Jakarta (Antara Babel) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di sembilan provinsi, 224 kabupaten dan 36 kota pada 9 desember 2015.
Pilkada serentak tersebut digelar bagi kepala daerah yang akhir masa jabatannya (AMJ) berakhir 2015 dan semester pertama tahun 2016. Pilkada tersebut akan akan mengawali upaya menjadikan pilkada serentak di seluruh Indonesia pada 2027.
Sesuai rencana yang disusun, setelah gelombang pertama pilkada, gelombang kedua akan dilaksanakan Februari 2017 untuk AMJ semester kedua tahun 2016 dan seluruh daerah yang AMJ-nya 2017. Sedangkan gelombang ketiga dilaksanakan pada Juni 2018 untuk AMJ tahun 2018 dan AMJ 2019.
Sementara pada 2020, pilkada serentak dilaksanakan bagi daerah yang menyelenggarakan pilkada pada 2015, untuk pilkada serentak 2017 akan kembali digelar pada 2022. Pilkada serentak 2018 mengikuti siklusnya kembali diadakan pada 2023. Rencananya, pilkada serentak di seluruh daerah akan digelar pada 2027.
Penyelenggaraan pilkada serentak di 2015 merupakan hal baru dalam pelaksanaan demokrasi di daerah. Pilkada serentak tidak hanya mengubah jadwal pemilihan kepala daerah, namun juga membawa serta sejumlah perubahan dibandingkan pemilihan kepala daerah sebelumnya.
Dalam pilkada kali ini, selain upaya efektifitas juga mendorong adanya budaya politik baru.
Guna mendorong asas keadilan dan kesetaraan, pembiayaan untuk empat aktivitas kampanye, yaitu debat antar kandidat, penyediaan bahan kampanye, alat peraga kampanye dan iklan di media massa cetak dan elektronik menjadi beban APBD.
Sementara peserta boleh membiayai kampanye sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Strategi ini, selain untuk menurunkan biayai politik masing-masing calon juga mendorong keadilan dan kesetaraan bagi masing-masing calon. Sehingga diharapkan tidak terjadi ketimpangan antara calon dalam pembiayaan politik sekaligus menekan politik uang.
Namun dalam pilkada serentak 2015 belum memberikan dorongan untuk meningkatkan peran serta perempuan turut berkompetisi.
Minim
Hasil penelusuran data laman infopilkada.kpu.go.id, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan kandidat perempuan dalam pilkada serentak 2015 hanya 116 orang dari 1.584 peserta, atau 7,32 persen.
Dari 116 perempuan yang berlaga dalam pilkada, 54 mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 62 orang tercatat sebagai calon wakil kepala daerah.
Para perempuan tersebut tersebar di 90 daerah dari 262 daerah kabupaten, kota, dan provinsi. Pada pilkada kabupaten, terdapat 76 orang dari 219 wilayah. Untuk pilkada kota 13 orang dari 34 wilayah, dan provinsi hanya 1 orang dari 9 wilayah.
Sedangkan berdasarkan wilayah partisipasinya, tercatat 79 orang mendaftar di tingkat kabupaten, 13 orang di tingkat kota, dan satu orang tingkat provinsi.
Berdasarkan latar belakang perempuan yang ikut serta dalam pilkada, anggota DPR, DPD maupun DPRD merupakan yang terbanyak, 26 orang mendaftar sebagai kepala daerah (48,15 persen dibandingkan kandidat pria), 20 orang sebagai wakil kepala daerah (32,36).
Untuk perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite politik, 21 orang mendaftar sebagai kepala daerah (38,89 persen), delapan orang sebagai wakil kepala daerah (12,90 persen).
Sementara perempuan yang berstatus petahana diketahui ada 19 orang kepala daerah (35,19 persen), dan 1 orang wakil kepala daerah (1,62 persen).
Kandidat kepala daerah perempuan yang berstatus kader partai sebanyak 18 orang (33,3 persen) dan 21 orang sebagai wakil kepala daerah (33,87 persen).
