Jakarta (Antaranews Babel) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyambut baik disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban oleh Presiden pada 1 Maret 2018 lalu.
Dengan adaya PP ini diharapkan semakin memperkuat upaya perlindungan saksi dan pemenuhan hak korban dimana pada PP sebelumnya, yakni PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, ditemukan beberapa kendala dan permasalahan.
"Seiring dengan perkembangan yang dihadapi dalam pemenuhan hak korban, maka aturan terkait upaya tersebut pun harus berkembang, termasuk adanya PP baru tentang pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada saksi dan korban," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai pada sebuah kegiatan di Bandung yang dirilis LPSK, Jumat.
UU Perlindungan Saksi dan Korban sendiri sudah direvisi pada tahun 2014, sehingga banyak poin yang berubah, termasuk diantaranya adanya perluasan tindak pidana yang korbannya mendapatkan prioritas perlindungan.
Adanya perubahan UU tersebut tentunya harus didukung oleh aturan turunan, termasuk PP, yang bisa mendukung implementasi UU Perlindungan Saksi dan Korban.
"Oleh karenanya disahkannya PP ini sangat positif dalam mendukung upaya perlindungan saksi dan korban yang terus berkembang," jelas Semendawai.
Perkembangan yang ada dalam PP ini di antaranya adalah penjabaran secara rinci komponen restitusi (ganti rugi dari pelaku untuk korban), hingga terkait perluasan korban tindak pidana yang berhak mendapatkan bantuan.
Terkait rincinya komponen penghitungan restitusi dianggap penting karena bisa menjadi dasar hukum besaran restitusi yang diajukan.
Sebelumnya ada perdebatan soal dasar nilai besaran restitusi yang dihitung LPSK, karena dianggap tidak ada dasar yang jelas aibatnya tidak jarang besaran tersebut dikurangi saat vonis, atau bahkan ditolak oleh hakim.
"Adanya PP ini selain bisa menjadi dasar LPSK menghitung restitusi, juga bisa menjadi dasar hakim dalam menerima tuntan restitusi, sekaligus mempermudah upaya korban untuk mendapatkan restitusi," ucap Semendawai, berharap.
Sementara terkait bantuan sendiri jika pada PP No. 44/2008 hanya bisa diberikan kepada korban Pelanggaran HAM Berat saja, maka pada PP 7/2018 bantuan tersebut juga bisa diberikan kepada korban tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual, dan penganiayaan berat.
Hal ini tentunya sangat penting mengingat korban-korban tindak pidana tersebut juga sebenarnya memerlukan bantuan baik itu layanan medis, psikologis, maupun psikososial.
"Ini menjadi dasar hukum bagi LPSK bilamana ada terlindungnya yang memerlukan bantuan. Tentunya perluasan jenis tindak pidana yang korbannya bisa diberikan bantuan sangat positif mengingat trauma yang dialami mereka tentunya harus dipulihkan termasuk melalui upaya bantuan," jelas Semendawai.
LPSK berterimakasih atas adanya niat politik pemerintah terkait dukungan upaya perlindungan saksi dan korban, baik melalui revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban pada tahun 2014 lalu maupun aturan lain seperti PP 43/2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana maupun PP 7/2018 ini.
LPSK siap menjalankan amanat yang diberikan PP tersebut karena sebelumnya LPSK pun sudah menjalankan amanat pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan.
Selain itu, LPSK juga berharap agar terus ada penyempurnaan hukum yang berpihak bagi saksi dan korban.
"Kami juga berharap penyempurnaan aturan lain terkait hak saksi dan korban bisa terus berjalan dengan lancar dan ada hasil positif untuk kepentingan korban," ujar Semendawai.