Kupang (Antara Babel) - Konsulat Jenderal Republik Rakyat Tiongkok di Denpasar, Bali, Hu Yinquan berpendapat isu Laut Tiongkok Selatan dapat diselesaikan secara praktis dan efektif hanya melalui jalur musyawarah dan perundingan di antara para pihak yang bersengketa.
"Pertemuan khusus antara Menteri Luar Negeri Tiongkok dan para menlu dari negara-negara ASEAN yang berlangsung di Tiongkok, belum lama ini, merupakan awal yang baik dalam upaya menyelesaikan isu Laut Tiongkok Selatan secara praktis dan efektif," katanya dalam sebuah surat elektronik kepada Antara di Kupang, Sabtu sore.
Ia mengatakan bahwa pertemuan tersebut tidak hanya memperkukuh dan memperluas konsensus kerja sama antara Tiongkok dan ASEAN, tetapi juga mengeluarkan suara bersama bahwa Tiongkok dan negara-negara ASEAN berupaya untuk menjaga perdamaian dan kestabilan regional.
"Saya menilai, pertemuan tersebut menjadi sebuah komunikasi strategis yang tepat waktu dan penting. Namun, beberapa media dari negara Barat dengan sengaja menghubungkan pertemuan ini dengan kasus arbitrase isu Laut Tiongkok Selatan yang diajukan secara sepihak oleh Filipina".
"Media barat berspekulasi bahwa pertemuan tersebut sebagai sesuatu tindakan diplomatik sepesial yang diambil oleh Tiongkok terhadap keputusan arbitrase yang akan dikeluarkan, dan mengklaim bahwa negara-negara ASEAN telah mengeluarkan 'Deklarasi Bersama' mengenai isu Laut Tiongkok Selatan dan terus menyebarkan opini publik yang buruk terhadap Tiongkok," kata Yinquan.
Ia mengemukakan banyak fakta sejarah telah membuktikan bahwa Tiongkok berdaulat atas pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan, di antaranya Kepulauan Xisha (Kepulauan Paracel), Kepulauan Nansha (Kepulauan Spratly), Kepulauan Zhongsha (Kepulauan Macclesfield), dan Kepulauan Dongsha (Kepulauan Pratas).
"Pulau-pulau ini merupakan wilayah Tiongkok sejak zaman dahulu karena Tiongkok adalah negara yang paling awal menemukan, menamakan, mengeksploitasi, dan mengelola kepulauan tersebut," katanya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah Tiongkok terus-menerus melakukan yurisdiksi atas pulau-pulau di Laut Tiongkok Selatan dan perairan sekitarnya itu melalui pengaturan administrasi, patroli militer, mengadakan aktivitas produksi dan pengelolaan bisnis, serta kegiatan penyelamatan laut karena sudah menjadi miliknya Tiongkok yang diakui pula oleh masyarakat internasional.
Pada tahun 1968, kata dia, suatu organisasi yang berafiliasi pada Komisi Ekonomi PBB untuk Asia dan Timur Jauh menerbitkan laporan investigasi menyatakan bahwa Laut Tiongkok Selatan memiliki sumber daya minyak dan gas yang melimpah sehingga sejak saat itu Filipina dan beberapa negara lain secara ilegal menduduki sejumlah pulau dan terumbu Kepulauan Nansha Tiongkok.
Alasan Filipina menduduki kepulauan tersebut karena lebih dekat dengan garis pantainya sehingga berniat mencoba mengubah kedaulatan Tiongkok atas Kepulauan Nansha.
Dalam beberapa tahun terakhir, kata dia, dengan keterlibatan dan manipulasi kekuatan luar, isu Laut Tiongkok Selatan yang seharusnya diselesaikan oleh para pihak bersangkutan melalui musyawarah dan perundingan dibuat-buat menjadi topik keamanan yang cukup panas di kawasan regional.
Pada tahun 2013, kata Yinquan, Filipina tanpa musyawarah dengan Tiongkok, secara sepihak meminta arbitrase terkait pulau dan terumbu Kepulauan Nansha Tiongkok kepada Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut sehingga membuat situasi di Laut Tiongkok Selatan semakin memburuk.
Ia menjelaskan tujuan Filipina mengajukan arbitrase secara sepihak tersebut hanya untuk menyangkal kedaulatan teritorial dan kepentingan maritim Tiongkok atas Kepulauan Nansha dengan cara memanfaatkan beberapa peraturan dari United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) supaya dapat menyembunyikan pendudukan ilegalnya di beberapa pulau dan terumbu di Kepulauan Nansha.
Yinquan menambahkan bahwa pada tanggal 23 Januari 2013, tepat pada hari kedua setelah dimulai proses arbitrase, Kementerian Luar Negeri Filipina mengeluarkan sebuah dokumen tanya jawab mengenai proses arbitrase. Dengan jelas digambarkan tujuan arbitrase adalah "melindungi kedaulatan teritorial dan kawasan maritim negara kami", yang berkata "Tidak melepaskan kedaulatan negara kami".
Kenyataannya, kata dia, ruang lingkup wilayah Filipina tidak pernah meliputi Kepulauan Nansha dan Pulau Huangyan, dan ruang lingkupnya telah didefinisikan oleh sejumlah konvensi internasional, di antaranya Treaty of Peace Between the United States of America and the Kingdom of Spain (tahun 1898), Treaty Between the Kingdom of Spain and the United States of America for Cession of Outlying Islands of the Philippines (tahun 1900), Convention Between the United States of America and Great Britain Delimiting the Boundary Between the Philippine Archipelago and the State of North Borneo (tahun 1930).
"Perjanjian dan konvensi tersebut telah dengan jelas menerangkan bahwa 118 derajat bujur timur adalah batas barat wilayah Filipina, dan Kepulauan Nansha dan Pulau Huangyan sama sekali tidak masuk dalam ruang lingkup Filipina," katanya.