Pangkalpinang (ANTARA) - "1 Oktober 1965" mengenang sejarah betapa hebatnya para "Pahlawan Bangsa" melawan pergerakan G30SPKI. Mempertahankan Ideologi Pancasila menjadi harga mati pada masa itu!
Peristiwa bersejarah di atas mengidentikkan bahwa sejarah kaya dengan "nilai historis". Nilai historis terjalin serat makna yang menjadi simbol "Perjuangan Bangsa".
Seperti ungkapan Presiden dan Proklamator RI, Ir. Seokarno dikutip dari Suryadi (2020) “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri.
Mengapa kebesaran bangsa diindentikkan dengan sejarah?. Sejarah menyimpan banyak peristiwa masa lampau dan sangat menentukan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada masa sekarang.
Para generasi muda dapat melanjutkan nilai-nilai historis ini dalam kehidupan sekarang agar bangsa ini tetap menjadi "Bangsa Besar".
Para pahlawan bangsa dapat dijadikan tokoh inspirasi untuk menjalani kehidupan para generasi muda. Namun, para generasi muda khususnya pelajar di sekolah lebih banyak mengidolakan artis-artis bahkan cenderung mengidolakan arti luar negeri.
Bukan hal baru jika kita menemui para pelajar yang tidak tahu lagi tentang cerita sejarah dan hanya "sekedar" memaknai hari bersejarah karena tuntutan aturan di sekolah.
Sungguh miris melihat fenomena-fenomena pelajar sekarang. Lantas "Bagaimana cara kita memperbaiki fenomena yang terjadi pada pelajar ini? Sebuah pertanyaan retoris yang tak perlu jawaban tapi perlu " aksi perubahan".
Para pelajar adalah “penentu” masa depan bangsa, Bung Karno juga pernah menyampaikan dalam pidatonya "Beri aku sepuluh pemuda akan ku goncangkan dunia ini". Begitu “urgent” keberadaan para generasi muda jika dilihat dari isi pidato Bung Karno dalam melestarikan sejarah bangsa.
Sejarah bangsa dapat dilestarikan salah satunya lewat pembelajaran di sekolah.
Sebuah "aksi perubahan" dapat dimulai dari sekolah untuk memulai kembali mempelajari sejarah. Materi tentang teks sejarah ini terdapat pada kelas XII yakni, mengenai struktur dan isi teks cerita sejarah. Para pendidik dapat memodifikasi pembelajaran mengenai struktur dan isi teks sejarah dengan "pembelajaran difrensiasi". "Difrensiasi" menjadi salah satu ikon pada kurikulum merdeka.
Mulyati juga menuliskan dalam bukunya Dalam Renungan (2022) “Pembelajaran difrensiasi adalah pembelajaran yang berpihak pada siswa, assessment pembelajaran bisa memetakan sesuai minat siswa sehingga guru bisa memberikan strategi yang tepat dalam menyampaikan materi ajar yang sesuai minat dan bakatnya, berkolaborasi dengan banyak pihak serta menerapkan projek”.
Tiga jenis difrensiasi yang bisa dilakukan dalam pembelajaran yakni, "difrensiasi proses, konten, dan produk". Difrensiasi proses dapat dimulai pada awal pembelajaran, pendidik melakukan diagnostik awal bisa berupa tes akademik ataupun non-akademik.
Dari tes diagnostik awal ini, akan diketahui jenis gaya belajar siswa (visual-audio-kinestetik) ataupun kemampuan awal siswa terhadap materi teks sejarah. Proses pembelajaran tentu akan dibedakan sesuai dengan gaya belajar masing-masing siswa.
Untuk difrensiasi konten, para pendidik dapat menyiapkan “media” penyampaian materi yang berbeda pada tiap siswa, misalnya siswa yang mempunyai gaya belajar visual dapat diberi media berupa buku teks sejarah dan e-book tentang teks cerita sejarah sedangkan anak yang mempunyai gaya belajar audio dapat diberi link film sejarah untuk didengar lalu mereka bisa saling berdiskusi tentang isi teks terakhir untuk siswa yang gaya kinestetik bisa membaca buku teks sejarah di pojok baca kelas atau diperpustakaan.
Setelah para peserta didik menafsirkan tentang teks cerita sejarah menurut gaya belajar masing-masing, mereka akan menuliskan melalui jurnal baca. Dari hasil jurnal baca ini, para siswa diminta membuat difrensiasi produk sesuai dengan bakat dan minatnya. Difrensiasi produk ini di desain untuk mengembangkan semua kemampuan para siswa sesuai dengan "passion" masing-masing. Passion ini yang akan membawa pembelajaran teks cerita sejarah menjadi lebih bermakna untuk di “ingat” para siswa.
Siswa dengan gaya belajar kinstetik dapat ditugaskan membuat film pendek tentang sejarah sesuai hasil tafsiran cerita sejarah yang telah ditulis di jurnal baca, siswa dengan gaya belajar visual dapat ditugaskan membuat kliping, menulis esai, dan cerpen cerita sejarah. Siswa yang mempunyai gaya belajar audio dapat membuat video review tentang teks cerita sejarah yang sudah ditulis di jurnal baca.
Dengan memberikan kemerdekaan "belajar" melalui pembelajaran difrensiasi yang berpihak pada siswa. Hal itu tentu bertujuan untuk terjadinya proses pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran menyenangkan ini dapat membuat para siswa memahami dan menafsirkan teks sejarah dengan baik.
*) Desi Wulandari adalah Guru Bahasa Indonesia MAN 1 Pangkalpinang
Berita Terkait
Hari Hak Asasi Manusia: Sejarah, definisi, dan contohnya
28 November 2024 19:13
Pemkot ajukan Pangkalpinang sebagai kota sejarah
20 November 2024 19:11
Lamine Yamal jadi pencetak gol termuda di El Clasico sepanjang sejarah
27 Oktober 2024 20:17
Sejarah dan format kompetisi AFC U-17 Asian Cup
23 Oktober 2024 09:36
Sejarah Piala Asia atau AFC Asian Cup
22 Oktober 2024 16:00
Lewat jalur karier, Budi Santoso mencatat sejarah baru di Kemendag
21 Oktober 2024 12:07
September 2024 jadi terpanas kedua dalam sejarah Eropa dan dunia
9 Oktober 2024 13:58
Museum NTB wakili Indonesia dalam pameran sejarah Islam di Arab saudi
7 Oktober 2024 16:11