Doha (ANTARA) - Sepak bola adalah sebuah industri merupakan pernyataan yang tidak bisa diganggu gugat lagi keabsahannya. Bahkan di tingkat liga domestik Indonesia yang pengelolaannya masih karut marut saja, sepak bola tetaplah sebuah industri. Besar dan kecil hanyalah perihal ukurannya.
Presiden FIFA Gianni Infantino juga sempat memamerkan betapa besarnya nilai keekonomian sepak bola di hadapan para pemimpin negara forum kerja sama ekonomi multilateral G20.
Saat diundang menghadiri jamuan makan siang para pemimpin negara dan delegasi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Indonesia, pada 15 November lalu, Infantino diberi kesempatan berbicara oleh Presiden RI Joko Widodo.
"Anda sekalian mewakili negara-negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Izinkan saya berbicara sedikit mengenai ekonomi dan sepak bola, sebab mungkin Anda sekalian tidak tahu bahwa GDP global sepak bola mencapai hampir 300 miliar dolar AS," kata Infantino kala itu.
Deretan nominal angka keekonomian itu pula yang kemudian sukses merayu Barcelona meruntuhkan tradisi yang usianya telah melampaui 1 abad lamanya.
Sejak didirikan oleh gabungan orang-orang Swiss, Jerman, Inggris, dan tentunya Katalan di bawah kepemimpinan Joan Gamper pada 1899, Barcelona secara konsisten tak membiarkan jersey mereka "dicemari" oleh jenama-jenama penaja (sponsor), kecuali logo produsen apparel yang menyempil kecil di atas dada.
Hingga akhirnya pada 2006, Barcelona mendermakan muka jersey mereka untuk menjadi wadah kampanye kemanusiaan dengan menyematkan logo Dana Darurat Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF).
Rupanya, kampanye UNICEF tersebut menjelma jadi pintu masuk kemauan Barcelona --klub yang dikelola dengan pengambilan keputusan berdasar pemungutan suara anggotanya-- untuk mulai melirik nilai keekonomian muka jersey mereka.
Maka, pada Desember 2010 tercapailah kesepakatan antara Barcelona dengan Qatar Sports Investment (QSI), anak perusahaan dari lembaga investasi milik pemerintah Qatar, Qatar Investment Authority (QIA), yang secara khusus berusaha menambah aset negeri Keluarga Al Thani itu di bidang olahraga.
Barcelona mengumumkan kesepakatan tersebut bernilai 150 juta euro dengan rentang waktu kontrak 5 tahun mulai dari musim 2011/12, atau Las Blaugrana mendapatkan 30 juta euro per musim. Angka tersebut sukses memecahkan rekor nilai kesepakatan sponsor jersey pada masanya.
Kesepakatan itu sempat mendapat sorotan, bukan hanya karena Barcelona akhirnya menyerahkan tradisi besar mereka demi nominal angka sponsor, melainkan juga lantaran tuduhan QSI melakukan siasat sportwashing untuk Qatar.
Sportwashing adalah terma yang digunakan untuk menyebut praktik memperbaiki citra sebuah negara, perusahaan, seseorang, maupun kelompok tertentu melalui jalur olahraga.
Bisa jadi karena tudingan sportwashing itu pula, yang membuat QSI memilih menempatkan nama Qatar Foundation di muka jersey Barcelona selama dua musim pertama kontrak sponsor, sebelum kemudian digantikan oleh Qatar Airways yang memang masih terafiliasi dengan QSI. Pintu gerbang
Terlepas dari apakah langkah yang dilakukan QSI adalah sebuah sportwashing atau bukan, nyatanya keberadaan nama Qatar Foundation di jersey Barcelona telah membukakan pintu bagi banyak pelajar untuk menimba ilmu di Qatar, termasuk dari Indonesia.
Hendriyadi Bahtiar, pria asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu penerima beasiswa dari Qatar Foundation, yang namanya memang hanya ia kenal dari jersey di Barcelona.
"Kalau ditanya kenapa akhirnya belajar di Qatar, jawaban gua selalu sama, yakni terinspirasi dari logo Qatar Foundation di (jersey) Barcelona. Bukti nyata kalau sponsor olahraga juga ada manfaatnya," kata Hendri kepada ANTARA dalam sebuah perbincangan di Doha, Qatar, Minggu (4-12).
Pria yang juga pernah mengikuti program pertukaran pelajar di Kanada pada 2010 itu mengaku sama sekali tidak memiliki gambaran apapun tentang Qatar ketika ia mengajukan beasiswa.
Sekali lagi, jersey Barcelona baik itu di layar kaca pertandingan Liga Champions dan Liga Spanyol maupun di sampul gim konsol yang kerap ia mainkan.
