Jakarta (ANTARA) - Beragam hidangan manis dijadikan menu buka puasa saat Ramadhan di antaranya es buah, es permen karet, es puding, hingga kolak.
Sebagian besar hidangan pembuka tersebut kaya akan gula. Selain mengandung gula atau sirup, tak jarang juga ditambahkan kental manis sebagai pelengkap.
Tingginya kandungan gula pada hidangan buka puasa dalam jangka panjang akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Terutama dampak jangka panjang mengonsumsi kental manis.
Mungkin, masih ingat beberapa bulan lalu saat masyarakat dihebohkan dengan bayi 16 bulan asal Bekasi yang mengalami obesitas dengan berat mencapai 27 kilogram.
Menurut sang ibu, Fitri, Kenzi telah mengonsumsi kental manis sejak usia 12 bulan. Alasannya karena penghasilan sang suami yang bekerja sebagai kuli serabutan hanya cukup untuk membeli "susu" jenis kental manis.
“Dalam sehari bisa minum enam botol susu,” kata Fitri yang menyebut saat ini Kenzi dalam pengawasan tim dokter RS Cipto Mangunkusumo.
Dengan harga yang murah dan juga mudah ditemukan, kental manis menjadi pilihan yang diberikan pada buah hatinya, terutama pada keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.
Contohnya, seorang ibu asal Cijantur, Bogor, Jawa Barat, Imah, yang mengaku memberikan kental manis bagi anaknya yang berusia 3 tahun. Imah mengaku membeli susu untuk persediaan minum anaknya sebelum tidur. Setiap hari Imah menambahkan satu hingga dua renceng (sachet) kental manis warna putih/krem ke dalam belanja hariannya. Kental manis menjadi pilihan karena harganya yang murah dibandingkan susu bubuk.
“Suami saya kerjanya hanya buruh tani, jadi bisanya cuma beli kental manis,” kata Imah.
Dokter spesialis anak RS Permata Depok, dr. Agnes Tri Harjaningrum, Sp.A, mengatakan kental manis bukanlah pengganti susu harian. Anak berusia di bawah 5 tahun tidak boleh meminum susu kental manis.
“Kental manis merupakan makanan tambahan bukan susu. Untuk anak usia di bawah 6 bulan tetap yang utama adalah ASI,” kata Agnes.
Terkait, kasus yang menimpa Kenzi beberapa waktu lalu, meski disinyalir Kenzi juga memiliki kelainan genetik yang memicu obesitas, pemberian kental manis pada bayi jelas tidak dibenarkan. Apalagi dengan takaran dan frekuensi yang cukup tinggi.
Pemberian kental manis yang berakibat fatal pernah terjadi. Pada 2018, seorang anak berusia 1 tahun bernama Vania, yang mengonsumsi susu kental manis sejak berumur dua bulan. Menurut pengakuan ibu kandung Vania, Lipa, anaknya diberi susu kental manis karena ASI sudah mulai berkurang.
Lipa juga sempat menceritakan pada awal konsumsi kental manis, anaknya terlihat sehat dan gemuk. Namun lama kelamaan, kulit Vania mulai melepuh dan tidak bisa bergerak. Sejak itulah lama kelamaan berat badan Vania mulai berkurang hingga akhirnya didiagnosis mengidap gizi buruk.
Pada saat itu, kasus tersebut terbilang baru di dunia kesehatan, dan akhirnya menjadi perhatian khusus. Bermula dari ketidaktahuan orang tua bahwa kental manis tidak boleh diberikan kepada anak, apalagi bayi di bawah usia 1 tahun.
Kasus serupa juga kembali terulang, seorang anak berusia 10 tahun asal Konawe, Sulawesi Tenggara, Arisandi, meninggal akibat gizi buruk karena diduga mengonsumsi kental manis secara berlebihan.
Arisandi mengonsumsi susu kental manis sejak berusia 4 bulan. Setelah beberapa bulan, ia mengalami gejala luka-luka pada kulit dan alergi akibat kekurangan nutrisi. Meski sudah mendapat pertolongan medis, nyawanya tetap tidak tertolong.
Pada 2023, kader posyandu di Desa Banjang, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, memberikan kental manis pada paket makanan tambahan untuk anak stunting.
Kasus tersebut membuktikan buruknya komunikasi lintas sektor. Padahal posyandu merupakan garda terdepan pemantauan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Obesitas di usia dini yang dialami Kenzie merupakan salah satu bukti lemahnya fungsi posyandu di masyarakat. Deteksi dini terhadap tumbuh kembang anak serta monitoring pengasuhan anak oleh orang tua menjadi tidak optimal.
Bukan susu
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR, Irma Suryani Chaniago, mengingatkan mengenai aturan penamaan kental manis yang tidak menggunakan kata susu. Kental manis adalah produk yang digunakan untuk makanan tambahan.
"Kami sudah sepakat pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) bahwa yang namanya kental manis itu bukan susu,” tegas Irma.
Pernyataan Irma tersebut menanggapi pernyataan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rita Endang yang masih menyebut kental manis sebagai susu.
Hal itu memicu kesalahpahaman pada masyarakat, terutama pada ibu-ibu yang minim akses informasi dan edukasi.
Pelaksana Tugas Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan, dr. Lovely Daisy, MKM, mengatakan bahwa penyebutan kental manis di masyarakat yang harus segera diperbaiki.
Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan kasus-kasus kesalahan konsumsi kental manis tersebut dapat diatasi dengan mudah apabila posyandu berperan aktif di masyarakat. Dalam kasus Kenzie, misalnya, posyandu seharusnya segera melapor ke puskesmas saat mendeteksi peningkatan berat badan yang tidak wajar.
“Posyandu seharusnya berkoordinasi dengan puskesmas. Ini harus dibantu oleh Kemenkes. Jadi apabila ditemukan anak-anak dengan gejala-gejala gizi buruk, obesitas, bisa segera di atasi. Tolong Kemenkes dibenarkan lagi koordinasinya,” kata Siti Fadilah.
Aturan pelabelan, iklan, dan promosi kental manis yang melarang penyebutan susu atau visualisasi kental manis sebagai minuman susu hendaknya jangan hanya sebatas regulasi.
Selain itu, perlu upaya bersama untuk mengubah pola pikir masyarakat bahwa kental manis bukanlah susu melainkan makanan tambahan karena sejatinya kental manis memiliki kandungan gula lebih dari 50 persen.
Jangan sampai iklan masif produsen kental manis di negeri ini membuat banyak keluarga tersesat dengan menganggap produk tersebut sebagai susu.