Jakarta (Antara Babel) - Komite Nasional Keselamatan Transportasi menemukan ada perbedaan jalur frekuensi radio komunikasi yang berperan dalam tabrakan di darat antara Boeing B-737-800NG Batik Air dengan ATR-42 TransNusa, di Bandara Halim Perdanakusuma, Senin lalu (4/4).
Ketua KNKT, Soerjanto Tjahjono, saat rapat kerja dengan Komisi V DPR, di Jakarta, Senin, mengatakan, komunikasi radio antara petugas ATC dengan pesawat terbang ada di frekuensi VHF (Very High Frequency) sementara petugas ATC dengan awak darat (ground handling alias support) di UHF (Ultra High Frequency).
"Kalau di tower (ATC) dia pakainya VHF ke ground handling enggak akan mengerti, begitu juga kalau ke pesawat pakainya UHF," katanya.
Menurut dia, ketidaksamaan jalur frekuensi itu berpotensi informasi yang disampaikan tidak bisa diterima baik oleh pesawat, dalam hal ini, pilot maupun petugas dukungan darat.
"Kalau frekuensinya sama, mungkin pesawat lebih aware ada pesawat TransNusa sedang belok, dia akan tanya juga ke ATC dan enggak langsung take off," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI/Airnav Indonesia), Bambang Tjahjono, mengatakan, berdasarkan temuan KNKT baru ditemukan di Bandara Halim Perdanakusuma.
"Ini yang mau dilihat oleh KNKT adalah kenapa; kebiasaan atau SOP-nya seperti apa," katanya.
Tjahjono menilai seharusnya seluruhnya satu frekuensi, yaitu di VHF, dan di bandara lain juga seperti itu.
Dia mengatakan, akan mengganti seluruh sistem menjadi satu frekuensi VHF seuai rekomendasi KNKT.
Direktur Navigasi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Novie Riyanto, mengatakan dalam UU Nomor1/2009 Tentang Penerbangan seharusnya seluruhnya menggunakan satu frekuensi, yaitu VHF.
"Aturan dari kita harus sama frekuensi, di Bandata Soekarno-Hatta juga seperti itu," katanya.
Saat ini, lanjut dia, masih dalam tahap investigasi prosedurnya seperti apa dan dijalankan atau tidak.