Kandidat kepala daerah perempuan berlatar belakang LSM atau ormas sebanyak 8 orang (14,81 persen) sedangkan untuk wakil kepala daerah sembilan orang (14,52 persen).
Untuk kandidat berlatar belakang mantan TNI/Polri PNS sebanyak dua orang (3,70 persen), sedangkan untuk wakil kepala daerah sebanyak 12 orang (19,36 persen).
Kandidat perempuan yang pernah menjadi kepala daerah sebanyak dua orang (3,7 persen) sedangkan untuk wakil kepala daerah sebanyak dua orang (1,61 persen).
Sedangkan figur populer untuk kandidat perempuan hanya dua orang (3,7 persen), sedangkan untuk wakilnya empat orang (6,54 persen).
Data tersebut seperti menyambung dari pengalaman pemilihan kepala daerah sebelumnya. Dikutip dari Women Reasearch Institute (WRI), sejak pertama kali pilkada dimulai pada 2005 kandidat perempuan kurang mendapat tempat. Pada pilkada pertama kali yang dilakukan oleh Kabupaten Kutai Kertanegara,Kaltim pada 1 Juni 2005 dari tiga kandidat tidak ada satu pun kandidat dari perempuan.
Minimnya kandidat perempuan terus berlanjut di pilkada-pilkada selanjutnya. Menurut WRI menukil Lingkaran Survei Indonesia, 79,4 persen Pilkada yang berlangsung antara tahun 2005-2006 tidak menyertakan kandidat perempuan sebagai calon pimpinan daerah.
Dari 296 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, 235 wilayah tidak memiliki kandidat perempuan di dalam pencalonan kepala daerah dan wakilnya.
Diantara Pilkada yang sudah melibatkan perempuan sebagai kandidat tersebut, 72,5 persen perempuan diantaranya ditempatkan pada posisi wakil dan hanya 27,5 persen yang menjadi kepala
daerah.
Kebijakan Afirmatif
Peneliti Perludem, Mahardika mengatakan, minimnya kandidat perempuan salah satunya karena adanya ketimpangan modal yang dimiliki laki-laki dan perempuan. Kandidat pria menurut dia memiliki modal yang lebih baik, baik itu berupa modal uang, modal sosial maupun modal politik.
Untuk mengurangi ketimpangan tersebut, menurut dia perlu adanya kebijakan afirmatif untuk mendorong kandidat perempuan dalam eksekutif.
"Ini PR (pekerjaan rumah) untuk pilkada tahun depan, agar peserta perempuan lebih banyak. Harus ada penyesuaian persyaratan, agar peserta perempuan bertambah," sebut Mahardika.
Mahardika mengatakan, Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang pilkada serentak, sama sekali tidak ada kebijakan afirmatif untuk mendorong kaum perempuan seperti layaknya dalam pemilu legislatif.
Ia mengusulkan, salah satu kebijakan afirmatif yang ditempuh adalah menurunkan angka dukungan bagi kandidat perempuan dari jalur independen. Bila jumlah dukungan suara untuk kandidat jalur independen sebesar tujuh persen, maka bagi kandidat perempuan diberikan kelonggaran, lebih rendah dari tujuh persen.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sepakat perlunya kebijakan afirmatif untuk mendorong kandidat perempuan.
Menurut dia, kebijakan afirmatif juga dapat dilakukan oleh partai-partai politik. Partai politik, dapat mengakomodasi dan memfasilitasi agar jumlah kandidat perempuan dalam pilkada meningkat,.
Selain itu, peningkatan kandidat perempuan dalam pilkada juga dapat didorong melalui kepercayaan masyarakat terhadap para kepala daerah perempuan.
"Ini menjadi PR kita dalam pilkada serentak ke depan," katanya.
Ia mengatakan, minimnya perempuan menjadi kandidat dalam pilkada membuat kesempatan kaum perempuan menjadi kepala daerah juga terbatas. Padahal peran serta perempuan sebagai pengambil kebijakan diperlukan untuk mendorong pembangunan berperspektif gender.
"Meski tidak menjamin hal itu ya, tetapi paling tidak dia dapat membuat kebijakan dengan perspektif gender," katanya.