Jakarta (ANTARA) -
Nizar dan awak maskapai kargo pada petang itu sedang menunggu keberangkatan.
Pria asal Jakarta tersebut mengaku tidak menyangka bahwa mereka saat itu sedang berada di tengah perang militer. Awalnya mereka berpikir itu hanya aksi demonstrasi sipil saja.
Nizar dan kru saat itu baru saja tiba di Khartoum dari Jakarta untuk membawa pesawat kargo perusahaan maskapai tempat mereka bekerja, dan tiba sekitar pukul 04.30 pagi waktu Sudan. Mereka menginap di Coral Hotel.
Namun, hari itu Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sudan menginformasikan bahwa warga negara Indonesia harus mencari tempat perlindungan diri yang aman sesegera mungkin karena perang militer tengah berkecamuk di salah satu negara Islam di Afrika Tengah itu.
Nizar yang menginap bersama empat kru pesawat kargo maskapai ACA lainnya, sore itu masih berada di lantai 7 hotel. Rentetan tembakan seketika membuat mereka kaget.
Dua hingga tiga hari mereka tidak bisa tidur karena desing peluru hingga letupan bom terus menderu, bahkan seperti mendekat. Peperangan hanya terdengar mereda kala azan berkumandang.
Nizar dan teman-temannya mengira, mungkin pihak yang berkonflik di Sudan juga tengah berpuasa. Karena umat Islam saat itu memasuki ibadah puasa Ramadhan 1444 Hijriah. Jadi, waktu azan subuh dan azan maghrib tidak ada suara tembakan.
Akan tetapi, selepas menunaikan shalat, tembak-menembak dimulai lagi. Baku tembak dua kubu berseteru di Sudan itu terus berlangsung, seolah tanpa ada habisnya.
Nizar dan kru sebenarnya ingin tenang dan rileks sejenak, tapi tidak bisa.
Berbagai cara dicoba supaya bisa tenang dan fokus. Nizar banyak menelepon teman-temannya di Indonesia untuk sekadar bercanda dan menenangkan diri. Akan tetapi, itu tidak membantu menghibur hatinya karena suasana di sekitar tempat menginap memang tidak aman.
"Mau bercanda juga tidak maksimal. Tertawa, tapi tertawa juga kelihatannya agak getir. Nggak bisa tertawa lepas," kata Nizar ketika ditemui di kawasan Ancol, Jakarta awal Mei 2023.
Mereka ingin menyelamatkan diri, tapi nyatanya itu tidak mungkin karena terlalu berbahaya. Nizar tahu, mereka mesti menyelamatkan diri secara mandiri cepat atau lambat, agar bisa bertahan dari serangkaian tembak-menembak tiba-tiba itu.
Tanggal 24 April 2023, suara kaca hotel yang pecah akibat terkena peluru nyasar sudah tak terhitung jumlahnya. Bahkan tembakan itu terlihat dari lantai 7 hotel tempat mereka menginap. Nizar hanya bisa mengira-ngira, mungkin tinggi luncuran peluru sampai ke lantai 9 Coral Hotel.
Mungkin ada tujuh sampai delapan kaca hotel sekitar lantai 7 yang pecah pada bagian depan, samping ada tiga kaca pecah, di tapak bangunan sebelah kiri juga ada bekas tembak-tembakan dan kaca pecah.
Di belakang pun juga seperti itu, di gedung yang di belakang hotel, ada beberapa tembakan langsung membuat kaca pecah, dan di lantai dasarnya pun juga sempat masuk peluru.
Kabar yang beredar di antara para tamu hotel yang bertahan saat itu, kisah Nizar, sekitar hotel pun banyak mayat tentara bergelimpangan, namun sudah disingkirkan. Selain lima kru Asia Cargo Airlines yang semuanya WNI, seingat Nizar, ada delapan orang lagi yang bertahan di Coral Hotel kala itu. Mereka warga negara Belarusia.
Nizar dan kru bersepakat untuk mengevakuasi diri hari itu, sementara delapan tamu hotel lainnya memilih bertahan lebih lama di hotel.
Suasana mencekam di luar hotel tak menyurutkan niat mereka. Sepanjang perjalanan yang mereka lintasi itu tampak mobil-mobil yang ada senapan di belakangnya, sudah ditinggal pengemudinya. Saat melewati pintu hotel, terlihat ada tentara muda yang berlarian.
"Pemandangan meresahkan ini yang kami lihat di jalan. Terus juga ada tank-tank dan kendaraan taktis untuk blokade jalan," kata Nizar, 53 tahun.
