Jakarta (Antara Babel) -" ..Saya sudah mengingatkan bahwa ada pejabat yang bisa dicopot, entah yang di lapangan, dirjennya atau menterinya...".
Nada keras atau tajam itu dilontarkan Presiden Joko Widodo baru-baru ini ketika dimintai komentarnya oleh para wartawan tentang pencopotan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan dalam kasus "dwelling time". Istilah yang amat teknis ini tiba-tiba menjadi "akrab" di kuping jutaan warga Indonesia setelah Jokowi baru-baru ini mendatangi Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Mantan wali kota Solo pada pertengahan bulan puasa lalu tanpa diduga datang ke Tanjung Priok dan semula banyak orang yang menduga bahwa Jokowi akan meninjau persiapan arus mudik dan arus balik Hari Lebaran.
Namun ternyata, yang ingin dilihat secara langsung oleh Jokowi yang juga merupakan mantan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta adalah proses bongkar muat barang di pelabuhan terbesar dan tersibuk itu yang istilah teknisnya adalah "dwelling time".
Sebagai Kepala Negara, tentu dia mendapat " setumpuk " laporan tentang banyak hal di Tanah Air. Apalagi sebagai orang yang pernah menjadi pengusaha, maka tentu Jokowi mengetahui atau mendalami masalah bongkar muat di pelabuhan yang sering disebut berbelit-belit atau rumit. Kenapa hal itu bisa terjadi?
Setiap harinya pasti ribuan peti kemas atau kontainer tiba di Tanjung Priok yang berisi berbagai jenis barang. Pada dasarnya setiap importir yang ingin memasukkan barang dari luar negeri harus melaporkan dahulu rencananya dengan mengisi dokumen yang biasa disebut pemberitahuan impor barang atau PIB. Di dalam dokumen itu minimal harus disebutkan jenis barang, serta jumlah atau volumenya.
Ketika misalnya kontainer itu sudah masuk ke Priok, maka yang pertama- tama menjadi tugas importir adalah menurunkannya dari kapal pengangkut dan kemudian menjalani proses pemeriksaan mulai dari pengecekan secara fisik hingga berbagai dokumen atau "dwelling time", dan yang luar biasanya di Tanah Air adalah terdapatnya sekitar 18 kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian yang terlibat dalam proses ini.
Instansi-instansi itu antara lain terdiri atas Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Badan Pengawas Tenaga Nuklir,, Direktorat Jenderal perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan. Tentu bisa dibayangkan betapa ruwetnya proses ini.
Hingga saat ini proses bongkar muat ini-- minimal di Tanjung Priok-- adalah kurang lebih 5,5 hari padahal pemerintahan Jokowi dan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla menginginkan agar waktu pengurusan itu dikurangi atau ditekan hingga minimal sekitar 4,7 hari. Sebagai perbandingan, di negara tetangga,Singapura kegiatan itu hanya berlangsung rata-rata satu hingga dua hari. Nampaknya Presiden sudah menerima laporan bahwa proses penyederhanaan itu sudah mulai berjalan.
"Namun apa yang disajikan (laporan, red) itu hanya 'saji- sajian', "kata Kepala Negara sambil tersenyum-senyum.
Kalau begitu apa arti pentingnya proses" dwelling time" itu?
Bagi pemilik kapal, jika proses ini berjalan singkat maka mereka bisa menghemat biaya operasional kapal. Bagi importir, tentu saja mereka akan menerima barangnya dalam waktu yang tidak berlama-lama. Sementara itu, bagi produsen, maka mereka bisa menerima barang impor itu terutama barang modal dengan cepat sehingga proses produksi tetap berjalan lancar.Kalau begitu di mana masalahnya? Jika proes ini bisa dipersingkat maka biaya pemrosesan juga bisa dikurangi.
Seorang pengusaha berkata bahwa untuk memproses pengurusan kontainer itu maka dia bisa atau malahan harus menyediakan biaya tambahan untuk menyogok para petugas di lapangan hingga mencapai Rp500.000 -Rp1 juta/ peti kemas.
Kalau setiap bulannya minimal terdapat 30.000- 40.000 kontainer yang masuk ke Priok maka masyarakat tentu bisa membayangkan berapa banyak "uang haram" yang beredar di pelabuhan di Jakarta Utara itu. Jadi kalau di Tanjung Perak, Surabaya dan Belawan, Medan terjadi juga proses yang sama, maka bisa dihitung peredaran uang yang tak jelas itu.
Presiden mengatakan bahwa sudah sejak beberapa bulan lalu, ia mengingatkan para pejabat terkait untuk memperbaiki sistem "dwelling time" ini, namun ternyata tidak terlihat adanya upaya konkret.
