Pangkalpinang (Antara Babel) - Komoditas lada pernah memiliki peran strategis baik secara ekonomis, historis, bahkan sosiologis bagi masyarakat Provinsi Bangka Belitung atau Babel.

Kini peran itu mulai tidak tampak dan bahkan nyaris tinggal kenangan serta terbuang di kampung sendiri.

Selama ratusan tahun, komoditas yang mulai ditanam di Babel pada abad ke-16 itu dikelola secara tradisional hanya dengan mengandalkan pengetahuan alami petaninya. Mereka cenderung berjuang sendiri menghadapi berbagai persoalan terkait perladaan, mulai dari masalah ketersediaan lahan yang semakin menyusut akibat alih fungsi, masalah pembibitan, pemupukan dan pemberantasan hama hingga masalah pemasaran.

Akibatnya, ketika negara lain mulai menerapkan teknologi perkebunan lada, "Muntok white pepper" (Lada Putih Muntok) yang terkenal sejak zaman kongsi dagang Hindia Belanda (VOC) itu semakin kehilangan kejayaannya; kalah kualitas dan produksi.

Kini Pemerintah Provinsi Babel bertekad mengembalikan kejayaan itu dengan membentuk Badan Pengelolaan, Pengembangan, dan Pemasaran Lada (BP3L) yang diharapkan mampu menangani segala persoalan dari hulu sampai hilir.

BP3L Babel sendiri sudah menyusun sejumlah langkah strategis untuk kembali menggairahkan petani menanam lada, di antaranya dengan penyediaan bibit unggul.

Menurut Kepala BP3L Babel Zainal Arifin di Pangkalpinang, Minggu, pihaknya akan fokus pada program pembibitan agar permintaan petani yang terus bertambah setiap bulannya dapat terpenuhi.

Untuk dapat memenuhi permintaan tersebut, pihaknya sedang membangun "green house" yang mempunyai kapasitas pembibitan hingga ratusan ribu batang. Pembibitan dilakukan untuk memberi jaminan bagi petani karena perkebunan lada merupakan investasi jangka panjang dengan kebutuhan pasar yang semakin tinggi dari tahun ke tahun.

"Gubernur juga sudah meminta BP3L untuk tetap fokus terhadap pemenuhan kebutuhan bibit petani, karena Babel sudah dikenal sebagai penghasil lada terbesar. Petani juga tidak perlu khawatir kalau lada yang mereka hasilkan tidak terjual, karena saat ini kebutuhan lokal saja masih belum bisa dipenuhi apalagi untuk memenuhi kebutuhan dunia," katanya.

Dia menilai saat ini merupakan momentum terbaik untuk mengembangkan lada dengan melakukan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan khususnya pemerintah. BP3L sendiri akan berupaya mensinergikan programnya menjadi lebih baik agar masa pascatimah tidak menjadi masalah serius bagi daerah itu.

"Gubernur juga sudah setuju BP3L mengembangkan kebun percontohan di Pulau Belitung," kata Zainal.

Kerja Sama

Strategi lain yang diusung BP3L Babel untuk pengembangan lada adalah menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan termasuk PT Timah Tbk, perusahaan pengekspor lada serta pihak perbankan.

Saat ini perusahaan-perusahaan tersebut telah memberikan bantuan baik dana untuk pembibitan, pembangunan tempat penjemuran, perendaman maupun pencucian serta bantuan dana pelatihan bagi para petani, sementara untuk masalah lahan pihaknya akan bekerja sama dengan PT Timah di mana lahan bekas tambang bisa dijadikan kebun lada masayarakat.

"Saat ini PT Timah sudah membantu dengan menyediakan tempat penjemuran dan perendaman lada bagi para petani," ujarnya.

Lahan bekas tambang timah rencananya akan dijadikan perkebunan lada yang sebelumnya direklamasi. "Kami akan terus mengajak PT Timah bekerja sama mereklamasi lahan bekas tambang untuk menunjang peningkatan produksi lada Babel guna menghadapi masa pascatimah nanti," katanya.

Selain itu, perusahaan pengekspor lada juga banyak membantu BP3L dalam hal penyediaan dana untuk pembibitan dan pengembangan, karena mereka mengetahui usaha mereka sangat bergantung pada produksi lada itu sendiri. Sedangkan pemerintah daerah khususnya SKPD terkait diharapkan membantu BP3L dengan mempermudah perizinan lahan yang disediakan pihak perusahaan.

