Jakarta (Antara Babel) - Media sosial yang mulai berkembang pesat di tanah air sejak tahun 2004, mulai dimanfaatkan sebagai sarana kampanye dalam pemilihan umum, seperti yang masif terjadi saat pemilu presiden dan pemilu legislatif 2014.
Jangkauan yang sangat luas serta biaya relatif murah, membuat media sosial dijadikan salah satu pilihan utama sarana kampanye, yang dipandang efektif menyasar masyarakat melek teknologi dan kaum muda.
Namun seiring perkembangannya, media sosial juga digunakan secara tidak bertanggungjawab untuk melakukan kampanye negatif dalam pemilu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun menyatakan kesulitan melakukan pengaturan teknis dan mengawasi kampanye di media sosial.
"Saat ini belum ada regulasi yang jelas dan aturan tegas (kampanye media sosial) sehingga Bawaslu menemui kendala dalam pengawasan teknis karena cakupannya sangat luas," kata Ketua Bawaslu RI Muhammad.
Muhammad mengatakan, sulit menjerat pemilik akun media sosial, seperti Twitter, Facebook dan WhatsApp, yang melakukan kecurangan kampanye, karena cakupan media sosial yang sangat luas.
"Bisa saja orang yang bukan dari Sumatera Barat mengampanyekan pasangan calon kepala daerah yang maju di Sumatera Barat, seperti dari Jakarta atau dari daerah lainnya," ujarnya.
Sebagai langkah antisipatif, Bawaslu RI sejatinya telah melakukan koordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait penggunaan media sosial dalam berkampanye.
Namun demikian, KPI saat ini masih mencari formula tentang bagaimana melakukan pengawasan terhadap kemungkinan penggunaan media sosial untuk kepentingan kampanye tersebut.
Sehingga langkah nyata yang dapat dilakukan Bawaslu RI sementara ini adalah mengajak masyarakat, tim sukses dan pasangan calon untuk tidak memanfaatkan kelemahan regulasi tersebut dalam rangka melakukan pelanggaran berkampanye.
Peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus berpandangan Bawaslu terlambat merancang instrumen pengawasan kampanye, khususnya pengawasan kampanye berbasis media sosial.
Sebab, penggunaan media sosial untuk kampanye bukan lagi persoalan anyar. Namun Bawaslu hingga kini masih saja terkendala atas hal tersebut.
"Harus dikatakan bahwa Bawaslu memang terlalu lelet dalam merancang instrumen pengawasan kampanye. Semestinya instrumen pengawasan sudah dipikirkan dan disiapkan sejak awal bahkan sebelum KPU membuat peraturan harus sudah mulai dipikirkan," jelas Lucius, dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Lucius menilai pada akhirnya, Bawaslu mengalami hal yang serba sulit, karena baru mulai merancang instrumen pengawasan kampanye bersamaan dengan mulainya masa kampanye.
Ia mengakui upaya meminimalisir atau mencegah kecurangan yang dilakukan melalui media sosial, memang sulit dipikirkan mekanisme teknisnya.
Meskipun sudah ada aturan soal batas maksimal akun media sosial untuk kampanye dari masing-masing calon, tapi tetap saja tak menutup kemungkinan jumlah akunnya ditambahkan sendiri oleh pasangan calon dan tim suksesnya dengan menggunakan akun anonim atau akun dengan nama lain.
"Jika saja sejak awal Bawaslu misalnya menggandeng ahli teknologi untuk membangun perangkat pengawasan, bisa saja sekarang tak perlu repot lagi mencarinya," ujar dia.
Menurut Lucius, sekarang yang bisa dilakukan adalah melakukan sosialisasi soal kampanye simpatik melalui media sosial.
Bawaslu dapat meminta publik untuk saling mengawal pasangan calon yang ada. Dan jika ada akun yang melakukan kampanye hitam terhadap pasangan calon lain, publik dapat melaporkan ke Bawaslu atau panitia pengawas di daerah.
Selain itu publik juga harus diajarkan bagaimana memanfaatkan media sosial secara cerdas dengan menampilkan keunggulan program masing-masing, bukan sebaliknya justru menunjukkan keunggulan dengan menjelekkan pasangan calon yang lain.
"Hanya sosialisasi memikat yang memungkinkan publik bisa berpartisipasi dalam mengatasi kampanye melalui media sosial. Bawaslu harus lebih proaktif melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang bagaimana memanfaatkan kampanye melalui media sosial," terang dia.
Pada bagian lain, Bawaslu dipandang perlu memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol sendiri aksi-aksi masing-masing kandidat di media sosial.
Sedangkan partai politik pengusung calon kepala daerah diharapkan turut mengambil bagian dalam membantu mendorong kampanye cerdas dan kreatif dengan mengandalkan pada gagasan-gagasan.