"Karena itu saya memerintahkan polisi untuk menangani masalah ini," kata Presiden.
Karena itulah, kemudian Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Mohammad Ibal menjelaskan bahwa sudah ada beberapa pejabat Kemendag yang menjadi tersangka termasuk Partogi dan tiga anak buahnya serta seorang wanita pengusaha.
Menurut Kombes Iqbal, jika selama ini konsentrasi pemeriksaan ada di Kemendag maka tidak tertutup kemungkinan para pejabat di kementerian- kementerian dan instansi lainnya atau target operasi (TO) juga bisa diperiksa.
SGS lagi?
Direktur Utama PT(Persero) Pelabuhan Indonesia(Pelindo) II Richard Lino mengatakan bahwa memang terjadi proses yang bertele- tele atau lama di Priok antara lain karena begitu banyaknya instansi pemerintah yang terlibat.
"Karena itu, kenapa mereka tidak di' freeze" (dibekukan saja) dan kemudian dipakai SGS seperti dahulu," kata Lino.
Presiden Soeharto pada tahun 1985 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) 4 tahun 1985 yang pada intinya menghentikan kegiatan pemeriksaan oleh Ditjen Bea Cukai Departemen Keuangan dan kemudian menunjuk sebuah perusahaan surveyor atau pemeriksa dari Prancis atau Societe Generale de Surveillance ata SGS.
Jika sebelumnya Bea Cukai memeriksa barang di pelabuhan kedatangan seperti Priok dan Belawan maka SGS memeriksa barang di pelabuhan keberangkatan seperti Singapura atau Hongkong. Jika semua dokumen sudah diperiksa dan juga barangnya dan dinyatakan lolos maka begitu sampai di Tanah Air, maka kontainer- kontainer itu langsung dibawa ke luar pelabuhan.
Keputusan itu menimbulkan sikap pro dan kontra. Yang menentang menyatakan kenapa harus orang asing yang memeriksa barang impor Indonesia sehingga ada yang mengatakan pemerintahan saat itu "menjual" negara ini ke pengusaha asing. Namun di lain pihak keputusan ini didukung para importir.
Gabungan Importir Nasional Indonesia atau GINSI yang saat itu dipimpin Amiruddin Saud mendukung pnuh keputusan pemerintah, karena para importir yang paling merasakan dampak negatif ulah para petugas Be Cukai. Namun kemudian pemanfaatan SGS hanya berlangsung bberapa tahun dan kemudian pemerintah mendirikan sebuah BUMN baru yang bernama PT Surveyor Indonesia atau PTSI yang bertugas memeriksa barang impor di pelabuhan kedatangan. Padahal saat itu pemerintah sudah memiliki BUMN PT Sucofindo atau Superintending Company of Indonesia.
Pernyataan Direktur Utama Pelindo II Lino itu mendapat dukungan dari seorang pengamat Agus Pambagio yang menyatakan bisa saja pemerintah kembali menyewa SGS atau perusahaan surveyor lainnya. Namun suara GINSI praktis tidak terdengar sama sekali.
Jika pemerintahan Jokowi menyewa surveyor asing untuk memeriksa barang impor maka pasti akan timbul lagi sikap pro dan kontra apalagi zaman ini merupakan era terbuka sehingga siapa pun juga praktis bisa mengritik pemerintah.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro hanya mau berkomentar singkat tentang kasus "permainan" di Priok dengan berujar pendek " Yang bisa ambil tindakan adalah penegak hukum".
Yang patut diperhatikan dalam masalah ini adalah kenapa seorang presiden sampai harus "turun tangan" hingga ke Priok. Seharusnya para menteri saja yang menangani masalah "dwelling time " ini karena banyak persoalan mendasar yang seharusnya mendapat prioritas utama dari Joko Widodo.
Akan tetapi karena sang Kepala Negara sudah "turun tangan" maka akhirnya banyak pejabat tinggi yang kerepotan mulai dari menko, menteri hingga para prajurit Polri.
Karena itu, mungkin rakyat banyak cuma bisa berharap agar persoalan "dwelling time" segera bisa ditangani sehingga Jokowi bisa menangani persoalan -persoalan lainnya yang memang benar- benar ruwet seperti pemilihan kepala daerah atau pilkada terutama karena di beberapa daerah hanya terdapat satu pasangan calon atau keributan internal di Partai Golkar dan PPP.
Setelah Pencopotan Partogi Siapa Lagi "To" Jokowi
Selasa, 4 Agustus 2015 10:42 WIB
"Namun apa yang disajikan (laporan, red) itu hanya 'saji- sajian', "