Koba, Babel (ANTARA) - Penambangan bijih timah di Pulau Bangka memiliki linimasa sejarah yang sangat panjang, melibatkan banyak pihak dengan berbagai dinamikanya.
Sejarah mencatat, bijih timah mulai ditemukan dan ditambang di Pulau Bangka sejak abad ke-7 pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Penduduk pribumi pada masa itu tidak mendapat tempat dan kesempatan untuk menggali sumber daya timah, namun tetap "bergerilya" di dalam hutan menggali dan membongkar perut bumi untuk mendapatkan timah.
Bahkan Bambang Budi Utomo dalam bukunya berjudul Pengaruh Kebudayaan India dalam bentuk Arca di Sumatera, menyebutkan penemuan Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka sebagai bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya menaklukkan Pulau Bangka untuk menguasai sumber daya alam timah.
Prasasti Kota Kapur sendiri dibuat sebagai bentuk penertiban bagi masyarakat pribumi yang pada masa itu telah membangun pemukiman sendiri di Pulau Bangka dan melakukan penambangan secara tradisional dengan menggunakan alat seadanya.
Pada abad ke-19 timah di Pulau Bangka mulai menjadi komoditas ekspor, namun tetap dalam "cengkraman" penguasa pada masa itu, Inggris di wilayah Kesultanan Palembang Darussalam.
Sementara pribumi dalam komunitas kasta terendah tetap dianggap penambang "tungau" yang menghisap perut bumi secara liar.
Masyarakat tidak berhenti kendati berisiko mati dalam kubangan tambang, bahkan tetap dengan dengan teknik tradisional menggunakan peralatan seadanya, seperti dulang, pacul, sekop dan cangkul.
Penambang Tungau
Seiring perjalanan waktu, penambangan rakyat yang dilakukan secara perorangan bukannya pudur, tetapi sebaliknya terus berkembang dan tetap dianggap dalam lingkaran penambangan liar.
Bahkan para penambang kecil itu sudah mulai menggunakan peralatan tambang lebih modern kendati masih berskala kecil.
Hingga sekarang jumlahnya tidak terdata dan tidak terhitung lagi, sudah menyebar di hampir seluruh wilayah di Bangka Belitung.
Mereka kemudian disebut "penambang tungau" yaitu penambang kecil, peralatan mini dengan jumlah yang cukup banyak.
Jika dilihat dari sejarah, penambang tungau ini ternyata sudah ada sejak pertama komoditas timah itu ditemukan di Pulau Bangka. Bahkan tambang tungau merupakan teknik pertama eksplorasi bijih timah pada masa itu.
Namun tetap saja mereka tidak mendapatkan tempat. Pada masa orde baru regulasi bisnis pertimahan mulai berubah, dimana penambangan timah di Babel dilakukan satu perusahaan milik negara yaitu PN Timah dan satu perusahaan swasta, Kobatin.
Situasi tersebut membuat para penambang tungau semakin terjepit. PN Timah menguasai dan memiliki Izin Usaha Penambangan (IUP) cukup luas, demikian juga dengan PT Koba Tin.
Makin Suram
Nasib penambang kecil semakin kelabu, mereka dinilai penambang liar dan penjarah timah di IUP milik perusahaan. "Tangan besi" mulai bermain, menindak dan mengusir penambang kecil yang hanya mengeruk satu hingga dua kilogram bijih timah di IUP perusahaan timah untuk melangsungkan kehidupan keluarga mereka.
Di era reformasi, pemerintah lokal memperoleh kekuatan lebih lewat desentralisasi daerah untuk dapat mengelola aset wilayahnya sendiri.
Pemprov Babel membuka izin penambangan bagi puluhan perusahaan pertambangan lain yang ingin menambang timah di Babel.
Kondisi demikian ternyata juga belum berpihak kepada penambang kecil, bahkan bermunculan para pengusaha tambang dengan modal kuat dan mampu menguasai bisnis pertimahan secara kapitalis.
Penambang kecil alias penambang tungau tetap saja seperti "ayam mati di lumbung padi", tidak memiliki kekuatan, tidak berdaya dan bahkan terus diuber-uber aparat keamanan.
Lantas muncul pertanyaan, kenapa tambang tungau semakin menjamur, tentu saja alasannya ekonomi. Mereka merasa roda perekonomian berjalan lebih baik dengan "menungau" (menambang bijih timah menggunakan mesin mini/kecil).
Dilema pun muncul, satu sisi aktivitas mereka ilegal namun pada sisi lain pemerintah dihadapkan pada urusan ekonomi dan urusan perut masyarakat.
Sebenarnya pemerintah daerah sudah berupaya mencari solusi dari masalah dengan membuat regulasi yang tepat agar penambang kecil mendapatkan tempat mengeruk bijih timah secara legal.
Penambangan Rakyat
Pada 2011, Pemkab Bangka Barat sudah mulai membentuk Wilayah Penambangan Rakyat (WPR) dengan regulasi yang baik agar lingkungan terjaga dan warga bisa menambang secara legal.
Namun tetap saja tidak mampu mengakomodasi para penambang tungau yang jumlahnya cukup banyak. Bahkan PT Timah sebagai perusahaan plat merah sudah mencoba menampung, namun tetap saja dengan jumlah yang terbatas.
Di Kabupaten Bangka Tengah, sejak 2017 sudah berupaya membentuk WPR namun sampai sekarang belum terealisasi, demikian juga Kabupaten Bangka Selatan dan Kabupaten Bangka.
Belum lama ini Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan sudah berupaya memberikan solusi dengan mendorong PT Timah Tbk untuk segera merevisi amdal agar aktivitas penambangan bisa tertib dan bertanggung jawab dalam menjaga keberlangsungan kelestarian lingkungan.
Mantan Bupati Bangka Tengah itu juga menganjurkan penambang tergabung dalam kelompok dengan membentuk lembaga atau badan usaha agar tertib dan teratur.
Menurut Erzaldi, revisi Amdal yang pertama ini dilakukan terkait penambahan Ponton Isap Produksi (PIP) Mini.
Selanjutnya gubernur meminta kepada PT Timah Tbk untuk membuat kajian teknis terhadap alat-alat yang dipakai mulai dari standar teknis sampai pada standar keamanan dan keselamatan kerja.
Sementara Kepala Divisi Perencanaan dan Pengendalian Produksi PT Timah Tbk, Nur Adi mengatakan jumlah PIP yang disetujui dalam amdal PT Timah Tbk berjumlah 360 unit.
Namun demikian, PT Timah akan mengajukan surat ke pusat agar mereka dapat mengakomodir keinginan masyarakat untuk menambang, namun belum memenuhi kajian teknis dan lingkungan.
Kegiatan tambang tungau sempat mengalami pasang surut, menyusul harga timah yang belum begitu stabil. Namun mereka tidak berhenti, tetapi hanya istirahat sejenak sembari menunggu harga timah kembali pada level tertinggi.
Pada 2020 hingga sekarang aktivitas penambang tungau mencapai puncaknya, mereka tumbuh dan berkembang bak jamur di musim hujan seiring harga timah sudah mencapai level tertinggi, Rp160 ribu hingga Rp 180 ribu per kilogram.
Semoga penambang tungau menemukan titik terang dengan adanya kebijakan pemerintah membuat regulasi khusus penambangan timah skala kecil/tambang tungau agar bisa beraktivitas secara legal, tanpa harus ditangkap.