Jakarta (Antaranews Babel) - Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan perlu diusulkan adanya regulasi yang menyentuh kepentingan korban dibandingkan hanya menghukum pelaku kejahatan.
Hal ini diungkapkan Semendawai saat konferensi pers yang mengambil tema "Mengembalikan Kehidupan Sosial Korban" di Kantor LPSK Jakarta, Kamis.
Ketua LPSK ini mengungkapkan bahwa pada proses peradilan pidana, korban hanya kerap dimanfaatkan sebagai alat bukti mengungkap sebuah tindak pidana dengan tujuan menghukum pelaku, namun negara abai soal pemilihan kehidupan sosial korban pascakejadian tindak pidana.
"Tak sedikit korban yang harus menjadi 'survivor' menjalani kehidupan pascamengalami tindak pidana seorang diri," ungkapnya.
Semendawai mencontohkan korban perdagangan manusia, seorang gadis yang baru menginjak remaja diselamatkan penegak hukum setelah menjadi korban pelakunya dijadikan PSK.
Setelah diselamatkan dan para pelaku dihukum, lanjutnya, namun pihak pemerintah membiarkan kehidupannya tanpa ada bantuan apapun sehingga gadis ini dimungkinkan akan kembali terjerumus dan kembali "kehidupan malam".
Hal ini yang diperlukan, sehingga diperlukan suatu regulasi yang tegas untuk bisa mengembalikan kehidupan sosial korban seperti sebelum terjadinya tindak pidana.
Untuk itu, kata Semendawai, tema ini diangkat LPSK agar banyak pihak yang belum memahami layanan psikososial bagi korban kejahatan mengerti, apalagi layanan psikososial memerlukan peran serta dari banyak pihak.
Semendawai mengungkapkan salah satunya lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur secara implisit tentang hak-hak korban kejahatan dan sebagai pelaksana pemenuhan hak korban, yakni UU Perlindungan Saksi dan Korban mengamanatkan pembentukan LPSK.
"Ada beberapa hak korban yang diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, yang dapat dilihat di Pasal 5. Selain itu, korban juga berhak mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial," tuturnya.
Sedangkan Pasal 6 UU Perlindungan Saksi dan Korban, menyebutkan rehabilitasi psikososial adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual Korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.
Untuk melakukan itu, katanya, LPSK berupaya melakukan peningkatan kualitas hidup Korban dengan melakukan kerja sama dengan instansi terkait yang berwenang berupa bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan.
Namun, dalam pemenuhan psikososial korban, pemerintah terkadang masih menyamaratakan mereka dengan orang miskin, padahal korban kejahatan tidak bisa disamakan dengan warga miskin karena mereka menjadi korban akibat kelalaian negara dalam menjaga warga negara.
Menurut Semendawai, rehabilitasi psikososial penting agar korban bisa menjalankan fungsi sosialnya secara wajar pascamenjadi korban tindak pidana.
"Misalnya, melalui upaya menyiapkan peluang mendapatkan pekerjaan (pelatihan kerja, modal usaha), jaminan keberlangsungan pendidikan (kuliah bagi dewasa, dan sekolah bagi korban anak, maupun bagi anak korban yang orangtuanya menjadi korban tindak pidana terorisme).
Untuk fasilitasi ini, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait, misalnya, Dinas Tenaga Kerja ataupun Dinas Pendidikan.
Semendawai mengatakan pihaknya akan terus mengaungkan pemahaman dan semangat untuk memberikan bantuan rehabilitasi psikososial ini, baik melalui pemberitaan, agar semangat membantu korban melalui psikososial bisa terus terjaga.
Dengan demikian, tujuan dar proses peradilan pidana tidak hanya menjadi sarana untuk menghukum pelaku, melainkan jadi sarana bagi korban untuk mendapatkan kembali kehidupan sosialnya seperti sebelum terjadinya tindak pidana, harap Semendawai.