Sungailiat (ANTARA) - Warga Keturunan Tionghoa di Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menggelar sembahyang kubur atau "Ceng Beng" untuk menghormati lelulur yang telah meninggal dunia.
"Sembahyang kubur menjadi tradisi tahunan yang dilaksanakan oleh warga keturunan Tionghoa sekitar dua bulan setelah Hari Raya Imlek," kata tokoh agama Tionghoa Bangka, Halim Setiawan, di Sungailiat, Selasa.
Ia mengatakan sembahyang kubur atau "Ceng Beng" dilaksanakan selama sepuluh hari atau sebelumnya tanggal 5 April 2024. Umumnya warga keturunan Tionghoa yang merantau ke luar pulau Bangka akan pulang untuk menjalankan sembahyang kubur.
"Waktu sembahyang kubur di makan leluhur waktunya cukup longgar atau boleh dilakukan satu minggu sebelumnya," kata dia.
Dia menjelaskan, tradisi "Ceng Beng" biasanya diisi dengan berbagai kegiatan seperti membersihkan makam, membakar dupa, uang arwah, serta memanjatkan doa di depan nisan.
Sementara Yanto warga Hakok mengatakan, walaupun sembahyang kubur sudah bisa dilaksanakan satu minggu sebelumnya, tetapi ia bersama keluarga besar akan melaksanakan tradisi itu pada Kamis (4/4/2024).
"Kami belum melaksanakan sembahyang kubur dan rencananya pada Kamis nanti sembahyang kuburnya atau H-1 bersama keluarga besar," ujarnya.
Ceng Beng adalah salah satu hari penting bagi kepercayaan masyarakat Tiongkok dan penganut agama Konghucu. Di hari tersebut, setiap orang akan berkumpul dengan keluarganya lalu melakukan ziarah ke makam orang tua atau leluhur.
Pada dasarnya Ceng Beng disebut juga Qingmingjie di Negeri Tirai Bambu. Kata Ceng Beng pada bahasa Hokkian terdiri atas dua kata. Budayawan Bangka Belitung Akhmad Elvian menyatakan kata ceng memiliki arti bersih dan beng berarti terang.
"Ceng itu sendiri artinya bersih atau resik, jadi seminggu sebelum hari H tanggal 4 atau 5 itu keluarga sudah mulai melaksanakan pembersihan terhadap makam, kemudian tanggal 4 atau 5 Beng yakni artinya terang. Menjelang terbitnya Matahari sampai siang mereka akan melakukan ritual kepada leluhur," kata Elvian.