"Partai juga diharapkan bisa mengontrol pasangan calon mereka, agar tidak ikut-ikutan menciptakan kampanye yang tidak cerdas melalui media sosial, sekalipun ada anggapan bahwa partai pengusung tak bisa diharapkan terlalu banyak dalam hubungannya dengan kampanye di media sosial ini," ujar Lucius.
Bukan Momok
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan memandang media sosial bukan lah momok yang harus ditakuti, dalam kaitannya dengan kampanye pilkada serentak. Media sosial adalah keniscayaan dan menjadi gaya hidup tak terhindarkan.
"Dunia politik juga menjadikannya sebagai medium modern, sebagai infrastruktur demokrasi. Tidak ada yang salah dengan kehadiran media sosial ini," ujar Hinca Pandjaitan dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Dia mengatakan kekhawatiran terhadap penggunaan media sosial sebagai instrumen kampanye pilkada ibarat kekhawatiran terhadap penggunaan pisau.
Dia mencontohkan, dahulu kala ketika pisau ditemukan dan dianggap sebagai teknologi terhebat di jamannya, pisau digunakan kaum ibu untuk memotong bahan masakan, guna memastikan masakan yang dihidangkan kepada keluarganya tersaji baik. Akan tetapi bagi seorang pembunuh, pisau digunakan sebagai alat membunuh.
"Pertanyaannya perlu kah aturan melarang penggunaan pisau, tentu tidak. Yang diperlukan adalah niat baik dan etika orang yang menggunakannya, begitu juga dalam pilkada serentak ini dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial," jelas dia.
Menurut Hinca, Partai Demokrat pun memastikan pasangan calon yang diusung dan didukung menandatangani pakta integritas untuk berpolitik secara etis dengan prinsip bersih cerdas dan santun.
"Pakta integritas ini adalah lilin pemandu bagi mereka. Namun demikian 'pengawas pertandingan' yakni Bawaslu dan perangkatnya tak boleh menyerah melakukan tugasnya," ujar Hinca.
Partai Demokrat, kata dia, mendorong Bawaslu terus-menerus bekerja keras memastikan kompetisi pilkada serentak ini berlangsung adil dan saling menghargai termasuk di dunia media sosial.
Dihubungi terpisah, Ketua DPP Partai Hanura Miryam S. Haryani meminta Bawaslu tidak terlalu khawatir dengan penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye. Media sosial seyogyanya mendorong munculnya kampanye sehat dan kreatif.
"Bawaslu sebagai pengawas pemilu sejatinya tidak perlu khawatir dengan hadirnya metode kampanye seperti ini, karena hal ini adalah dampak dari pergeseran perilaku masyarakat kita yang sudah familiar dengan teknologi," kata Yani.
Dia mengatakan pilkada serentak yang akan dilaksanakan akhir tahun ini memang menjadi pertaruhan banyak pihak, baik penyelenggara pilkada (KPU dan Bawaslu), pemerintah, partai politik dan bahkan sampai calon kepala daerahnya.
Bagi partai politik ini adalah tantangan untuk memenangkan pilkada di banyak tempat dalam waktu yang bersamaan, sedangkan pemerintah menghadapi kecemasan keberlangsungan pilkada serentak yang aman dan damai, adapun bagi penyelenggaranya adalah memastikan pilkada serentak berjalan lancar sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan.
Media sosial yang di Indonesia ramai dijadikan alat kampanye sejak pilpres 2004 namun baru masif pada pilpres 2014, tidak membuat Hanura khawatir, sebab kampanye media sosial dapat dimanfaatkan secara positif.
"Justru malah mendorong terjadinya kampanye sehat melalui teknologi yang ada. Hal ini bertujuan untuk mengurangi adanya 'sampah baliho/spanduk' seperti sebelum-sebelumnya," terang dia.
Sedangkan guna mencegah media sosial dijadikan sarana kampanye negatif Bawaslu mesti lebih proaktif untuk bekerjasama dengan berbagai pihak khususnya yang terkait dengan masalah teknologi.
"Kita tidak perlu khawatir akan munculnya kampanye hitam melalui media sosial, karena sebenarnya untuk melacak pelaku-pelaku tersebut tidak lagi susah. Kita bisa melihat bagaimana selama ini kasus-kasus kejahatan melalui media sosial ini sudah sangat mudah diketahui dan ditangkap pelakunya apalagi sekarang di negara kita sudah ada UU ITE jadi Bawaslu tidak perlu khawatir akan hal itu," papar Yani.
Yani secara pribadi mengajak Bawaslu untuk tidak terbiasa mengeluh dan pesimistis karena hal dinilai akan menunjukkan kredibilitas lembaga pengawas pemilu itu menjadi diragukan.
"Bawaslu harus dapat berpikir visioner dan kreatif dalam mengantisipasi bentuk-bentuk pelanggaran kampanye yang sudah semakin banyak dan kompleks bentuknya," jelas Yani.