Jakarta (Antara Babel) - Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang memosisikan diri sebagai organisasi kemasyarakatan disorot banyak pihak sejak berita hilangnya sejumlah orang lantaran bergabung dengan gerakan yang mengklaim diri bergerak di sektor sosial dan budaya ini.
Sejatinya, kehadiran Gafatar bukan barang baru karena memiliki sejarah panjang. Jika ditelisik lebih jauh, gerakan ini memiliki keterikatan dengan Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah (NII KW) IX.
Keterikatan itu tidak jauh dari figur Ahmad Mussadeq di belakang organisasi tersebut. Mussadeq disebut sebagai salah satu pentolan dari NII. Selepas dari NII, dia menjadi penasihat Gafatar dan menjadi pembicara dalam berbagai acara gerakan ini.
Terdapat bantahan dari pihak Gafatar soal organisasi ini yang tidak ada keterikatan dengan gerakan keagamaan.
Dalam situs resmi gafatar.org, meski laman ini sekarang sudah tidak bisa diakses, Ketua Umum Gafatar Mahful M. Tumanurung mengatakan bahwa Gafatar tidak akan berevolusi menjadi organisasi keagamaan.
Kendati demikian, sejumlah pihak tidak langsung percaya dengan hal itu karena terdapat indikasi-indikasi jika Gafatar tetap menyebarkan paham keagamaan secara terselubung. Awalnya, mereka merekrut anggota. Jika sudah masuk, akan disampaikan soal paham keagamaan versi Gafatar.
Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta Iwan Setiawan meyakini jika Gafatar awalnya menawarkan pelayanan sosial dan pelatihan yang dibutuhkan masyarakat, terutama kalangan muda. Anak muda yang masih labil cenderung mudah diajak dan dipengaruhi oleh organisasi ini.
Mussadeq Lanjutkan "Dakwah"
Gafatar yang berdiri pada tanggal 14 agustus 2011 disebut banyak pihak memiliki keterikatan dengan NII lewat Mussadeq. Mussadeq membentuk Alqiyadah Alislamiyah pada tahun 2000 sampai dibubarkan pada tahun 2007 setelah aliran yang dibawanya itu dinyatakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Mussadeq tampaknya masih memiliki pesona di mata para pengikutnya meski ajaran Mussadeq sudah dinyatakan sesat. Buktinya, pada tahun 2010 figur yang sejak awal mengaku menerima wahyu Tuhan lewat malaikat Jibril ini kembali mendirikan organisasi serupa guna mengakomodasi alirannya, yaitu mendirikan Komunitas Millah Abraham (Komar).
Ajaran itu diduga kuat memiliki benang merah, yaitu ajaran Mussadeq yang mencampuradukkan agama Islam, Nasrani, dan Yahudi.
Millah Ibrahim juga akhirnya harus berganti nama menjadi Gafatar dengan alasan menghindari kritik dan sorotan publik karena dinilai masih mempraktikkan penodaan ajaran agama. Gafatar pun secara perlahan tapi pasti menampakkan dirinya secara terang-terangan sebagai organisasi sosial-budaya, bukan keagamaan.
Mantan Kepala Bidang Kesehatan Gafatar Jawa Timur dr. Budi Laksono bersama mantan Ketua Dewan Pimpinan Gafatar Surabaya Riko menyebut organisasi yang diikutinya hanya merupakan gerakan sosial dan budaya yang tidak berhubungan dengan agama.
"Saya tegaskan bahwa Gafatar merupakan organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial dan budaya, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan organisasi keagamaan, apalagi Islam," kata dia.
Gafatar, kata dia, lahir sejak 2011, kemudian dibubarkan oleh Gafatar Pusat pada bulan Agustus 2015 karena masih belum ada surat keterangan terdaftar (SKT) dari Kementerian Dalam Negeri.
Dalam akun Twitter resminya, Gafatar juga berulang kali memposting soal gerakan sosial-budayanya.
"Gafatar bukan membawa misi agama, suku, ras, atau golongan tertentu, tetapi membawa misi kebangkitan bangsa," tulis akun @gafatar.
Lewat Twitter, Gafatar juga menjelaskan jika setiap gerakannya itu didasarkan pada Pancasila.
