Jakarta (Antara Babel) - Menjelang berakhirnya Maret 2015, kepastian eksekusi mati tahap kedua sampai sekarang masih menjadi tanda tanya.
Pasalnya, Kejagung sendiri sejak awal Maret 2015 telah "koar-koar" akan melaksanakan eksekusi tahap kedua setelah keberhasilan mengeksekusi tahap pertama, yakni melalui pemindahan sejumlah terpidana mati dari lembaga pemasyarakatan yang selama ini mereka huni ke LP Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Pemindahan itu diekspose besar-besaran pada saat ramainya konflik KPK-Polri. Terlebih lagi, rencana itu sempat menimbulkan tentangan yang keras dari negara tetangga, Australia, mengingat dua warga negaranya yang terkenal dengan sebutan "Bali Nine" masuk dalam daftar antrean eksekusi mati tahap kedua.
Apakah eksekusi itu akan dilakukan juga pada bulan Maret 2015, ataukah ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan? Saat ini, publik menunggu aksi dari Jaksa Agung H.M. Prasetyo.
"Perlu saya katakan secara yuridis, sebetulnya sudah nyaris final. Akan tetapi, kemudian ada perkembangan baru, beberapa terpidana mati, baik secara langsung maupun kuasa hukumnya, mengajukan upaya hukum," kata Jaksa Agung H.M. Prasetyo di Jakarta.
Saat ini, lima terpidana mati tengah melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK), antara lain terpidana asal Ghana, Martin Anderson, Marry Jane asal Filipina, dan Serge Areksi asal Prancis.
Sementara itu, duo "Bali Nine", Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, tengah melakukan gugatan atas keluarnya keppres penolakan grasi terhadap dirinya.
Eks politikus Partai Nasdem itu menyatakan pihaknya harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan meski aspek teknisnya sudah mendekati final.
"Namun, karena perkembangan dari aspek nonyuridisnya, kita harus bersabar menunggu dahulu," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pihaknya tidak ingin semena-mena dan memberikan kesempatan meski secara aturan sudah tidak memungkinkan karena grasinya sudah ditolak.
"Jadi, sesungguhnya tidak ada langkah hukum apa pun yang perlu dilakukan oleh si terpidana. Ini persoalan eksekusi terpidana mati," katanya.
Eksekusi, kata dia, akan tetap dilakukan serentak seperti eksekusi mati tahap pertama yang telah dilakukan sebelumnya.
"Kita berharap secepatnya, tetapi kembali ini semuanya bergantung pada pengadilan, kapan mereka akan memutuskan perkara ini, dan ketika sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan semua yang sudah selesai akan dilaksanakan," katanya.
Seperti diketahui, sejumlah media "online" atau daring dan cetak terus memberitakan rencana eksekusi itu setiap harinya sejak sebelum pemindahan para terpidana mati ke LP Cilacap, Jawa Tengah, sampai pada pelaksanaan pemindahannya.
Ketika ada protes dari pemerintah Australia, media pun rajin memberitakannya tentang tanggapan dari Kejagung.
Ramainya rencana eksekusi mati itu, hampir bersamaan dengan kasus konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-Polri.
Kontras Pertanyakan
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempertanyakan pengamanan dan unjuk kekuatan bersenjata yang terkesan berlebihan menjelang pelaksanaan eksekusi mati kasus narkoba gelombang kedua.
"Proses hukum masih berjalan, pengamanan menjelang eksekusi mati gelombang kedua berlebihan," kata Koordinator Kontras Haris Azhar.
Kontras mengingatkan bahwa masih terdapat proses hukum yang tengah dijalani oleh seluruh terpidana mati dalam kasus narkoba.
Ia memaparkan Sergei Areski Atlaoui dan Mary Jane Fiesta Veloso tengah menjalani proses PK tahap pertama.
Sementara itu, Raheem Agbaje Selami, Andrew Chan, dan Myuran Sukumaran juga tengah menempuh proses melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) meskipun Raheem Selami telah mendapatkan penolakan PTUN pada tanggal 9 Maret 2015.
Rodrigo Gularte tengah menunggu proses PK tahap kedua setelah pergantian tim kuasa hukum. Kontras juga menyayangkan proses hukum yang harus ditempuh selama 10 tahun telah ditolak.
"Ada proses hukum yang terlampau lama ditempuh oleh terpidana mati Zainal Abidin dan melanggar hak atas keadilan terpidana untuk mendapatkan kepastian hukum," katanya.
Haris juga berpendapat bahwa ajang gelar pasukan terkait dengan pengamanan jelang eksekusi mati tidak menunjukkan karakter Indonesia yang sesuai dengan sila kedua Pancasila.
Bahkan, lanjut dia, unjuk kekuatan tersebut tersebar dan terekam di berbagai media. Guna mencegah upaya menggagalkan eksekusi mati, BIN turut menyebarkan komunitas intel, baik di daerah, pusat, maupun di luar negeri.
"Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun ikut dilibatkan. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menurunkan seluruh personel, khusus di wilayah Jawa Tengah dan Bali," katanya.
Ketua Delegasi Parlemen Uni Eropa (UE) untuk negara-negara Asia Tenggara dan ASEAN Dr. Werner Langen mengatakan bahwa rencana eksekusi hukuman mati kepada terpidana kasus narkoba tidak memengaruhi hubungan bilateral dengan Indonesia.
Dalam konferensi pers di Kantor Delegasi UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam di Jakarta, Rabu, Langen menjelaskan bahwa UE menghormati penegakan hukum yang sesuai dengan konstitusi Indonesia, serta meyakinkan hal itu tidak akan memengaruhi hubungan bilateral UE-Indonesia.
"Namun, citra Indonesia di dunia internasional akan makin baik jika hukuman mati dihapuskan," kata dia.
Ia menegaskan, "Kami menerima konstitusi Anda (Indonesia) demikian adanya, tetapi secara prinsip, kami menentang hukuman mati di semua negara di dunia."
Selain menyampaikan perhatian UE terhadap pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, Delegasi Parlemen UE juga membahas peningkatan kerja sama di bidang perdagangan dan pendidikan.
"Kami mencatat Indonesia memerlukan investasi di bidang infrastruktur dan pendidikan," kata dia.