Pangkalpinang (ANTARA) - House of Lay atau lebih dikenal dengan sebutan Latarase merupakan satu dari sekian wisata sejarah yang menjadi saksi pusat pembangunan ekonomi Kota Pangkalpinang pada masa peralihan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) ke Pemerintah Belanda, masih berdiri kokoh serta dijaga nilai-nilai sejarahnya oleh generasi penerusnya sampai detik ini.
Meskipun terlihat sederhana, rumah yang terletak di pusat Kota Pangkalpinang itu tampak mencolok di antara gedung-gedung tinggi hotel dan perkantoran di sekitarnya. Arsitektur tempo dulu dan perpaduan kebudayaan China membuatnya tak bisa terlewatkan oleh pandangan mata.
Rumah di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 65 itu diambil dari nama atau marga keluarga Lay. Rumah tersebut dibangun oleh generasi pertama keluarga Lay, yakni Lay Fong Joe.
Ia datang ke Bangka sekitar 1830-an dan diduga memiliki bisnis dagang pada masa itu. Kemudian, Lay Fong Joe mewariskan rumah itu pada generasi selanjutnya yakni Lay Nam Sen. Lay Nam Sen membawa masa jaya dengan mempermegah rumah itu. Pada masanya keluarga Lay memiliki pengaruh dan kekuasaan besar di Kota Pangkalpinang. Area kediaman yang letaknya strategis, bahkan memiliki pelabuhan bongkar muat barang di sungai belakang menjadi salah satu buktinya.
Hongky Lie generasi ke-lima keluarga Lay mengataka,n letak rumah dikatakan strategis karena pada masa itu pusat pembangunan ekonomi Kota Pangkalpinang yaitu berada di dekat sungai dan pasar. Karena lumayan jauh dari pemerintahan atau rumah Wali Kota, dibangunlah rumah ini sehingga orang kedua dan ketiganya tinggal di sini. Selain diminta memfasilitasi perekonomian pada saat itu Lay Nam Sen juga diangkat menjadi salah satu ketua orang Tionghoa.
"Rumah saudagar, saat itu kebutuhan yang masih belum ada atau susah dicari orang Bangka ada di sini, rumah ini juga pusat obat-obatan," katanya.
Selain dikenal sebagai tokoh China yang merupakan seorang saudagar, keluarganya termasuk salah satu keluarga pertama yang bermukim di Pulau Bangka dan sempat menjadi opsir Tionghoa berpangkat Kapitan untuk wilayah Koba pada tahun 1892 hingga tahun 1894.
Generasi keluarga Lay selanjutnya yakni Lay Djit Siong. Ia sukses sebagai pemilik bioskop Surya melanjutkan bisnis keluarga dan ikut terlibat dalam pembangunan kota pada masa Pemerintah Hindia Belanda.
Hongky Lie beserta saudara-saudaranya merupakan generasi ke-lima dari keluarga Lay yang terus menjaga nilai-nilai dari rumah itu hingga saat ini di tengah gempuran modernisasi. Di Rumah Lay wisatawan dapat merasakan suasana tempo dulu yang sudah mulai sulit ditemukan. Pengunjung seperti diajak kembali ke masa lalu lewat arsitektur rumah, perabotan, ornamen, foto-foto keluarga Lay Nam Sen hingga altar persembahyangan yang sangat mendukung suasana untuk bernostalgia.
Sementara itu, menurut budayawan Bangka Belitung Akhmad Elvian, kedatangan orang Tionghoa ke Bangka di mulai pada tahun 1710 pada masa Sultan Muhammad Mansur Jayo ing Lago. Sultan menandatangani kontrak perdagangan timah dengan kongsi dagang Belanda VOC yang mewajibkannya setiap tahun harus menjual timah seberat 30 ribu pikul.
Demi memenuhi kuota timah tersebut Sultan harus mencari tenaga-tenaga kerja penambang timah yang terampil. Kemudian, didatangkanlah orang-orang Tionghoa dari Semenanjung Malaka, Vietnam, Laos, Kamboja, Pattani, Johor, dan Siantan.
