Jakarta (Antara Babel) - Eko Cahyono, mantan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada Bangka Belitung pada 2007, menjadi saksi yang dihadirkan kuasa hukum Ahok dalam lanjutan sidang kasus penodaan agama di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa.
"Pernah jadi calon wakil gubernur dalam pemilihan tahun 2007 di Provinsi Bangka Belitung. Ada lima pasangan calon, saya sama Pak Basuki nomor urut 3," kata Eko saat menjawab pertanyaan dari Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto.
Eko menyatakan pada saat pemilihan itu dirinya menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Ahok sebagai Bupati Belitung Timur.
"Apakah menang saat itu?" tanya Hakim Dwiarso.
"Kalah, kami urutan kedua selisihnya tipis," jawab Eko.
Ia pun menyatakan bahwa dalam Pilkada Bangka Balitung 2007 itu Ahok dan dirinya diusung oleh beberapa partai, misalnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK), dan lain-lain.
"Yang lain partai-partai kecil, saya agak lupa," katanya.
Setelah kekalahan tersebut, dia mengaku Ahok dan dirinya menggugat ke Mahkamah Agung (MA) namun ditolak.
"Waktu itu banyak sekali pemilih kami yang tidak menerima kartu panggilan, di lapangan ditemukan seperti itu," kata Eko.
Ia pun menyatakan setelah kekalahan dalam Pilkada Bangka Belitung 2007, dirinya kembali bekerja sebagai PNS dengan jabatan sekretaris dari salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
"Kalau Pak Basuki mencalonkan diri jadi anggota DPR RI dari Partai Golkar," ucap Eko.
Dalam sidang ke-13 kasus penodaan agama ini, tim kuasa hukum Ahok dijadwalkan memanggil tiga saksi, antara lain, Bambang Waluyo Djojohadikoesoemo, Analta Amier, dan Eko Cahyono.
Ahok dikenai dakwaan alternatif, yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara itu, menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dikenai kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.