Dokter Rica Hilang
Gafatar bertahun-tahun melangsungkan kegiatannya, termasuk menjalin kerja sama dengan sejumlah instansi pemerintah. Ini menandakan geliat aktivitasnya mampu bersinergi dengan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
Akan tetapi, sejak ada laporan hilangnya dokter Rica Tri Handayani bersama anaknya sejak 30 Desember 2015, Gafatar mulai dipersoalkan publik karena gerakannya yang cenderung berupaya menambah anggota secara diam-diam. Sampai pada akhirnya terjadi kasus dokter Rica menghilang dari Yogyakarta dan tidak dapat dikontak.
Masalah tidak selesai menyangkut Gafatar kendati dokter Rica akhirnya bisa ditemukan polisi di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada hari Senin, 11 Januari 2016. Alasannya, korban hilang bukan hanya dokter Rica, melainkan sudah relatif banyak laporan yang masuk ke polisi.
Saat ditemukan, Rica sedang menggendong anaknya di depan gerai sebuah maskapai penerbangan. Dia bersama tiga korban lain yang berasal dari Boyolali, Jawa Tengah, dan dua orang perekrutnya, sepasang suami istri berinisial E dan V.
"Sedang berdiri di konter 'airlines' lokal. Mereka akan menuju Semarang dengan tiga orang korban asal Boyolali," kata Kapolda Yogyakarta Brigjen Polisi Erwin Triwanto.
Dijelaskan Kapolda, penelusuran terhadap dokter Rica dilakukan setelah polisi melakukan olah TKP di rumah korban. Polisi menemukan barang bukti berupa bungkus kartu perdana dan bungkus telepon genggam yang baru dibeli dokter Rica sebelum meninggalkan rumah.
Keberadaan dokter Rica kemudian ditelusuri melalui sinyal telepon genggam yang baru dipakainya. Dari penelusuran berada di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Diduga ada kegiatan besar yang diselenggarakan komunitas Gafatar di wilayah itu.
Peran Nahdlatul Ulama-Muhammadiyah
Iwan Setiawan mendesak dua organisasi keagamaan besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, untuk memperkuat perannya sehingga peluang berkembangnya organisasi keagamaan "tidak jelas" yang meresahkan masyarakat tidak dapat berkembang.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mendorong para pendakwah lebih progresif menangkal berbagai ajaran menyimpang di tengah masyarakat yang disebarkan oleh kelompok atau organisasi tertentu.
"Ini (kasus hilangya orang akibat rekrutmen Gafatar) menjadi momentum bagi para pendakwah untuk lebih progresif mencerdaskan masyarakat dengan mengajarkan ilmu agama secara menyeluruh," kata Haedar.
Menurut Haedar, apabila ditelusuri lebih dalam, hingga saat ini diperkirakan masih banyak organisasi sempalan yang mengatasnamakan Islam dengan ajaran yang menyimpang. Pergerakannya juga cenderung beroperasi di bawah tanah atau sulit terdeteksi oleh masyarakat umum.
Oleh sebab itu, menurut dia, serangan paham-paham menyimpang yang marak muncul akhir-akhir ini lebih efektif jika ditangkal dengan gerakan kultural yang mengutamakan upaya mencerdaskan masyarakat.
"Alam pikir masyarakat perlu dicerdaskan sehingga tidak mudah terpengaruh dengan doktrin-doktrin yang menyimpang," kata dia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Aqil Siroj menyebut kelompok Gafatar merupakan kelompok yang berbahaya sehingga perlu diwaspadai.
"Ini kelompok berbahaya yang bisa menyesatkan saudara-saudara kita. Oleh karena itu, kita selalu menjaga warga NU dari berbagai ancaman jenis teroris, dan kiai-kiai NU juga selalu membimbing masyarakat agar mengarahkan pada Islam yang berakhlak, beradab, dan berbudaya," katanya.
Ia menegaskan sikap secara pribadi dan oraninasi NU sudah jelas, yakni antikekerasan dan antiradikalisme.
Untuk itu, Said meminta pemerintah selalu bergerak cepat dalam menangkal organisasi-organisasi tidak jelas, terlebih mereka menolak konsep kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indinesia.
"Agar pemerintah soal organisasi tidak jelas, terutama yang menolak 'nation' seperti mereka yang mengusung Islam khilifah hendaknya dibubarkan. Ormas-ormas yang meneror dan memicu ketakutan masyarakat agar dibubarkan," katanya.