Jakarta (Antara Babel) - Kota Nogales menjadi terkenal berkat buku "Why Nations Fail" karangan Daron Acemoglu dan James Robinson (2012). Kota itu terbagi dua yaitu sebelah selatan masuk dalam wilayah provinsi Sonora, Meksiko sedangkan bagian utara merupakan negara bagian Arizona, Amerika Serikat.
Persoalannya, meski kondisi geografis dan etnis masyarakat dua wilayah itu relatif sama namun kedua bagian kota tersebut memiliki perbedaan mencolok yaitu wilayah bagian utara memiliki tingkat pendapatan dan angka harapan hidup lebih tinggi, tingkat kejahatan dan korupsi lebih rendah, kondisi kesehatan dan jalan yang lebih baik serta sistem politik yang lebih demokratis. Perbedaan itu terjadi karena adanya diferensiasi institusi politik dan ekonomi antara Amerika Serikat dan Meksiko.
Dua pengarang buku tersebut berargumen bahwa "institusi pemerintahan yang baik" yang terdiri atas aturan dan implementasi hukum yang dapat memotivasi masyarakat untuk bekerja keras sehingga lebih produktif dan akhirnya menyejahterakan diri mereka sendiri dan seluruh negeri.
Persoalannya, apakah konsep tersebut juga berlaku di Indonesia yang berpenduduk 11 ribu kali lipat dibanding kota Nogales yang hanya berpenduduk sekitar 20 ribu orang?
Demokrasi pembangunan
"Pembangunan demokrasi akan gagal oleh praktik korupsi saat ada persekongkolan elit politik dan konglomerat. Kondisi ini bisa menggagalkan pembangunan demokratisasi. Kita ada dalam kontestasi ini. Tapi yang menarik dalam pemerintahan Jokowi saat ini, Presiden Jokowi hadir dengan kesederhanaan, tidak ada konflik kepentingan, beliau tidak membawa gerbong politik. Beliau tidak ada 'handicap' untuk mewujudkan pemerintahan yang besih sehingga sekarang istana relatif 'clean' dari praktik korupsi. Ini pesan keras dan kuat untuk kabinet agar tidak main-main dalam korupsi," kata Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki di Jakarta, Selasa.
Teten menyampaikan hal tersebut dalam "Seminar Nasional Anti-Corruption and Democracy Outlook 2016: Bersama Melawan Korupsi" yang diselenggarakan oleh Transparency International Indonesia (TII).
"Program deregulasi dan debirokratisasi terus dilakukan sehingga pemerintah optimis bahwa Corruption Perception Index (CPI) Indonesia mencapai skor 50 pada 2019 bisa dicapai dan indeks kemudahan bisnis pada level 40. Target ini cukup ambisius dan sedang dikerjakan oleh kementerian ekonomi," tambah Teten.
Pada 2015, Indonesia meraih skor 36 (0 sangat korup dan 100 sangat bersih) dan menempati urutan 88 dari 168 negara yang diukur. Skor Indonesia ini naik 2 poin namun dalam peringkat naik signifikan yaitu 19 peringkat dari 2014.
"Hal fenomenal lain adalah dengan mengubah tata kelola BUMN menjadi 'holding company' agar bisa keluar dari perangkap sapi perah yang hampir membuat frustasi, sehingga tangan-tangan yang mau ikut campur di BUMN bisa dieliminasi," tambah Teten.
Selain itu upaya penerapan transaksi non-tunai dalam pengadaan barang dan jasa lembaga pemerintah juga akan segera diimplementasikan.
"Penerapan transaski non-tunai sudah disetujui presiden dan kalau terjadi, saya kira praktik korupsi 90 persen ditangani KPK terkait pengadaan barang dan jasa bisa diatasi. Akibat lanjutan, kehadiran infraksturktur publik yang baik akan menghadirkan pemerintahan yang bersih," tukas Teten.
Tapi Teten mengakui bahwa tantangan terbesar dalam upaya-upaya perbaikan birokrasi tersebut adalah untuk mempertahankan KPK dan reformasi sistem penegakan hukum.
"Kita tahu ada peluang dari berbagai sudut untuk melemahkan KPK, mulai dari penyusunan undang-undang KPK, pengangkatan komisioner, pengangkatan penyidik dan lainnya. Terlalu banyak peluang melemahkan KPK. Beruntung KPK selaku dilindung Allah SWT dan masyarakt sipil tapi tetap banyak pihak yang menikmati korupsi akan melakukan perlawanan," tambah Teten.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengakui bahwa sistem demokrasi Indonesia masih prosedural dan belum masuk ke demokrasi substantif sehingga belum dapat menghadirkan CPI yang baik seperti negara-negara Skandinavia yaitu Denmark dan Norwegia yang kerap menduduki peringkat atas CPI.
"Denmark dan Norwegia yang demokrasinya sudah bagus, nilai antikorupsinya juga tinggi. Mungkin dari segi prosedur kita sudah lumayan bagus, tapi dari sisi substansi kita masih rendah, jadi jangan heran CPI kiat rendah dan lebih penting lagi perlu. Kualitas tata kelola undang-undang kita sangat jelek," kata Laode dalam acara yang sama.
