Jakarta (Antara Babel) - Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR dalam rapat konsultasi di Istana Negara pada 22 Februari 2016 akhirnya sepakat untuk menunda revisi UU No 30 tahun 2003 tentang KPK, namun tidak akan menghapuskannya dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019.
"Setelah bicara banyak mengenai rencana revisi UU KPK, kita sepakat bahwa revisi ini sebaiknya tidak dibahas saat ini. Ditunda, dan saya pandang perlu adanya waktu yang cukup untuk mematangkan rencana revisi UU KPK dan sosialisasi ke masyarakat," kata Presiden Joko Widodo, Senin (22/2).
Namun ketua DPR Ade Komarudin menambahkan kesepakatan penundaan revisi UU KPK tidak akan menghapuskan agenda itu dalam daftar Prolegnas dan penundaan hanya memberi waktu untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang materi revisi UU KPK.
Apalagi pimpinan KPK mengakui bahwa memang ada sejumlah hal dalam UU tersebut yang butuh direvisi.
"Kita harus akui juga bahwa UU KPK yang lama sudah saatnya ada beberapa poin yang perlu direvisi, misalnya mengenai pengangkatan penyidik independen yang dipermasalahkan ya dipertegas saja menyatakaPkalau KPK boleh mengangkat penyidik independen di luar penyidik Polri dan Kejaksaan, di UU KPK kan belum bunyi itu," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
KPK berharap revisi UU KPK nantinya harus sesuai dengan harapan masyarakat.
"(Presiden) tidak mengatakan menunda sampai kapan. Kita tidak mengerti sampai kapannya, bisa 2, 5, 10 tahun, harapan kami dan sesuai harapan masyarakat, saya kira nanti kalau indeks persepsi korupsi kita sudah bagus, meningkat dan kita sudah sejajar dengan taruhlah standar kita Malaysia OK lah kita bicara revisi," ungkap Alex.
Lantas bagaimana strategi KPK untuk meningkatkan kinerja selama revisi UU sepakat untuk ditangguhkan sementara waktu?
Pembentukan satgas
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengungkapkan bahwa kunci peningkatkan kinerja KPK dengan perangkat UU yang sama adalah strategi manajemen yang baru.
"Kata kuncinya adalah perlu inovasi dan manajemen strategis dengan pisau analisis UU KPK dan revisi UU Tindak Pidana Korupsi," kata Saut Situmorang.
Maksud dari manajemen strategis tersebut adalah koordinasi dan supervisi yang memang menjadi kewenangan KPK dalam pasal 6 UU KPK.
"Akan selalu saja ada prioritas untuk mencegah dan menuntut kasus koordinasi supervisi. Hal yang sedang dalam rekonstruksi kami berlima agar 'bottleneck'(sumber masalah) penanganan kasus baik yang kami bangun sendiri, aduan masyarakat atau tunggakan kasus bisa dipotong," tambah Saut.
Salah satu contoh adalah dengan membentuk satuan kerja (satgas) di Kementerian dan Lembaga serta BUMN.
"Dengan membentuk satgas di kementerian-lembaga dan BUMN agar bisa membangun kasus," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.
Menurut Basaria, satgas tersebut akan segera bekerja.
"Sudah dibentuk, sesegera mungkin akan mulai bekerja," tambah Basaria.
Namun Basaria tidak menjelaskan sektor mana saja yang akan menjadi prioritas kerja KPK.
"Kita tunggu hasil dari satgas dulu," ungkap Basaria singkat saat ditanya mengenai sektor-sektor yang dituju.
Tujuan utama pembentukkan satgas tersebut tentu untuk mengurangi jumlah tunggakan kasus.
"Langsung atau tidak langsung akan berhubungan antara satgas dan penurunan jumlah kasus yang tertunggak, saat ini satgas sudah mulai jalan," kata Saut.
Salah satu penyidik KPK yang rencananya ditempatkan dalam satgas K/L dan BUMN tersebut adalah penyidik senior KPK Novel Baswedan.
"Memang akan ada satgas yang ditempatkan, tapi belum ditentukan siapa yang akan ditempatkan di sana," kata pelaksana harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati.
Tak heran banyak tunggakan kasus di KPK karena kekuatan Kedeputian Penindakan KPK hanya 298 personil yaitu terdiri atas 118 orang penyelidik, 92 orang penyidik dan 88 orang penuntut umum. KPK pada 2015 "cuma" berhasil melakukan 84 kegiatan penyelidikan, 99 penyidikan (49 perkara limpahan tahun 2014), dan 91 kegiatan penuntutan (33 perkara limpahan 2014), serta eksekusi terhadap 33 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kasus yang masuk ke penyelidikan bahkan hanya 0,015 persen dari total laporan pengaduan masyarakat ke KPK yang mencapai 5.266 laporan pada 2015.
Hal yang patut dipuji adalah jumlah kerugian keuangan negara yang berhasil diselamatkan dan masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari penanganan perkara tindak pidana korupsi (TPK) meningkat hingga Rp88 miliar atau mencapai total Rp198,527 miliar pada 2015 dibanding PNBP dari TPK di KPK pada 2014 yaitu Rp110,126 miliar.
Penyumbang terbesar muatan PNBP tersebut adalah pendapatan uang sitaan hasil korupsi yang telah ditetapkan pengadilan yaitu Rp171,989 miliar sedangkan pendapatan uang sitaan hasil korupsi yang telah ditetapkan pengadilan pada 2014 hanya Rp81,97 miliar sehingga dapat asumsi awal menunjukkan KPK memang menargetkan kasus-kasus yang nilai korupsinya besar.
Tindak pidana korupsi yang paling banyak ditangani KPK pada 2015 adalah penyuapan (35 perkara), diikuti pengadaan barang-jasa (10 perkara), penyalahgunaan anggaran (2 perkara), sedangkan perizinan, pungutan dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) masing-masing satu perkara.
Jumlah penanganan perkara oleh KPK bahkan hanya lima persen dari total kasus korupsi di Indonesia berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW). Sementara Kejaksaan menangani 369 kasus (67,4 persen) dengan total kerugian negara yang berhasil dihitung sebanyak Rp1,2 triliun dan suap Rp2,95 miliar sedangkan kepolisian menangani sebanyak 151 kasus (27 persen) dengan nilai kerugian negara Rp1,1 triliun dan suap Rp23,5 miliar.
Sektor rentan korupsi
Dalam paparan Tren Penanganan Kasus Korupsi Anggota Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah pada Rabu (24/2), sektor pelayanan publik pada 2015 menjadi yang paling rentan untuk dikorupsi.
Lima sektor publik yang paling banyak dikorupsi adalah pendidikan, transportasi dan kesehatan. Sepanjang 2010-2015 ada 1.080 kasus (35,5 persen), dengan pendidikan sebagai sektor yang paling dirugikan dari korupsi (Rp1,302 triliun) disusul pengairan (Rp1,125 triliun) dan energi serta listrik (Rp875,3 triliun). Korupsi selanjutnya terjadi juga dalam sektor keuangan daerah (105 kasus) dengan kerugian negara sebesar Rp385,5 miliar.
"Modus yang sering dilakukan selama 2010 hingga 2015 adalah penggelapan dengan total kasus sebanyak 878 atau sekitar 28 persen. Kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp17,7 triliun," kata Wana Alamsyah.
Salah satu modus penggelapan yang nilai kerugian negara yang besar adalah Korupsi penggunaan jaringan 3G frekuensi radio 2,1 GHz sebesar Rp 1,3 triliun. Terpidana korupsi jaringan 3G adalah Indar Atmanto selaku Direktur Utama IM2 (salah satu BUMN), Indar pun divonis delapan tahun penjara berdasarkan putusan kasasi pada 2014 lalu.
"Kasus dengan tren penggelapan cenderung naik begitu juga dengan penyalahgunaan anggaran juga cenderung naik, yang menarik adalah naiknya kasus korupsi dengan penyalahgunaan kewenangan. Modus ini mengalami kenaikan jauh lebih tajam dibanding dengan modus korupsi lainnya," tambah Wana.
KPK sendiri memang beberapa kali menangani korupsi di bidang pendidikan contohnya kasus suap pembahasan anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang melibatkan mantan anggota DPR Angelina Sondakh dan sejumlah kasus korupsi pengadaan peralatan di Universitas Udayana , Bali hingga Universitas Indonesia, Jakarta. Di sektor kesehatan KPK juga menangani kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan buffer stock untuk kejadian luar biasa 2005 yang menjerat mantan menteri kesehatan Siti Fadilah Supari hingga sejumlah pengadaan penanganan virus flu burung dan peralatan kesehatan yang ada di berbagai universitas. KPK selanjutnya juga sudah berkali-kali menangani kasus di bidang sumberkdaya alam misalnya kasus korupsi penerimaan uang oleh mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini dari sejumlah perusahaan migas hingga korupsi dana operasional menteri (DOM) oleh mantan menteri ESDM Jero Wacik.
Di bidang energi ini, KPK pun sudah menggalakkan penegakkan implementasi aturan melalui koordinasi supervisi (Korsup) Pengelolaan Mineral dan Batu Bara yang sudah berlangsung sejak 2011 dan dilanjutkan korsup Energi 2016 bekerja sama dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan 32 orang gubernur seluruh Indonesia.
"Sejak korsup dilakukan pada 2011 ada pemasukan keuangan negara sampai Rp10 triliun dan mengidentifikasi kewajiban pengusaha tambang nilainya Rp23 triliun dan akan diselesaikan penagihannya, tapi kita dukung lagi agar struktur industri minerba lebih sehat," kata Sudirman Said pada 15 Februari 2016.
KPK masih akan mengusut 3.966 izin usah pertambangan (IUP) yang belum memenuhi status "clean and clear".
Artinya memang dibutuhkan terobosan untuk memutus rantai korupsi yang terjadi di kementerian/lembaga khususnya sektor pendidikan, transportasi, ESDM, kesehatan dan juga BUMN yang memang mendapat jatah APBN besar dari negara.
Namun apakah pembentukkan satgas di kementerian/lembaga serta BUMN oleh pimpinan jilid IV ini memperkuat kinerja KPK atau malah memperlemah karena mengurangi sumber daya penindakan KPK yang memang sudah sedikit? Masyarakat pun masih harus menunggu jawabannya.