Surabaya (ANTARA) -
Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah memerintahkan kepada PWNU Jatim untuk melacak jejak "markas" perjuangan para ulama dan santri terkait Pertempuran 10 November 1945 secara lebih riil dalam bentuk bangunan bersejarah sebagai jejak konkret.
Dari "arahan" Gus Dur, pelacakan jejak sejarah itu pun dimulai dengan penelusuran "jejak" di Blauran dan Wonokromo (Surabaya). Pelacakan dalam kurun 2019 akhirnya menemukan dua "markas" yang didukung bukti dan saksi.
Dua "markas" perjuangan ulama-santri yang dimaksud adalah "markas" di Blauran Gang IV nomer 25 Surabaya, yang akhirnya bergeser karena Arek-Arek Suroboyo "dipukul" mundur oleh Sekutu hingga berpindah ke "markas" Waru (perbatasan Surabaya-Sidoarjo) dan terakhir ke Mojokerto, sedangkan jejak di Wonokromo yang disebut justru nihil.
Namun, jejak bangunan yang masih ada sisa bentuknya tinggal ada di belakang Pabrik Paku, Desa Kedungrejo, Waru, Sidoarjo, sedangkan "markas" yang diceritakan berada di Blauran itu sudah berbentuk bangunan baru dengan model bukan seperti "markas" yang asli.
Jadi, tinggal "markas" ulama-santri yang persis berada di Waru, Sidoarjo, atau tepatnya di belakang pabrik paku di dekat stasiun kereta api Waru, yang masih menyisakan bekas "markas" yang diyakini menjadi sentrum koordinasi ulama dan dan pusat penggemblengan Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah.
Hal itu dikuatkan oleh saksi sejarah bernama Djunaidi yang bermukim di Wedoro Utara RW 1/RW 2 Nomer 41, Wedoro, Waru, Sidoarjo, yang berjarak tidak jauh atau hanya sekitar 1 kilometer dari "markas" ulama-santri di Waru itu.
Tahun 2000-an, Djunaidi mengaku sudah sering ngobrol dengan Dimyati, anak pemilik gedung itu. "Jadi, jauh sebelum ada tim NU yang mengurus atau melacak sejarahnya," kata warga NU yang mengaku sering berkunjung ke rumah itu untuk berbincang-bincang dengan Dimyati.
Dalam percakapan dengan penulis (24/10/2023), Djunaidi menjelaskan ayah Dimyati itu merupakan orang kaya yang berjualan alat untuk kelengkapan transportasi kuda dan jualan di depan rumah yang memang berada di dekat pasar itu.
"Ayahnya Dimyati itu kaya tapi dermawan, maka ketika beliau mendengar kalau Mbah Kyai Hasyim Asy'ari mencari tempat yang aman dan strategis untuk perlawanan terhadap Sekutu, maka beliau mengorbankan rumahnya itu," katanya.
Alhamdulillah, Mbah KH Hasyim Asy'ari "kerso" (berkenan), karena lokasinya memang strategis yakni berbatasan dengan Surabaya dan dekat dengan Stasiun KA Waru, sehingga para ulama dan santri tinggal turun kereta dan jalan beberapa ratus meter saja.
"Lokasinya juga samar karena ayah Dimyati berjualan di depan rumah dan banyak orang yang membeli alat untuk transportasi kuda di depan rumah yang juga dekat dengan pasar itu, sehingga dapat mengelabuhi pasukan Belanda yang membangun pos penjagaan di Waru," katanya.
Cagar Budaya
Tidak hanya itu, Djunaidi yang "mondok" di Pesantren Tebuireng itu sering melakukan kroscek ke santri senior bernama Sholeh Hasibuan untuk memadukan kebenaran cerita Dimyati dengan pihak Tebuireng.
"Saya padukan, kok cocok, ternyata Mbah Kyai Hasyim Asy'ari memang sering wira-wiri ke Waru untuk mengatur strategi perjuangan, bahkan Bung Tomo juga sowan Mbah Kyai Hasyim Asy'ari untuk menanyakan kapan mulai perang? Mbah Kyai Hasyim Asy'ari minta waktu," katanya.
Ternyata, Mbah Kyai Hasyim Asy'ari minta waktu itu untuk menunggu kedatangan Kyai Abbas Jamil Buntet/Cirebon dan Mbah Kyai Hamid Babakan untuk mengatur strategi di "markas" Waru itu, baru memulai perlawanan pada Sekutu. Selain itu, Soengkono selaku komandan pertempuran juga dilibatkan.
"Strateginya dikenal dengan Trisula, karena mbah Kyai Hasyim Asy'ari membagi tiga pusat pertahanan Kota Surabaya, yakni Kyai Abbas di barat untuk perlawanan udara, mbah Kyai Hasyim Asy'ari di tengah untuk perlawanan darat, dan Kyai Hamid Babakan di timur untuk perlawanan laut," katanya.
