjadi tanda tanya besar bagi publik Indonesia, yang kemudian berkembang menjadi dugaan bahwa WNI menjadi target penyanderaan karena pemerintah Indonesia bersedia membayar uang tebusan untuk membebaskan sandera.
"Saya tekankan bahwa sesuai apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo, yang diutamakan adalah keselamatan sandera tetapi baik kita maupun pemerintah Filipina tidak menghendaki adanya pembayaran (tebusan)," ujar Gatot.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan pernah mendukung kebijakan pembayaran tebusan (ransom policy), meskipun tetap memprioritaskan keselamatan WNI yang menjadi sandera.
Sebelumnya, tujuh WNI ABK kapal Tugboat Charles 001 dan kapal tongkang Robby 152 juga disandera kelompok Abu Sayyaf di Kepulauan Sulu, Filipina selatan, sejak 21 Juni 2016.
Hingga kini, total WNI yang dijadikan sandera oleh kelompok separatis tersebut berjumlah 10 orang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016
Pernyataan tersebut diungkapkan untuk menanggapi fakta bahwa kelompok bersenjata tersebut terkesan memilih-milih target saat menculik tiga WNI yang sedang menangkap ikan di perairan perbatasan Malaysia dan Filipina, Minggu (10/7) malam.
"Mungkin kita terlalu persuasif, mungkin juga karena alasan ekonomi atau faktor politik. Ini harus kita analisa dengan benar," ujar Gatot usai mengikuti rapat koordinasi tentang pusat krisis (crisis centre) pembebasan sandera WNI di Kemenkopolhukam, Jakarta, Senin.
Istilah persuasif yang dimaksud Gatot merujuk pada kecenderungan pemerintah Indonesia untuk membebaskan sandera melalui jalur negosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf, dan belum pernah melakukan upaya militer padahal peristiwa serupa telah terjadi berulang kali.
"Kita tidak melakukan kegiatan operasi militer ke sana, jadi mereka memanfaatkan celah-celah itu. Tetapi kalau ada (operasi militer), saya yakin mereka tidak akan berani," katanya.
Karena itu, Panglima TNI mendorong implementasi perjanjian kerja sama yang telah dibahas dalam pertemuan antara Menteri Pertahanan RI-Filipina, Juni lalu, yang antara lain mencakup izin operasi militer bagi prajurit Indonesia untuk membebaskan WNI yang disandera di wilayah Filipina.
Dalam hal ini, Panglima TNI juga meminta pemerintah Malaysia ikut andil dalam pembebasan sandera mengingat ketiga WNI yang diculik merupakan tenaga kerja legal yang bekerja untuk kapal penangkap ikan berbendera Malaysia.
Tiga WNI yang diculik oleh kelompok separatis Filipina yakni Lorence Koten (34) selaku juragan kapal, Teodorus Kopong (42), dan Emanuel (40).
Menurut keterangan majikan kapal, Chia Tong Len, para penculik memilih target warga yang akan disandera yakni WNI yang memiliki paspor Indonesia, sedangkan tiga ABK warga Filipina dan satu ABK WNI yang tidak membawa paspor, dilepaskan.
Peristiwa ini menjadi tanda tanya besar bagi publik Indonesia, yang kemudian berkembang menjadi dugaan bahwa WNI menjadi target penyanderaan karena pemerintah Indonesia bersedia membayar uang tebusan untuk membebaskan sandera.
"Saya tekankan bahwa sesuai apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo, yang diutamakan adalah keselamatan sandera tetapi baik kita maupun pemerintah Filipina tidak menghendaki adanya pembayaran (tebusan)," ujar Gatot.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan pernah mendukung kebijakan pembayaran tebusan (ransom policy), meskipun tetap memprioritaskan keselamatan WNI yang menjadi sandera.
Sebelumnya, tujuh WNI ABK kapal Tugboat Charles 001 dan kapal tongkang Robby 152 juga disandera kelompok Abu Sayyaf di Kepulauan Sulu, Filipina selatan, sejak 21 Juni 2016.
Hingga kini, total WNI yang dijadikan sandera oleh kelompok separatis tersebut berjumlah 10 orang.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016