"Jujur, saya berangkat tanpa pernah punya ekspektasi apa pun soal Qatar, karena selama ini kiblat pendidikan di Timur Tengah kalau bukan (Arab) Saudi, ya Mesir. Bahkan kalau kita bicara di wilayah Jazirah (Arab), lebih banyak yang kenal Dubai ketimbang Qatar," tutur Hendri.
Hendri baru saja menuntaskan program beasiswa Master of Arts in Women, Society, and Development dari College of Humanities and Social Science Hamad Bin Khalifa University (HBKU) yang mulai ia enyam sejak 2020.
Menurut pria kelahiran 12 April 1989 itu, dirinya tak begitu sulit untuk melakukan adaptasi dengan kehidupan menimba ilmu di Qatar, terutama yang ia rasakan di kompleks Education City.
Pasalnya, pelajar diberi begitu banyak fasilitas seperti akomodasi, kemudian di dalam kampus juga lengkap berbagai moda transportasi seperti trem maupun bus antarjemput internal yang beroperasi 24 jam penuh.
Hendri yang pernah berkarier di sebuah bank swasta di kawasan Sudirman bahkan membandingkan bahwa dirinya merasa lebih nyaman pulang dini hari di Qatar ketimbang di Jakarta.
"Kami yang belajar di sini berasa dimuliakan banget sebagai pelajar dengan segala fasilitas yang diberikan," katanya.
Tak hanya sibuk menuntaskan pendidikan beasiswanya, Hendri juga sempat menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Qatar periode 2021-2022.
Sheikha Moza
Meski tiba di Qatar dengan modal pengetahuan nol tentang negeri Keluarga Al Thani itu, Hendri perlahan menyimpan rasa kagum kepada para pembesar negara itu.
"Salutnya, banyak orang di sini, terutama royal family lah ya, mereka tuh menggunakan privilege itu untuk do something good," kata Hendri.
Salah satu sosok yang amat dikaguminya adalah Sheikha Moza binti Nasser Al Missned, istri kedua Amir Qatar terdahulu Sheikh Hamad bin Khalifah Al Thani dan ibu dari Amir Qatar saat ini Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.
Hendri tanpa ragu melabeli Sheikha Moza sebagai sosok perempuan paling berpengaruh di Qatar, termasuk atas andilnya mendirikan Qatar Foundation yang belakangan juga membangun kompleks pendidikan Education City di Al Rayyan, tak jauh dari Doha.
"Bahkan tanah yang dipakai membangun Education City itu pun sebetulnya milik keluarga Bani Hajjar, keluarganya Sheikha Moza, yang kemudian diwakafkan," tutur Hendri.
Di Education City yang memiliki luas total 1.200 hektar, HBKU berbagi tempat dengan delapan universitas asing kenamaan yang menempatkan cabangnya di sana.
Enam di antaranya adalah dari Amerika Serikat yakni Virginia Commonwealth University, Weill Cornell Medicine, Texas A&M University, Carnegie Mellon University, Georgetown University, dan Northwestern University. Kemudian satu universitas Inggris yakni University College London, dan satu lainnya dari Prancis yaitu HEC Paris.
Hendri meyakini bahwa langkah Sheikha Moza mendirikan Education City adalah salah satu upayanya dalam mendongkrak tingkat pendidikan tinggi bagi perempuan di Qatar.
"Karena biar bagaimana pun masih ada sedikit hambatan untuk mengizinkan perempuan bersekolah ke luar Qatar, maka didatangkanlah universitas-universitas berkualitas itu ke sini agar para perempuan tetap bisa mengenyam pendidikan tinggi," ujarnya.
Keberadaan Education City, tampaknya, juga berusaha dipromosikan lebih lanjut oleh panitia Piala Dunia 2022 Qatar atau Supreme Committee (SC). Sebab di kompleks tersebut dibangun pula Stadion Education City, yang sepanjang Piala Dunia 2022 menjadi venue dari delapan pertandingan, termasuk saat Kroasia menyingkirkan Brasil lewat adu penalti dalam babak perempat final.
Sekali lagi, bisa saja penaja Qatar Foundation di jersey Barcelona adalah sebuah siasat sportwashing, begitu juga pemberian beasiswa bagi banyak pelajar dari berbagai belahan dunia untuk menimba ilmu di Education City tak ubahnya upaya memoles citra.
Nyatanya, keberadaan Qatar Foundation di jersey Barcelona telah membukakan pintu kesempatan untuk menimba ilmu. Boleh jadi mirip dengan praktik corporate social responsibility (CSR) yang sudah bisa begitu dinormalisasi.