Jakarta (Antara Babel) - Untuk pertama kalinya Indonesia akan menggelar hajat demokrasi lokal lima tahunan sekali secara bersamaan di penghujung tahun 2015.
Pemilihan gubernur, bupati dan wali kota secara serentak, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015, wajib diselenggarakan pada Desember 2015 untuk daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir mulai Januari 2015 hingga Juni 2016.
Kemunculan wacana untuk menggelar pilkada serentak pertama kali dimaksudkan untuk menciptakan efektivitas, khususnya dari segi finansial dan waktu.
Dalam UU tersebut dijelaskan pelaksanaan pemungutan suara pilkada dilakukan serentak untuk beberapa daerah selama enam gelombang, yakni tahun 2015, 2017, 2018, 2020, 2022, 2023, sebelum akhirnya pilkada serentak secara nasional bersamaan digelar pada 2027.
Selama ini, pelaksanaan pemilihan kepala daerah berlangsung berserakan. Dalam satu bulan, sebuah daerah bisa menggelar tiga kali pelaksanaan pilkada, yakni pemilihan gubernur, pemilihan bupati dan pemilihan wali kota.
Oleh karena itu, Pemerintah bersama dengan DPR berupaya untuk membuat sebuah sistem pilkada yang efektif dan efisien yakni dengan menyelenggarakan pilkada serentak.
Namun, sisa waktu yang singkat sejak UU tersebut disahkan hingga ketentuan waktu pelaksanaannya menyebabkan pihak terkait, yakni Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum, "pontang-panting" dalam mempersiapkan regulasinya.
Terkait persiapan peraturan tentang pilkada, KPU pun baru menyelesaikan kewajibannya dalam menyusun peraturan tersebut di saat tahapan pilkada sudah dimulai.
Rangkaian pelaksanaan pilkada serentak dimulai pada 17 April lalu yang ditandai dengan tahapan pembentukan panitia penyelenggara adhoc di tingkat kelurahan dan kecamatan, yakni Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Saat itu, masih banyak ketidakpastian dalam hal regulasi. Dari 10 draf peraturan tentang pilkada, KPU baru menyelesaikan tiga di antaranya.
KPU pun menunaikan tugasnya dalam menetapkan peraturan pada akhir April lalu. Hal itu disebabkan adanya ketidaksesuaian pemahaman antara KPU dan DPR terkait syarat pencalonan.
Terkait syarat pencalonan, keruwetan penyusunan peraturan KPU disebabkan oleh adanya dua partai politik yang berkonflik di internal mereka hingga ke lembaga peradilan.
Satu peraturan terakhir yang ditetapkan KPU adalah terkait syarat pencalonan, yakni ditetapkan pada tenggat waktu penetapan peraturan, 30 April lalu.
Menyangkut hal tersebut, KPU memutuskan untuk tidak menerima usulan calon kepala daerah usungan partai politik yang administrasi kepengurusannya sedang berkonflik di pengadilan.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan jajaran KPU di daerah hanya bisa menerima pendaftaran calon kepala daerah dari partai yang kepengurusannya tercatat secara resmi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
"Pengaturan sudah kami buat dan tetapkan, intinya, partai politik yang dapat kami terima pendaftaran calonnya adalah yang sesuai dengan SK Kemenkumham," tutur Hadar.
Namun, untuk partai politik yang SK kepengurusannya sedang menjalani sidang sengketa di pengadilan, maka KPU tidak akan menerima pendaftaran calonnya sampai proses peradilan mengeluarkan keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
"Kalau SK tersebut disengketakan, maka akan tetap mengacu pada SK Kemenkumham jika belum ada putusan pengadilan yang inkracht, kecuali pada kasus yang sudah ada putusan untuk menunda pemberlakuan SK maka harus menunggu putusan inkracht," jelas Hadar.
Dengan adanya persoalan di dalam lingkaran internal partai tersebut, maka secara tidak langsung hal itu mempengaruhi KPU dalam bekerja menyusun peraturan dan mempersiapkan tahapan awal pilkada yaitu pembentukan panitia penyelenggara adhoc di daerah.
Anggaran Belum Siap
Belum lagi terkait kesiapan anggaran di daerah hingga saat ini, tahapan pilkada dimulai, belum juga sepenuhnya disepakati untuk dicairkan.
Hingga saat ini, tujuh bulan menjelang pemungutan suara pilkada serentak gelombang pertama, masih terdapat 70 persen daerah yang belum ada kesepakatan untuk menganggarkan dana pilkada.
Kesepakatan tersebut dapat dicapai hanya jika pemerintah daerah dan KPU setempat telah menandatangani nota perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk menganggarkan dana pilkada mendahului perubahan anggaran dan pendapatan belanja daerah (APBD).
Komisioner KPU Arief Budiman mengatakan hingga saat ini tercatat baru 70 daerah, dari total 269 yang akan menggelar pilkada 2015, melaporkan NPHD mereka.
Hal itu bertentangan dengan pernyataan Direktur Jenderal Keuangan Daerah Reydonnizar Moenek yang mengaku kesiapan dana di daerah pilkada sudah 100 persen, berikut juga dengan penandatangan NPHD-nya.
Padahal, kejelasan mengenai anggaran tersebut menjadi hal utama bagi keberlangsungan dan kelancaran pelaksanaan pilkada serentak tahun ini.
Jika saja kepastian mengenai anggaran tersebut muncul sebelum tahapan pilkada diluncurkan secara resmi, KPU bisa saja menunda pelaksanaan pilkada daerah yang tidak siap tersebut ke gelombang berikutnya.
"Ada daerah yang sudah mendapat persetujuan anggaran untuk pilkada, tetapi jumlahnya kurang dari yang seperti diajukan KPU daerah. Jika kekurangan itu menyebabkan kebutuhan biaya minimum pilkada tidak terpenuhi, ya tidak bisa dijalankan, artinya ditunda pelaksanaan pilkadanya," ujar Arief Budiman.
Dia menjelaskan, dari 269 daerah yang akan menggelar pilkada, sebagian besar di antaranya tidak mendapatkan persetujuan anggaran dari pemda sesuai dengan usulan KPU setempat.
Hal itu menyebabkan KPU tidak dapat mengambil risiko untuk melanjutkan tahapan pilkada di daerah yang kekurangan dana.
KPU bisa saja melakukan analisa dan perhitungan keuangan dari dana yang disetujui untuk dianggarkan pemda dan DPRD bagi pelaksanaan pilkada serentak 2015.
"Dari situ nanti kami akan menganalisa, menghitung apakah kekurangan itu memungkinkan bagi KPU daerah untuk melanjutkan tahapan pilkada atau tidak. Kalau tidak mencukupi untuk seluruh kegiatan tahapan, ya pilkadanya tidak bisa dijalankan sekarang, bisa saja mundur ke 2017," jelas Arief.
Namun, di tengah tahapan pelaksanaan pilkada ini sudah terlambat bagi KPU untuk menentukan daerah mana saja yang dapat ditunda pelaksanaan pilkadanya karena kekurangan dana.
Dari segala keterbatasan dan ketergesa-gesaan agar pilkada serentak tetap dilakukan di 2015, pelaksanaan pilkada efektif dan efisien seolah menjadi sekadar harapan yang minim untuk diwujudkan.