Ia mencontohkan di kota Sorong, Papua Barat. Ia mendapati hanya wali kota dan Ketua DPRD yang merupakan istri dari Wali kota yang dapat mengkakses APBD kota tersebut, sedangkan perangkat pemerintah lain tidak punya akses.
"This is the quality of our democracy, kalau mau memberantas demokrasi, cerita seperti itu seharusnya tidak terjadi. Di Madura juga seperti itu, bupati yang terkena narkoba juga anak mantan bupati sehingga korupsi dan demokrasi betul-betul sangat nyata adanya karena itu di KPK sangat penting untuk membicarakan soal ini.
Namun KPK sebagai lembaga tidak mungkin menyelesaikan semua itu sendiri, jumlah penyelidik dan penyidik kurang dari 200 orang. Setiap tahun ada 60-80 kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan.
Kalau 365 hari dibagi 80 kasus maka setiap lima hari ada kasus korupsi baru KPK yang dibawa ke pengadilan. Apakah ini sudah mencapai seluruh Indonesia? Tentu tidak karena laporan dari masyarakat ada 7.000-8.000 laporan. Kami harap polisi dan kejaksaan juga lebih berperan dalam pemberantasan korupsi," jelas Laode.
Sehingga Laode menegaskan perlunya penguatan kelembagaan demokrasi yang bukan hanya prosedural di DPR, DPD dan kepala daerah tapi juga perbaikan partai politik.
"Satu hulu adalah partai politik, pencalonan sesorang di pilkada cenderung kepada figur karena muaranya uang, dan memicu korupsi politik, korupsi sumber daya alam dan tambang yang berkelindan dengan korupsi politik. Pendanaan partai harus diperkuat, bukan untuk oligarki partai tapi untuk memperkuat eksistensi publik," ungkap Laode.
"Zero Tolerance"
Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini dan ASEAN Casper Klynge menyatakan bahwa salah satu resep Denmark mencapai peringkat pertama CPI dua tahun berturut-turut adalah prisip "zero tolerance" terhadap korupsi.
"Salah satu jawaban perjalanan melawan korusi dari pemerintah, media dan masyarakat sipil menerapkan "zero tolerance to corruption". Indonesia harus bisa mencari model terbaik. Bagaimana masyarakat biasa menyatakan tidak terima korupsi itu harus kuat dan menjadi fundamental untuk melawan korusi," kata Casper.
Casper juga mengatakan bahwa meski Denmark tidak punya lagi lembaga seperti KPK, namun semua fungsi KPK hadir dalam lembaga pemerintahan di Denmark.
"Kami sudah lama tidak punya KPK lagi, tapi ada fungsi seperti KPK di setiap institusi. Setiap pegawai dan diplomat bahkan harus mengikuti pelajaran antikorupsi sebelum ditugaskan, kami punya 'hotline' untuk pelaporan korupsi dan laporan tahunan untuk tingkat korupsi. Bila ada sektor swasta yang merasa dipersulit oleh lembaga pemerintah maka mereka dapat membuat laporan langsung," ungkap Casper.
Casper menegaskan bahwa melawan korupsi adalah kunci untuk mendorong pembangunan ekonomi karena memberikan rasa kepercayaan kepada para pebisnis.
Sedangkan Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko juga mengakui bahwa ada korelasi antara demokrasi dan korupsi.
"Negara yang demokrasinya buruk maka tata pemerintahnya juga buruk, negara yang gagal mengurusi korupsi maka demokrasinya bisa mengalami kemunduran. Upaya membangun demokrasi, harus menjadi satu gerakan yang sinergis. Korupsi juga menjadi masalah HAM karena korupsi melanggar hak dasar manusia yaitu hak ekonomi, sosial budaya, ada kerugian sosial dari korupsi," kata Dadang.
Ide pelemahan KPK melalui revisi UU KPK juga dinilai Dadang menunjukkan masalah demokrasi Indonesia.
"Revisi UU KPK yang lahir dan muncul di DPR artinya demokrasi kita bermasalah. Ide pelemahan KPK lebih banyak diusung para politisi dan hasil survei 'global corruption barometer', partai politik adalah lembaga yang paling korup dan sangat bisa dimengerti mengapa revisi UU bertujuan untuk melemahkan sehingga reformasi parpol sangat mendeksak," ungkap Dadang.
Akhirnya, masalah korupsi di negara yang tadinya dinilai kaya dan punya populasi besar, menurut Acemoglu dan Robinson, seperti di Peru, Indonesia dan India terjadi karena penjajahan Eropa di negara-negara tersebut menyuntikkan praktik korupsi dalam institusi ekonomi seperti pemaksaan terhadap tenaga kerja dan pengambialihan lahan beserta kekayaan alamnya.
Namun meski praktik tersebut terjadi, bukan tidak mungkin rantai tersebut diputus dengan cara penerapan "zero tolerance" kehidupan institusi-institusi pemerintahan dibantu dengan penegakan hukum oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian.