akarta (Antara Babel) - Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman
Gusman dituntut 7 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 5
bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik karena dinilai terbukti
menerima Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya.
"Menuntut agar majelis hakim supaya majelis hakim pengadilan tindak
pidana korupsi yang mengadili perkara ini memutuskan terdakwa Irman
Gusman terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Menjatuhkan pidana
kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 7 tahun ditambah denda
Rp200 juta subsider 5 bulan kurungan," kata Ketua Jaksa Penuntut Umum
(JPU) KPK Arif Suhermanto dalam sidang di pengadilan tindak pidana
korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Tuntutan itu berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 12 huruf b No 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain tuntutan pidana penjara,
jaksa juga meminta pidana tambahan berupa pencabutan hak politik
terhadap Irman.
"Menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa Irman Gusman berupa
pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun setelah
terdakwa Irman Gusman selesai menjalani pidana pokoknya," tambah Arif.
Tujuan pencabutan hak politik itu menurut jaksa untuk melindungi
publik dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari calon pemimpin
yaitu kemungkinan publik salah pilih kembali.
"Sehubungan dengan kedudukan terdakwa Irman Gusman pada saat
melakukan tindak pidana korupsi adalah anggota/ketua DPD yang dipiih
langsung oleh rakyat di daerah pemilihan Sumatera Barat tentu masyarakat
memiliki harapan besar agar terdakwa berperan aktif dalam upaya
pembebasan Indonesia dari korupsi," tambah Arif.
Kedudukan Irman sebagai ketua DPD adalah jabatan strategis dalam
sistem politik Indonesia, maka perbuatan terdakwa bukan saja menciderai
tatanan demokrasi yang sedang dibangun tapi juga semakin memperbesar public distrust kepada lembaga negara yang terhormat.
"Hal yang memberatkan, terdakwa menggunakan pengaruh kekuasaannya
sebagai anggota DPD dan ketua DPD untuk melakukan kejahatan, terdakwa
menyalahgunakan kewajiban yang diberikan kepadanya untuk melakukan
kejahatan, motif kejahatan adalah untuk memperoleh kekayaan untuk diri
sendiri, keluarga dan orang lain dengan memanfaatkan jabatannya,
terdakwa tidak mengakui perbuatan," ungkap Arif.
(Baca: Hakim tolak keberatan Irman Gusman)
Kronologi kasus
Perbuatan penerimaan suap Rp100 juta itu diawali saat pemilik CV
Semesta Berjaya, seorang pengusaha dari Sumbar yang merupakan rekan
Irman, Memi bertemu dengan Irman pada 21 Juli 2016 di rumah Irman dan
menyampaikan telah mengajukan permohonan pembelian gula impor ke Perum
Bulog Divisi Regional (Divre) Sumbar sebanyak 3.000 ton untuk
mendapatkan pasokan gula.
Tapi permohonan pembelian itu lama tidak direspon Perum Bulog
sehingga Memi meminta Irman untuk mengupayakan permohonan CV Semesta
Berjaya itu.
Irman bersedia membantu dengan meminta "fee" Rp300 per kg atas gula
impor Perum Bulog yang akan diperoleh CV Semesta Berjaya dan akhirnya
disepakati oleh Memi. selanjutnya Memi melaporkan kepada suaminya,
Xaveriandy Sutanto.
Irman kemudian menghubungi Direktur Utama Perum Bulog Djarot
Kusumayakti agar menyuplai gula impor ke Sumbar melalui Divisi Regional
(Divre) Sumatera Barat (Sumbar) karena selama ini disuplai melalui
Jakarta yang mengakibatkan harga menjadi mahal. Irman pun
merekomendasikan Memi sebagai teman lamanya yang memiliki CV Semesta
Berjaya sebagai pihak yang dapat dipercaya untuk menyalurkan gula impor
tersebut.
Djarot pada 22 Juli 2016 lalu menghubungi Kepala Perum Bulog Divre
Sumbar Benhur Ngkaimi dan menyampaikan titipan pesan dari Irman agar
Memi diberikan alokasi gula impor. Atas arahan tersebut Benhur Ngkaimi
menyatakan siap melaksanakannya.
CV Semesta Berjaya akhirnya mendapat distribusi gula impor Perum
Bulog secara bertahap mulai 12 Agustus 2016 sampai 10 September 2016
sebesar 1.000 ton gula dan disalurkan Xaveriandy dan Memi ke beberapa
lokasi yang di luar peruntukannya selain di Padang yaitu ke Medan dan
Pekanbaru.
Memi bersama Xaveriandy pada 16 September 2016 mengantarkan uang
Rp100 juta sebagai uang terima kasih ke rumah Irman di Jalan Denpasar C3
No 8 Kuningan Jakarta dan tidak lama setelahnya, ketiga orang itu
diamankan petugas KPK.
"Terdakwa Irman berusaha mengaburkan penerimaan uang suap tersebut
dengan cara 4-5 hari setelah penangkapan, penasihat hukumnya melaporkan
penerimaan itu ke KPK seolah-olah sebagai gratifikasi. Hal ini tidak
benar karena sejak awal terdakwa Irman sudah meminta commitment fee
sebesar Rp300 per kilogram. Bahwan menurut Irman sendiri yang sering
menerima oleh-oleh dari teman-temannya yang pulan dari luar negeri,
Irman tidak pernah melaporkan gratifikasi tersebut ke KPK," tambah jaksa
Ahmad Burhanuddin.
Meski kewajiban Irman adalah menampung dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat berkaitan dengan masalah pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi baik dalam hal perancangan UU, tapi Irman sudah
menerima uang dari masyarakat yang menyampaikan aspirasinya itu.
"Terdakwa telah menerima uang sebesar Rp100 juta dari Xaveriandy
Sutanto dan memi karena telah mempengaruhi Dirut Perum Bulog dalam
mengupayakan CV Semesta Berjaya milik Xaveriandy dan Memi untuk mendapat
alokasi pembelian gula impor dari Bulog ang secara nyata bertentangan
dengan kewajiban terdakwa sebagai anggota dan atau Ketua DPD," kata
jaksa Lie Setiawan.
Atas tuntutan tersebut, Irman akan mengajukan pledoi (nota pembelaan) pada 8 Februari 2017.
Terkait perkara ini, Xaveriandy Sutanto divonis 3 tahun penjara
sedangkan istrinya Memi 2,5 tahun penjara, masing-masing ditambah denda
Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan. Keduanya sedang menjalani hukuman
di rutan Padang. (Baca juga: Suami istri penyuap Irman Gusman divonis 2,5-3 tahun penjara)
Irman Gusman Dituntut 7 Tahun Penjara
Rabu, 1 Februari 2017 15:03 WIB