Jakarta (Antaranews Babel) - Pemerintah pusat diminta untuk membuat aturan turunan yang mengatur soal layanan psikososial bagi korban kejahatan karena banyak pemerintah daerah yang belum memahami soal layanan tersebut.
"Pemberian layanan psikososial masih kompleks karena belum adanya aturan turunan terkait pemenuhan hak psikososial dari UU Perlindungan Saksi dan Korban," kata Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai di Jakarta, Kamis.
Sehingga, lanjut dia, layanan yang diberikan oleh LPSK merupakan hasil koordinasi kelembagaan antara LPSK dengan instansi terkait.
"Namun tidak jarang upaya LPSK memenuhi hak psikososial korban terkendala pemikiran instansi terkait bahwa mereka tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi hak psikososial korban," ujarnya.
Menurut dia, pemberian layanan psikososial berupa bantuan pendidikan, sandang, papan, pekerjaan dan lainnya tidak hanya diperuntukkan bagi negara saja. Namun, pihak swasta bisa membantu melalui program CSR nya.
Semendawai menambahkan, aturan turunan terkait pemenuhan hak psikososial ini bisa menjadi payung hukum, baik untuk LPSK maupun instansi lain, dalam mengusahakan pemenuhan hak psikososial bagi korban kejahatan.
"Rehabilitasi psikososial penting dilakukan agar korban bisa menjalankan fungsi sosialnya secara wajar pascamenjadi korban tindak pidana," katanya.
Misalnya, lanjut dia, melalui upaya menyiapkan peluang mendapatkan pekerjaan (pelatihan kerja, modal usaha), jaminan keberlangsungan pendidikan (kuliah bagi dewasa, dan sekolah bagi korban anak, maupun bagi anak korban yang orangtuanya menjadi korban tindak pidana terorisme)
Dalam kesempatan itu, Semendawai mengatakan, selama dua bulan pertama tahun 2018 ini LPSK sudah melakukan 41 kali layanan pemenuhan hak psikososial bagi korban yang menjadi terlindung LPSK.
"Jumlah 41 layanan hak psikososial sangat sedikit dari jumlah 3.008 layanan yang diberikan oleh LPSK," katanya.
Dari 41 layanan tersebut, mayoritas layanan diberikan kepada korban tindak pidana terorisme sebanyak 25 layanan diikuti layanan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual bagi anak sebanyak sembilan layanan, dan sisanya tujuh layanan untuk korban tindak pidana umum lainnya.
Semendawai mengatakan layanan yang diberikan ada yang berupa fasilitasi biaya sekolah melalui dinas pendidikan, fasilitasi pengembangan usaha melalui dinas UKM, pelatihan kerja melalui dinas tenaga kerja, hingga fasilitasi kuliah di Universitas Terbuka bagi satu orang korban terorisme bom Thamrin.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
"Pemberian layanan psikososial masih kompleks karena belum adanya aturan turunan terkait pemenuhan hak psikososial dari UU Perlindungan Saksi dan Korban," kata Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai di Jakarta, Kamis.
Sehingga, lanjut dia, layanan yang diberikan oleh LPSK merupakan hasil koordinasi kelembagaan antara LPSK dengan instansi terkait.
"Namun tidak jarang upaya LPSK memenuhi hak psikososial korban terkendala pemikiran instansi terkait bahwa mereka tidak memiliki kewajiban untuk memenuhi hak psikososial korban," ujarnya.
Menurut dia, pemberian layanan psikososial berupa bantuan pendidikan, sandang, papan, pekerjaan dan lainnya tidak hanya diperuntukkan bagi negara saja. Namun, pihak swasta bisa membantu melalui program CSR nya.
Semendawai menambahkan, aturan turunan terkait pemenuhan hak psikososial ini bisa menjadi payung hukum, baik untuk LPSK maupun instansi lain, dalam mengusahakan pemenuhan hak psikososial bagi korban kejahatan.
"Rehabilitasi psikososial penting dilakukan agar korban bisa menjalankan fungsi sosialnya secara wajar pascamenjadi korban tindak pidana," katanya.
Misalnya, lanjut dia, melalui upaya menyiapkan peluang mendapatkan pekerjaan (pelatihan kerja, modal usaha), jaminan keberlangsungan pendidikan (kuliah bagi dewasa, dan sekolah bagi korban anak, maupun bagi anak korban yang orangtuanya menjadi korban tindak pidana terorisme)
Dalam kesempatan itu, Semendawai mengatakan, selama dua bulan pertama tahun 2018 ini LPSK sudah melakukan 41 kali layanan pemenuhan hak psikososial bagi korban yang menjadi terlindung LPSK.
"Jumlah 41 layanan hak psikososial sangat sedikit dari jumlah 3.008 layanan yang diberikan oleh LPSK," katanya.
Dari 41 layanan tersebut, mayoritas layanan diberikan kepada korban tindak pidana terorisme sebanyak 25 layanan diikuti layanan bagi korban tindak pidana kekerasan seksual bagi anak sebanyak sembilan layanan, dan sisanya tujuh layanan untuk korban tindak pidana umum lainnya.
Semendawai mengatakan layanan yang diberikan ada yang berupa fasilitasi biaya sekolah melalui dinas pendidikan, fasilitasi pengembangan usaha melalui dinas UKM, pelatihan kerja melalui dinas tenaga kerja, hingga fasilitasi kuliah di Universitas Terbuka bagi satu orang korban terorisme bom Thamrin.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018