Jakarta (Antara Babel) - Kualitas demokrasi tampaknya harus dirawat dan diperjuangkan dari saat ke saat untuk mencegah terjadinya degradasi yang pada akhirnya menghilangkan hak-hak politik warga.
Hari-hari belakangan ini demokrasi di Tanah Air juga sedang dipertaruhkan dengan munculnya peluang depolitisasi hak politik warga dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.
Degradasi demokrasi itu akan terwujud jika pada akhirnya nanti sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berhasil mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah langsung menjadi pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh fraksi-fraksi DPR antara lain memperlihatkan bahwa lima fraksi yakni Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi Golkar, Fraksi PPP dan Fraksi Gerindra mendukung pemilihan gubernur, bupati dan wali kota dilakukan oleh DPRD.
Adapun fraksi PDI-P, Fraksi Hanura, Fraksi PKS dan pemerintah tetap mempertahankan sistem sebelumnya yakni pemilihan kepala daerah melalui demokrasi langsung dari suara rakyat. Hanya Fraksi PKB yang mengusulkan kombinasi yakni untuk gubernur dipilih langsung, sedangkan untuk bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD.
Para pakar politik dan hukum pada umunya sepakat untuk mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung. Menurut Saldi Isra, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan penerapan atas frasa "dipilih secara demokratis" yang diamanatkan Pasal 56 UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemeilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat juga merupakan reflesi dari kedaulatan rakyat dalam berpolitik, dalam hal ini menentukan seorang pemimpin yang diberi amanat untuk menyejahterakan rakyatnya.
Jika pemilihan oleh rakyat secara langsung terhadap kepala daerah itu dikembalikan kepada pemilihan oleh DPRD, ada banyak hal negatif yang sangat mungkin akan terjadi.
Pertama, terjadi permainan uang atau korupsi politik di lingkaran elite anggota DPRD. Kedua, partai-partai kecil seperti PKS tak mungkin lagi meloloskan kader-kader terbaiknya untuk menjadi pemimpin di daerah.
Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, PKS dan Gerindra dapat meloloskan figur populer seperti Ridwan Kamil yang menjadi Wali Kota Bandung.
Pemilihan kepala daerah secara langsung juga memungkinkan orang-orang terbaik yang tak punya modal material besar bisa mencuat menjadi pemimpin daerah, dan akhirnya pemimpin nasional sebagaimana yang dibuktikan oleh Joko Widodo, presiden terpilih dalam Pilpres 2014.
Pemilihan kepala daerah secara langsung akan memberikan daya tawar yang tinggi pada pribadi-pribadi berkualitas untuk memimpin, sedangkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan memberikan daya tawar yang tinggi pada mereka-mereka yang punya modal besar atau didukung oleh pemodal besar.
Kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat akan berjuang membalas budi kepada mereka yang memilih bukan kepada mereka yang memodali mereka untuk menang menjadi pemimpin, meskipun dalam kadar tertentu tak tertutup kemungkinan adanya peran pemodal.
Jika rakyat yang menentukan keterpilihan seorang kepala daerah, dalam upaya mempertahankan posisinya sebagai petahana, kepala daerah bersangkutan akan mengorientasikan kebijakannya untuk rakyat yang dipimpinnya.
Legitimasi kepala daerah yang dilipih oleh rakyat jauh lebih kuat dan integritas kepala daerah yang demikian ini akan lebih kuat, mengingat kepala daerah yang demikian ini akan lebih memaknai pengawasan langsung oleh rakyat.
Pemimpin-pemimpin otentik yang menjaga integritas dirinya karena bekerja untuk kepentingan rakyat hanya bisa lahir lewat pemilihan langsung kepala daerah oleh rakyat.
Tentu saja ada kelemahan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Salah satu yang mencolok adalah soal biaya besar untuk ongkos penyelenggaraannya. Namun, kelemahan ini bisa diminimalisasi secara bertahap dengan semakin mantapnya sistem teknologi informasi yang digunakan dalam praktik berdemokrasi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sini dapat meneladani KPU-nya India yang menerapkan teknologi komputer dalam pemungutan suara dalam mengefisienkan biaya demokrasi langsung.
Pada sisi pengefisienan biaya demokrasi langsung inilah seharusnya DPR berkonsentrasi dalam menutupi celah kelemahan pemilihan kepala daerah secara langsung, dan bukannya mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebagaimana yang disenangi oleh rezim masa lalu sebelum Reformasi dilahirkan.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun juga mengingatkan kalangan legislator untuk tak mengembalikan pemilihan langsung kepala daerah menjadi pemilihan oleh DPRD, sebab hal ini akan memunculkan gugatan institusional karena menyalahi UUD 45.
Jika pemilihan kepada daerah mendatang ditentukan oleh DPRD, parpol akan menjadi pusat penentu hajat hidup rakyat banyak di seluruh Nusantara. Para pemimpin daerah akan melupakan rakyat dan hanya fokus pada keinginan anggota DPRD yang ujung-ujungnya bermuara pada kepentingan elite parpol.
Karena koalisi parpol yang akan menentukan siapa yang akan dipilih menjadi kepala daerah, terbuka persengkokonglan politik yang membuat rakyat kembali nestapa karena mereka tak lagi menentukan siapa pemimpin mereka.
Dalam kondisi demikian, apatisme politik dari masyarakat akan kembali mengkristal dan pada gilirannya mengembalikan kualitas demokrasi yang telah dilahirkan dan dirawat sejak Reformasi digulirkan pada 21 Mei 1998, dengan korban-korban yang berjuang untuk demokrasi, kemanusiaan dan kesejahteraan.
Kalangan pakar dan pengamat politik kini mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai wakil dari pemerintah, untuk menggunakan hak politiknya agar pengesahan RUU Pemilihan Kepala Daerah itu tak terjadi.
Dengan mencegah kembalinya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat ke pemilihan oleh DPRD, SBY akan dikenang sebagai sosok yang prodemokrasi langsung yang demokratis. Ini sebuah warisan yang layak diapresiasi oleh pecinta kemerdekaan berpikir dan berpendapat.