Sebelumnya, Kyai Abbas Buntet memberi asmak/hizib di sumur yang ada di "markas" Waru itu dan diuji dengan memukul pedang, ternyata tidak ada luka, sehingga laskar yang ikut perlawanan ke Surabaya pun memiliki motivasi yang kuat untuk berangkat.
"Perlawanan udara itu dilakukan Kyai Abbas dengan berdoa hingga batu dan alu pun terbang bergemuruh menghantam pasukan sekutu, sehingga dapat menghadang pesawat hercules yang menyerang Arek-Arek Suroboyo," katanya.
Sementara itu, perlawanan darat di depan Stasiun Gubeng dan Jalan Pemuda yang dikomandani KH Hasyim Asy'ari justru mampu menewaskan Jenderal AWS Mallaby (komandan AFNEI Brigade 49/Divisi India ke-23) dengan lemparan granat pada 29 Oktober 1945 (almarhum KH Achiyat Chalimy/Mojokerto menyebut lemparan granat dilakukan santri/tokoh Tebuireng yang melintas tanpa kelihatan).
Perlawanan Arek-Arek Suroboyo yang bersemangat itu juga dipicu Resolusi Jihad di Bubutan VI/2 (Kantor NU), Surabaya, 22 Oktober 1945. Sebelum Resolusi Jihad dan tewasnya Jenderal Mallaby itu, insiden awal yang memicu "Pertempuran Surabaya" adalah insiden Bendera di Hotel Yamato, tanggal 19 September 1945, tapi pencetus perang besar adalah penyebaran pamflet kepada Arek-arek Surabaya tertanggal 9 November 1945, agar esok pagi menyerahkan senjata.
"Jurnal Studi Sosial" Th. 5, No. 2, November 2013 (FIS Universitas Negeri Malang), mencatat tiga hari pertama pertempuran, musuh dapat merebut garis pertahanan pertama republik yang mencapai sepertiga kota Surabaya. Pasukan sekutu selaku musuh yang memperkirakan dapat menguasai kota Surabaya dalam waktu yang singkat, ternyata sulit. Markas pertahanan terakhir di kota Surabaya (daerah Gunungsari), berhasil diserang musuh pada 28 November 1945, sehingga daerah pertahanan pindah ke luar kota Surabaya.
Tewasnya Jenderal AWS Mallaby yang membuat pihak tentara Inggris bersama Gurkha dan NICA-Belanda mengamuk pun "memaksa" markas ulama yang semula di Blauran akhirnya mundur ke Waru, namun perlawanan ulama dan santri dalam bentuk pertempuran kecil terus terjadi hingga awal Desember 1945 dan akhirnya terjadi gencatan senjata pada 14 Oktober 1946, serta persetujuan Linggajati pada 25 Maret 1947. Padahal, Inggris (Sekutu) adalah pemenang Perang Dunia II.
"Jadi, markas perjuangan ulama di Waru yang disebut Dimyati sebagai Markas Besar Oelama atau MBO itu bukan hanya penting untuk ulama dan santri, tapi juga penting bagi negara, karena tanpa ada perlawanan dari kita akan membuat proklamasi kemerdekaan tidak diakui," katanya.
Oleh karena itu, Djunaidi mengusulkan MBO itu diakui sebagai cagar budaya yang bernilai heroik luar biasa, karena MBO itu menjadi pusat koordinasi para ulama untuk mengatur strategi perang dan pusat penggemblengan laskar dan santri yang bertempur ke Surabaya.
Usulan "tetangga markas Waru" Djunaidi itu memungkinkan, karena "markas Waru-Sidoarjo" dalam catatan Rijal Mummaziq merupakan tindaklajut dari Markas Besar Oelama Djawa Timur (MBODT) yang pertama di Jalan Blauran Gang IV/25, Surabaya (rumah Kyai Yasin) dan menjadi perhatian Gus Dur, sehingga dinapaktilasi PWNU Jawa Timur dengan dua langkah yakni langkah "penyelamatan" (2019) dan langkah "renovasi/revitalisasi" (2023).
Langkah "penyelamatan" itu ditandai dengan kembalinya "markas" itu ke NU atas jasa Ketua PCNU Surabaya Prof. Dr. KH Asep Saifuddin Chalim yang membelinya atas "amanah" Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi (melanjutkan amanah Gus Dur). Kemudian, Kyai Asep mewakafkannya kepada NU/PBNU, sehingga MBO menjadi salah satu cagar budaya untuk mengenang jasa para pahlawan dan mewariskannya kepada generasi muda penerus perjuangan bangsa Indonesia.
Setelah terselamatkan dan diresmikan PWNU Jatim pada 16 November 2019, maka langkah renovasi dan revitalisasi dilakukan PWNU Jatim dengan membentuk Tim Renovasi dan Revitalisasi MBO sejak 10 Oktober 2023 dengan melibatkan kader-kader NU profesional untuk merenovasi secara arsitek tanpa mengubah keasliannya, serta merevitalisasi sebagai wahana edukasi sejarah dan pewarisan nasionalisme.