Seterusnya, BP3L Babel juga akan menggandeng sejumlah perusahaan swasta untuk mengembangkan aneka produk industri rumah tangga berbahan bubuk lada untuk meningkatkan nilai jual lada di pasaran.

"Industri rumah tangga yang memproduksi makanan dan minuman seperti gula-gula, getes, kue dan kopi dengan rasa pedas lada diyakini akan menambah variasi rasa di pasaran dan bisa menjadi ikon makanan khas Babel," katanya.

Menurut Zainal Arifin, saat ini pihaknya menggandeng beberapa perusahaan swasta dengan melakukan kerja sama dan uji coba mengembangkan beberapa jenis makanan dengan rasa lada.

"Selama ini baru ada beberapa pengusaha kecil yang mengembangkan produk makanan dengan rasa lada, sehingga prospek ke depannya masih menjanjikan seiring dengan perkembangan sektor pariwisata," ujarnya.

Kerja sama dengan pihak swasta juga untuk mendukung pemasaran. "Kami berencana membuat kemasan seperti yang dilakukan perusahaan swasta nasional agar produk olahan menjadi lebih menarik untuk dipasarkan, namun hingga kini belum terlaksana karena terkendala dana," ujarnya.

Ia berharap beberapa perusahaan swasta yang sejauh ini sudah menyatakan kesanggupan bekerja sama dengan BP3L dalam pengadaan alat produksi dan kemasan dapat menindaklanjuti rencana tersebut.

"Dengan ketersediaan alat produksi standar diharapkan program pengembangan produk olahan dapat berjalan dengan baik, bermanfaat dan memotivasi masyarakat untuk meningkatkan produksinya," katanya menambahkan.  

Produksi

BP3L Babel sendiri juga tidak menampik drastisnya penurunan produksi lada daerah itu dari tahun ke tahun. Penurunan produksi itu sendiri diyakini sebagai kesalahan kebijakan terkait pertambangan timah yang mengakibatkan luas lahan perkebunan lada berkurang sekitar 7,4 persen per tahun karena beralih fungsi menjadi lokasi tambang.

Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir produksi lada Babel cenderung kembali meningkat karena masyarakat sudah mulai menyadari sektor perkebunan itu bisa dijadikan investasi jangka panjang.

"Produksi lada kita terus mengalami peningkatan secara bertahap walaupun belum bisa mengembalikan kejayaan seperti dulu. Minimal produksi lada bisa mencapai setengah dari masa-masa emas itu dan diharapkan setiap tahunnya mengalami peningkatan," ujar Zainal.

BP3L Babel mencatat, produksi lada Babel yang mencapai 42 ribu ton pada 2002 kini hanya tinggal 25 persennya saja, terutama karena lahan beralih fungsi untuk perkebunan kelapa sawit dan tambang timah.

Produksi lada pada 2013 tercatat sekitar 8,3 ribu ton, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 7,8 ribu ton. Pada 2014 diharapkan meningkat lagi menjadi 10 ribu ton.

Tahun 2009 merupakan masa kritis produksi lada di Babel yakni hanya 2,7 ribu ton. Bahkan daerah itu nyaris tidak mampu memproduksi lada lagi.

Menurut Zainal, peningkatan produksi lada Babel mulai terjadi pada 2010 sebesar 6,1 ribu ton dan terus meningkat hingga akhir 2013. Babel nantinya diharapkan bisa mengekspor lada hingga 25 ribu ton walaupun belum akan bisa mengembalikan kejayaan ekspor yang mencapai 50 ribu ton seperti masa kejayaannya dulu.

Ia mengakui Babel tidak akan bisa lagi menguasai pasar lada seperti pada era 1990-an yang mencapai 86 persen dari total perdagangan dunia. "Tapi kita tetap optimistis untuk terus meningkatkan produksi lada karena kebutuhan dunia di masa datang akan terus meningkat dan tidak kurang 100 ribu ton setiap tahunnya," katanya.