Kebijakan mendatangkan orang-orang Tionghoa tersebut secara resmi dilakukan oleh Sultan Mahmud Badarudin I Jayo Wikramo tahun 1724-1757. Ia mendatangkan orang-orang Tionghoa atau China untuk dipekerjakan di parit-parit penambangan timah di Bangka.
Kebijakan mendatangkan orang Tionghoa kemudian terus berlanjut sampai penjajahan Inggris. Namun, Inggris mendatangkan orang Tionghoa langsung dari daratan China, yakni langsung dari Kanton, sementara Belanda sejak tahun 1816 mendatangkan orang-orang Tionghoa dari Provinsi Guangxi, China Selatan.
Umumnya ada dua suku besar yakni Khek atau Hakka dan Hokmian atau di Bangka biasa disebut Hoklo.
"Karena umumnya pekerja tambang yang datang yakni laki-laki, mereka menikah dengan perempuan pribumi di Bangka dan lahirlah peranakan-peranakan Bangka. Proses asimilasi dan akulturasi antara pribumi Bangka, orang Tionghoa dan melayu itulah yang membentuk orang Bangka sekarang," katanya.
Keberadaan UMKM
Generasi Lay terus berupaya melestarikan rumah peninggalan keluarga dengan melakukan upaya pemanfaatan tanpa merubah nilai rumah itu. Jika ditelusuri rumah Lay kini memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya pengunjung betah untuk menghabiskan waktu di rumah itu.
Kehadiran kafe yang diberi nama Latarase memiliki makna yang cukup sederhana namun mengena di hati orang Bangka yakni berarti "sudah terasa". Kawasan kafe seolah menjadi magnet tersendiri bagi para pengunjung.
Menu yang disediakan terdiri dari menu-menu khas Bangka dan makanan khas Keluarga Lay di antaranya es rujak peranakan, roti peranakan, kopi khas Latarase, nasi goreng nanas hingga lempah kuning.
Meskipun tempat nongkrong terkenal di Kota Pangkalpinang sudah menjamur, keunikan dengan perpaduan sejarah dan kuliner di rumah itu tak bisa dipungkiri dan memiliki tempat tersendiri di hati para pengunjung. Latarase kerap menjadi pilihan pejabat daerah hingga tokoh pemerintahan Indonesia untuk menghabiskan waktu bercengkrama sambil menikmati kopi hitam khas Latarase yang menjadi menu favorit.
Plt Kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Kepemudaan Olahraga Pemprov Bangka Belitung, Herwanita, sangat mengapresiasi kepedulian Hongki Lie sebagai generasi penerus rumah Lay yang tetap berusaha melestarikan sejarah peninggalan keluarganya.
Generasi kelima keluarga Lay tak menghilangkan nilai sejarah di antara pemanfaatan yang beriringan dengan pengembangan, karena pada dasarnya rumah bernilai sejarah itu tak pernah takut ditempa oleh perkembangan zaman. Nilai yang membedakannya dari tempat-tempat lain.
Selain kuliner, pengunjung dapat melihat hasil kerajinan batik yang dikembangkan oleh istri Hongky Lie yaitu Endang Sri Hastuti.
Hongky Lie mengatakan batik yang diproduksi itu diberi nama Batik Kampung Katak. Batik ini terinspirasi dari lukisan foto keluarga Lay yang dikombinasikan dengan ornamen yang ada di rumah itu, serta flora dan fauna yang ada di Pulau Bangka. Bahkan, Batik Kampung Katak sudah melanglang buana hingga Paris Fashion Week.
Selain itu, dengan arsitektur khasnya Rumah Lay juga menjadi pilihan pasangan sebagai spot prewedding dengan nuansa tradisional yang khas.
Konsep melestarikan bangunan rumah yang di usung oleh generasi keluarga Lay telah memberikan nilai tambah tersendiri. Keberadaan nilai sejarah yang beriringan dengan kegiatan UMKM telah menjadi daya tarik yang tidak bisa dibeli oleh perkembangan zaman.
Jadi, biarkan rumah ini membiayai dirinya sendiri, kata Hongky Lie.