Jakarta (Antara Babel) - Pemerhati perempuan dan anak Giwo Rubianto mempertanyakan dana yang diberikan oleh Organisasi Pembangunan Dunia atau United Nations Development Programme (UNDP) untuk kemajuan kesejahteraan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia dan tiga negara lainnya.
"Masih banyak sektor lain yang harus mendapatkan perhatian seperti pendidikan, mengapa harus diberikan dana untuk LGBT yang tidak sesuai dengan nilai moral Indonesia," kata Giwo di Jakarta, Sabtu.
UNDP mengucurkan dana sebesar delapan juta dolar AS atau sekitar Rp108 miliar yang diperuntukkan bagi kemajuan kesejahteraan komunitas LGBT di Indonesia, Tiongkok, Filipina dan Thailand.
Walaupun Indonesia merupakan negara berkembang, lanjut Giwo, tetapi tidak lantas bisa dijadikan kelinci percobaan bagi UNDP untuk melegalkan keberadaan LGBT.
"LGBT tidak boleh berkembang karena merusak generasi bangsa. LGBT merupakan kelainan yang 60 persen disebabkan oleh kelainan, sisanya memang genetik. Orang tua sangat berperan dalam meluruskan penyimpangan itu, karena LGBT merupakan penyimpangan seksual yang tidak dibenarkan oleh agama manapun," jelas dia.
Orang tua yang mengetahui anaknya mengidap kelainan seksual harus segera membawa anaknya ke ahli jiwa untuk mendapat penanganan lebih lanjut sampai anaknya normal kembali. Hal itu selaras dengan UU Perlindungan Anak.
"Pemerintah harus bersikap tegas terkait aliran dana asing untuk LGBT ini, karena jelas-jelas akan merusak moral bangsa," tegas dia.
Indonesia, lanjut dia, berbeda dengan negara-negara di Eropa dan Amerika yang melegalkan LGBT. Indonesia merupakan negara religius yang menganut adat ketimuran. LGBT masih dianggap sebagai penyimpangan dan bukan sesuatu yang wajar.
"Seharusnya UNDP sebagai organisasi global memahami hal itu dan tidak mendukung program-program yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia ," imbuh dia.
Dalam situs resmi UNDP disebutkan tujuan dari proyek kemitraan regional yang berlangsung selama tiga tahun ini, untuk mendukung kaum LGBT mengetahui hak-hak mereka dan mendapatkan akses ke pengadilan untuk melaporkan pelanggaran HAM.
Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Saleh Partaonan Daulay mengatakan bantuan tersebut akan menimbulkan polemik dan perdebatan baru. Selain dinilai ikut mempromosikan LGBT, bantuan UNDP tersebut juga dinilai mencampuri standar nilai, moral, budaya, dan kearifan lokal di Indonesia.