Ia berharap dengan minimnya produksi, petani tetap menjaga mutu lada Bangka di pasar internasional dengan cara hanya menjual lada kualitas bagus, sementara untuk kualitas rendah dikembangkan untuk campuran membuat produk makanan olahan.

"Mulai sekarang petani diharapkan juga tidak sekedar menjual lada dalam bentuk biji, tapi ada usaha alternatif untuk memanfaatkan bubuk lada sebagai alternatif perasa pada makanan dan minuman sehingga penurunan produksi tidak berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat," katanya. 

Teknologi Ramah Lingkungan
   
 Sebagai upaya untuk meningkatkan produksi lada babel, BP3L mulai memperkenalkan teknologi ramah lingkungan kepada petani, di antaranya menanam lada dengan menggunakan tiang panjat hidup dari pohon gamal serta penggunaan pupuk dari bahan organik.

Menurut Kepala Divisi Perkebunan BP3L Babel, Herwan, pengenalan teknologi ramah lingkungan dilakukan BP3L di kebun percontohan lada di Desa Cambai, Kabupaten Bangka Tengah.

"Sekarang ini sudah banyak petani yang datang ke kebun percontohan untuk mendapatkan pemahaman serta belajar langsung dan melakukan praktik dalam bercocok tanam lada," ujarnya.

Di tempat itu para petani belajar bagaimana pembibitan dengan cara penyetekan, bagaimana cara penyemaian bibit dan bagaimana cara mengunakan tiang panjat hidup menggunakan jenis kayu gamal yang merupakan kayu terbaik untuk junjung lada.

Dengan diajarkan cara menyetek, para petani diharapkan bisa menghasilkan bibit sendiri sehingga tidak perlu lagi membelinya.

"Selama ini banyak petani yang berpikir kalau junjung kayu hidup tidak bagus untuk menanam lada karena akan ada persaingan makanan unsur hara antara lada dengan junjung hidup tersebut. Namun setelah dilakukan pengujian, apa yang dipikirkan para petani itu tidak terbukti dan saat ini teknologi ramah lingkungan seperti junjung hidup harus digunakan, terlebih persediaan junjung mati sudah semakin susah didapatkan," katanya.

Penggunaan tiang panjat atau junjung hidup mempunyai umur pakai hingga 15 tahun, atau tiga kali lebih lama bila dibandingkan dengan junjung mati yang hanya sampai lima tahun saja.

Selain itu, penggunaan pupuk organik harus dilakukan untuk memperbaiki struktur tanah agar menjadi lebih gembur, namun penggunaan pupuk kimia masih harus dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan lada dalam jumlah yang semakin sedikit.

BP3L Babel sendiri menyediakan 150 ton pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan petani lada di daerah itu, yang siap disalurkan agar kebun lada lebih produktif sekaligus ramah lingkungan.

Selama ini kendala petani dalam meningkatkan produksi adalah ketersediaan pupuk yang terbatas dan harga tinggi. Karena itu pihaknya terus berupaya menyediakan pupuk organik berkualitas dengan harga murah, sehingga petani tidak lagi terbebani.

Berdasarkan penelitian, pupuk organik mampu meningkatkan produksi lada jika dibandingkan pupuk kimia. Satu pohon lada mengunakan pupuk organik bisa menghasilkan satu kilogram lada, sementara jika mengunakan pupuk kimia hanya menghasilkan 0,5 kilogram.

Selain itu, pupuk organik tidak merusak kesuburan tanah. Semakin banyak pupuk maka semakin subur tanah tersebut dan tanaman lebih tahan terhadap hama penyakit.

"Yang terpenting saat ini adalah mengubah pola pikir masyarakat kalau berkebun lada itu tidak semahal yang dibayangkan. Dengan teknologi ramah lingkungan berkebun lada bisa lebih murah," ujar Herwan.

Ia mengakui untuk mengembalikan kejayaan Lada Putih Muntok atau "Muntok white pepper" tidaklah mudan dan membutuhkan langkah-langkah strategis, antara lain peningkatan produktivitas, mutu, efisiensi biaya produksi dan pemasaran.

"Oleh karena itu perbaikan teknologi budidaya dan pascapanen lada di tingkat petani sangat diperlukan agar produk lada Babel mampu bersaing," katanya.

Pewarta: Oleh: Riza Mulyadi

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014