Naik taksi
Sampai akhirnya seorang sopir taksi, warga negara asli Sudan, menyapa mereka. Sopir taksi itu menawarkan diri untuk membawa para WNI yang terperangkap di Coral Hotel ke tempat yang aman dengan ongkos sebesar 100 dolar AS per orang.
Lalau sopir taksi itu membawa mereka ke terminal bus terdekat di Kota Omdurman, sekitar 30-45 menit waktu tempuhnya dari Khartoum. Ongkos taksi mencapai 500 dolar AS (setara Rp7,5 juta) untuk lima orang tergolong mahal karena kalau situasi normal, ongkos biasanya 1.000 sampai 10.000 pound Sudan (setara Rp25.000 - Rp250.000).
"Dia (sopir taksi) enggak mau menerima harga di bawah 100 dolar AS per orang. Karena (digetok) begitu, kami bilang ya sudahlah, kami cuma ingin segera keluar dari hotel ke tempat yang aman saja," kata Nizar.
Niatnya setelah mencapai terminal bus di Omdurman, mereka akan melanjutkan perjalanan dengan menumpang bus sampai ke Port Sudan, di mana pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia menunggu di sana.
Nizar menceritakan kabin taksi terasa sempit untuk ditumpangi lima WNI ini. Kondisi kendaraan juga penyok di berbagai sisi.
Meski begitu, ongkosnya terasa "masuk akal" bagi Nizar dan kawan-kawan karena sopir taksi begitu terampil mengemudi mobilnya melewati berbagai hambatan yang ditemui selama perjalanan.
Mereka juga sempat bertemu tentara militer Sudan di perjalanan, tapi sopir taksi itu meyakinkan para tentara bersenjata lengkap itu dengan berbicara bahwa penumpangnya merupakan saudaranya sehingga semua aman.
Nizar merasa beruntung, sebab yang ditemuinya hanya tentara Sudan. Dia merasa lebih khawatir bila bertemu tentara paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) karena bisa-bisa mereka ikut dijadikan tawanan.
Akan tetapi mobil yang ditumpangi mereka tidak sampai bertemu muka dengan paramiliter RSF karena menurut Nizar, sopir taksi yang begitu cekatan.
Apabila mobil akan melewati rute yang tampak dilewati tentara RSF di kejauhan, sopir taksi langsung memundurkan mobil dan berputar balik, lalu melewati jalan-jalan kecil sambil memberi tahu mereka bahwa di depan ada bahaya mengintai.
Sopir taksi itu juga tampak seperti mengetahui posisi para penembak jarak jauh (sniper) tentara Sudan. Kalau mobil sedang melewati beberapa gedung, sopir taksi itu meminta Nizar dan teman-temannya untuk bersikap biasa-biasa saja, tidak boleh ada sikap mencurigakan.
"Alhamdulillah instruksi dari sopir membawa kami akhirnya sampai (tiba) dan bisa masuk ke stasiun bus pertama. Akan tetapi di sana ternyata kami tidak dapat menemukan bus yang ke Port Sudan," kata Nizar.
Mereka mulai panik karena kebingungan, namun sopir taksi itu mempersilakan penumpangnya naik lagi ke dalam mobil sambil menunggu bus selanjutnya di terminal bus di Omdurman.
Tanggal 27 April, ada bus yang mengarah ke Kota Madani tiba di terminal di Omdurman. Meski Kota Madani mengarah ke Selatan, sedangkan Port Sudan mengarah ke Utara, Nizar dan kawan-kawan memilih tetap menaiki bus tersebut.
Dijemput KBRI
Nizar berpikir bahwa Kota Madani saat itu aman karena jaraknya 183 kilometer dari Khartoum, pusat konflik di Sudan.
Perjalanan dari Omdurman ke Kota Madani juga tidak melewati Khartoum. Selanjutnya dari Kota Madani, mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan naik bus lagi ke Port Sudan.
"Ternyata prediksi kami benar, di Kota Madani cukup aman. Hanya, di sana kami bertemu preman," kata Nizar.
Barang-barang mereka yang diambil oleh penduduk setempat, menurut Nizar, tidak masalah selama nyawa mereka tetap selamat. Mereka beruntung, pihak KBRI menjemput di Kota Madani. Mereka pun dibawa berangkat ke Port Sudan dan tiba pada tanggal 29 April, lalu bertolak ke Jeddah menggunakan pesawat militer.
Nizar kini sudah bisa tenang dan damai. Perasaan berkecamuk di dalam hati karena takut ditawan sudah hilang.
Oleh CEO Asia Cargo Airlines, Zack Isaak, mereka disambut antusias. Pemulihan trauma pun ditanggung oleh perusahaan. Menurut Nizar, kadang sesekali mereka masih bermimpi bahwa raganya serasa sedang berada di tengah peperangan Sudan yang menegangkan.