Jakarta (ANTARA) - Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyoroti ambang batas partai politik atau gabungan parpol mencalonkan calon presiden-calon wakil presiden sebesar 20 persen berpotensi membelah bangsa.
Hal itu menurut dia karena ambang batas 20 persen dukungan parlemen atau 25 persen suara nasional untuk mengusung capres-cawapres membatasi pilihan masyarakat atas calon pemimpin nasionalnya.
"Itulah mengapa Partai Demokrat tampil ke depan untuk mengoreksi batasan 'Presidential Threshold' yang berpotensi membelah bangsa karena terbatasnya pilihan calon pemimpin kita," kata AHY dalam pidato politiknya di Djakarta Theater, Jakarta, Jumat malam.
Dia menegaskan bahwa partai juga bertekad untuk serius mencegah terbelahnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Demokrat menurut dia sebagai Partai Tengah dengan landasan ideologi nasionalis-religius siap menjadi benteng tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
"Kondisi terbelahnya bangsa, tentu bukan tanpa sebab. Karenanya, kami juga menyoroti pertarungan dua Capres yang sama pada tahun 2014 dan 2019," ujarnya.
Dalam kaitan itu, AHY mencermati perkembangan sosial politik yang sedang terjadi karena perhelatan demokrasi ini oleh kalangan-kalangan tertentu dijadikan sebagai ajang memaksakan keyakinan dan pilihan politiknya.
Dampaknya, menurut dia, muncul fanatisme berlebihan yang pada akhirnya justru kontra-produktif dengan tujuan memajukan bangsa dan negara itu sendiri.
"Sayangnya, karena perbedaan pandangan dan pilihan politik, tak ayal, seringkali kita berdebat kusir, membela pilihannya masing-masing secara subyektif dan membabi-buta. Kita tidak lagi mau mendengar dan melihat secara jernih dan jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi," katanya.
Dia mengatakan lebih parah lagi, karena perbedaan pandangan politik kita sering keluar dari akal sehat misalnya kawan-kawan kita atau justru kita sendiri keluar grup whatsapp karena jengkel, seolah-olah kawan-kawan kita tidak lagi sejalan.
Karena itu dia menyayangkan karena kehidupan politik dan demokrasi, yang susah payah kita bangun sejak krisis 1998 dan hasilnya kian nyata namun saat ini terasa mundur kembali.
"Saat Partai Demokrat berada di pemerintahan, atau ketika menjadi 'the ruling party', sesungguhnya kami bersyukur karena demokrasi, termasuk pemilu kita makin matang dan makin berkualitas," ujarnya.
Dia mengatakan ketika Demokrat memimpin, stabilitas politik terjaga baik dan kalau ada riak dan dinamika, hal itu memang menjadi bagian dari demokrasi dan kebebasan itu sendiri.
Dalam pemilu menurut dia, tidak muncul ketegangan yang berlebihan antar kelompok pendukung, golongan, apalagi antar identitas (SARA).
"Perbedaan pandangan dan pilihan politik tidak dibawa ke level pribadi atau personal. Kalaupun ada, jumlahnya relatif kecil dan tidak menjadi keprihatinan nasional," katanya.
Menurut dia, pesta demokrasi seharusnya disambut dengan riang gembira, bukan dengan kebencian dan hati yang susah, karena putusnya silaturahmi akibat perbedaan pandangan dan pilihan politik.