Jakarta (Antara Babel) - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) Abdul Haris Semendawai menjelaskan bahwa Undang-Undang No.31/2014
tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan salah satu kewenangan
lembaganya adalah mengelola rumah aman bagi saksi dan korban.
Sebelum
menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Panitia Khusus Hak Angket di
Gedung Nusantara di kompleks parlemen, Jakarta, Senin, Abdul Haris
mengatakan dia belum menemukan aturan eksplisit yang menyebut mengenai
lembaga lain yang punya kewenangan mengelola rumah aman dalam
undang-undang itu.
Undang-Undang No.31/2014, menurut dia, secara jelas menyebut
kewenangan LPSK dalam mengelola rumah aman, khususnya dalam tindak
pidana tertentu seperti korupsi.
"Yang jelas dalam UU 31/2014
mengatur hak saksi ditempatkan di rumah aman dan LPSK diberikan hak
mengelola. Kalau ada institusi lain yang mengacu UU berbeda, ya saya
tidak tahu," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa penempatan saksi kasus korupsi di rumah aman
biasanya dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan permintaan yang disampaikan ke LPSK melalui pengacara
atau keluarga yang saksi atau korban.
Meski demikian, menurut
dia, LPSK sering "jemput bola" dengan menawarkan perlindungan kepada
saksi atau korban, biasanya dalam kasus yang sedang menjadi sorotan
publik.
"Mereka banyak yang kemudian mengikuti saran kita sehingga potensi ancaman mereka tidak terjadi," katanya.
Dia menjelaskan rumah aman yang berada di bawah kewenangan LPSK sifatnya independen dan dikelola sesuai aturan internal.
Ia menambahkan koordinasi LPSK dengan KPK lebih kepada saksi atau justice collaborator kasus tindak pidana korupsi.
Panitia
Khusus Hak Angket DPR tentang Tugas dan Kewenangan KPK akan memanggil
LPSK pada Senin untuk meminta penjelasan mengenai hubungan kelembagaan
dan pelaksanaan perlindungan saksi dan korban dengan KPK menurut surat
undangan Pansus yang dikirimkan kepada kedua institusi tersebut.