Jakarta (Antara Babel) - Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari
divonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan
kurungan, membayar uang pengganti Rp550 juta karena terbukti korupsi
pengadaan alat kesehatan (alkes) 2005 dan menerima gratifiksi Rp1,9
miliar.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Siti Fadilah Supari terbukti secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan
pertama alternatif keempat dan dakwaan kedua alternatif ketiga.
Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama empat tahun penjara
ditambah denda Rp200 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti
pidana kurungan selama dua bulan," kata ketua majelis hakim Ibnu Basuki
Wibowo di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK
yang meminta agar Siti Fadilah divonis enam tahun penjara ditambah denda
Rp500 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar
uang pengganti sebesar Rp1,9 miliar subsider satu tahun kurungan.
Siti Fadilah terbukti melakukan korupsi berdasarkan pasal 3 UU No 31
tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan
pasal 11 jo pasal 18 UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar
Rp1,9 miliar dikurangi Rp1,35 miliar dengan ketentuan bila tidak dibayar
sesuai jumlah tersebut dalam 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum
tetap, maka harta benda terdakwa akan dilelang dan bila terdakwa tidak
punya harta yang mencukupi untuk membayar uang itu maka akan dipenjara
selama 6 bulan," tambah hakim Ibnu.
Putusan yang diambil oleh majelis hakim Ibnu Basuki Wibowo, Yohanes
Priyana, Diah Siti Basariah Sigit Herman Binaji dan Sofialdi tersebut
menilai bahwa Siti Fadilah tidak mengakui terus terang, tidak mendukung
program pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi.
"Hal yang meringankan terdakwa bersikap sopan, belum pernah dihukum,
sudah lanjut usia, berjasa dalam mengatasi penanggulangan wabah flu
burung dan telah menitipkan uang Rp1,35 miliar ke KPK," kata hakim
Yohanes.
Dalam dakwaan pertama Siti Fadilah Supari dinilai terbukti merugikan
keuangan negara senilai Rp5,783 miliar dalam kegiatan pengadaan alat
kesehatan (alkes) guna mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) 2005
pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) dengan melakukan
penunjukan langsung (PL) kepada PT Indofarma Tbk. Jumlah kerugian negara
itu berbeda dengan tuntutan JPU KPK yang menilai negara dirugikan
sejumlah Rp6,1 miliar.
Ia meminta Kepala PPMK Mulya A Hasjmy selaku kuasa pengguna anggaran
dan pejabat pembuat komitmen melakukan penunjukan langsung kepada PT
Indofarma sehingga mendapatkan bayaran Rp13,9 miliar.
PT Indofarma Global Medika ditunjuk Siti sebagai rekanan untuk
melaksanakan pengadaan "buffer stock" tersebut karena direktur
perusahaan itu Ary Gunawan datang bersama dengan Ketua Sutrisno Bachir
Foundation (SBF) Nuki Syahrun yang juga adik ipar Sutrisno Bachir.
Nuki Syahrun kemudian menghubungi Direktur Utama PT Mitra Medidua
Andi Krisnamurti yang merupakan suami Nuki, Rizaganti Syahrun, untuk
menjadi suplier alkes PT Indofarma. Nuki bersama Ary dan Asrul
lalu menemui Mulya A Hasjmy untuk menyampaikan bahwa pengadaan alkes
buffer stock dilakukan PT Indofarma.
"Terdakwa mengarahkan agar penyedia barang dipegang PT Indofarma,
dengan ditunjukkan PT Indofarma sebagai perusahaan yang melakukan
pengadaan alkes buffer stock yang barangnya disuplai PT Mitra Medidua
telah terbukti menguntungkan PT Indofarma sebesar Rp364 juta dan secara
langsung atau pun tidak langsung PT Mitra Medidua sebesar Rp5,783
miliar," kata anggota majelis hakim Sigit Hendra Binaji.
Sehingga ada beberapa pihak diuntungkan dari proyek pengadaan di
tersebut dan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi terpenuhi. Namun berbeda dengan JPU yang menilai bahwa
keuntungan PT Indofarma juga merupakan kerugian negara, hakim menilai
bahwa keuntungan PT Indofarma bukanlah kerugian negara.
"PT Indofarma menerima pembayaran Rp13,9 miliar setelah dikurangi
pajak dari jumlah tersebut dibayar ke PT Medidua sehingga mendapat
selisih Rp364 juta dan PT Mitra Medidua mendapat Rp5,783 miliar. Selisih
PT Indofarma sebesar Rp364 juta bukan kerugian negara karena PT
Indofarma adalah BUMN yang sumber keuangannya berasal dari negara
sehingga selisih uang yang diterima PT Indofarma adalah uang negara yang
ditempatkan di PT Indofarma karena keuangan negara termasuk yang
ditempatkan di BUMN sesuai dengan UU Tipikor," tambah hakim Diah.
Artinya hanya selisih penerimaan PT Mitra Medidua yang diterima dari
PT Indofarma yaitu Rp13,58 miliar dikurangi pembayaran kepada PT
Bhineka Usada Raya sebesar Rp7,7 miliar yang dinilai hakim sebagai unsur
kerugian negara yaitu sejumlah Rp5,783 miliar.
"Terdakwa sebagai menteri kesehatan menyalahgunakan kewenangan atau
kesempatan yang ada padanya sebagai Menkes maupun pengguna anggaran
dengan mengarahkan kegiatan pengadaan alkes dengan menerbitkan surat
penunjukan langsung," tambah hakim.
Dalam dakwaan kedua, Siti Fadilah dinilai menerima suap sebesar
Rp1,9 miliar karena telah menyetujui revisi anggaran untuk kegiatan
pengadaan alat kesehatan (alkes) I serta memperbolehkan PT Graha Ismaya
sebagai penyalur pengadaan Alkes I tersebut.
Suap itu berupa Mandiri Traveller Cheque (MTC) sejumlah 20 lembar
senilai total Rp500 juta dari Sri Rahayu Wahyuningsih selaku manajer
Institusi PT Indofarma Tbk dan dari Rustam Syarifudin Pakaya selaku
Kepala Pusat Penanggulangan Krisis atau PPK Depkes yang diperoleh dari
Dirut PT Graha Ismaya Masrizal sejumlah Rp1,4 miliar juga berupa MTC.
Sehingga totalnya adalah Rp1,9 miliar.
Siti lalu memberikannya kepada adiknya Rosdiyah Endang Pudjiastuti
untuk diinvestasikan di PT Sammara Mutiara Indonesia yang diwakilkan
Jefri Nedi dan selanjutnya ditransfer ke rekening PT Manunggal Muara
Palma, PT Tebo Indah (milik Jefri Nedi), ditransfer ke PT City Pacific
Securities dalam rangka transaksi jual beli saham di BEJ, ditranfer ke
rekening Jefri di Bank Permata sedangkan selebihnya biaya operasional PT
Sammara Mutiara Indonesia.
"Terdakwa dianggap punya kewenangan menentukan anggaran dan
menentukan siapa-siapa saja yang dapat mengerjakan pengadaan di
Kemenkes, termasuk PT Graha Ismaya yang sebelumnya sudah di-black list dalam pengadaan, sehingga dakwaan kedua alternatif ketiga terbukti," ungkap hakim Sigit.
Atas putusan itu, Siti Fadilah maupun jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir.