Jakarta (Antaranews Babel) - Pembicaraan mengenai utang pemerintah pusat yang jumlahnya mencapai Rp4.034,8 triliun pada akhir Februari 2018 mencuat kembali dalam beberapa minggu terakhir.
Diskusi di publik muncul karena masyarakat khawatir bahwa pemerintah tidak bisa membayar utang tersebut dan beban utang akan ditanggung hingga generasi mendatang.
Bagi orang awam, jumlah ribuan triliunan rupiah merupakan angka yang besar dan tidak bisa dibayangkan meski pemerintah memastikan porsi utang yang terus bertambah itu dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pengelolaan utang di Indonesia dalam keadaan baik dan tidak ada kekhawatiran mengenai jumlah utang yang membesar tersebut.
Menurut dia, relatif banyak yang mengawasi pengelolaan utang pemerintah, tidak hanya Badan Pemeriksa Keuangan, tetapi juga para investor di luar negeri, lembaga multilateral hingga lembaga pemeringkat internasional.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini juga memastikan pemerintah masih memiliki kemampuan atas pembayaran utang tersebut, dan tidak ada krisis yang disebabkan karena kegagalan dalam mengelola utang.
Untuk itu, dia berseloroh bahwa berita "plintiran" mengenai jumlah utang yang sempat ramai dibicarakan dalam media sosial tersebut, bermotif politik menjelang Pemilihan Umum 2019.
Hal serupa juga diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang memastikan utang pemerintah dimanfaatkan untuk kegiatan produktif bagi pembangunan.
Bagian terbesar untuk belanja yang menggunakan pembiayaan melalui utang, antara lain, untuk kegiatan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial maupun infrastruktur.
Selain itu, dia menegaskan bahwa kemampuan pemerintah untuk membayar utang masih kuat, apalagi rasio utang terhadap PDB masih berada pada kisaran 29,24 persen.
Rasio utang sebesar 29,24 persen terhadap PDB ini masih lebih kecil daripada dengan negara-negara yang memiliki tingkat ekonomi setara, seperti Vietnam sebesar 63,4 persen, Thailand 41,8 persen, Malaysia 52,7 persen, dan Brasil 81,2 persen.
Untuk itu, Darmin meminta masyarakat agar tidak mengkhawatirkan kemampuan pemerintah untuk mengelola utang tersebut karena utang-utang itu tidak berpotensi mengalami gagal bayar.
"Jangan terpengaruh dengan angka triliunan yang begitu besar," katanya.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan hingga akhir Februari 2018, sebagian besar utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah.
Penerbitan SBN sekitar Rp2.359,47 triliun atau 62,62 persen diterbitkan dalam denominasi rupiah serta dalam denominasi valas sebesar Rp897,78 triliun atau 18,11 persen.
Selain penerbitan SBN, pembiayaan utang tersebut juga berasal dari pinjaman luar negeri pemerintah dengan porsi mencapai Rp777,54 triliun atau 19,27 persen.
Utang yang dalam bentuk pinjaman ini terbagi dari pinjaman luar negeri sebesar Rp771,6 triliun atau 19,13 persen dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,78 triliun atau 0,14 persen.
Pinjaman luar negeri tersebut terdiri atas pinjaman bilateral Rp331,24 triliun atau 8,21 persen, pinjaman multilateral Rp396,02 triliun atau 9,82 persen, pinjaman komersial Rp43,32 triliun atau 1,07 persen, dan pinjaman suppliers Rp1,17 triliun atau 0,03 persen.
Pengelolaan Utang
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan Scenaider Siahaan menjelaskan bahwa masyarakat seharusnya tidak terlalu mengkhawatirkan jumlah utang yang dipinjam pemerintah.
Menurut dia, indikator rasio utang pemerintah masih dalam level aman sebesar 29,24 persen terhadap PDB dan berbagai pinjaman tersebut diajukan secara hati-hati dan efisien.
Padahal, batas maksimum utang pemerintah sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 adalah 60 persen terhadap PDB.
"Utang ini akan naik terus sepanjang anggaran kita masih defisit. Yang kami lakukan adalah mengelola utang dengan baik agar bisa membayarnya," ujarnya.
Scenaider mengilustrasikan pembayaran utang ini dengan penerimaan yang dihimpun negara termasuk penerimaan pajak. Apabila pada tahun 2018 perkiraan penerimaan negara sebesar Rp1.894 triliun, jumlah utang Rp4.034 triliun pemerintah memiliki waktu jatuh tempo untuk membayar utang tersebut selama 9 tahun.
Dengan begitu, setiap tahun, berdasarkan perhitungan kasar, pemerintah perlu membayar utang Rp450 triliun.
"Kalau kita punya penerimaan Rp1.894 triliun dan utang jatuh tempo Rp450 triliun setiap tahun, itu kita bisa bayar tidak? Ya, bisa. Jadi, itu namanya mengelola," jelasnya.
Meski demikian, pengamat ekonomi Institute for Economic and Development Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa jumlah utang pemerintah yang telah mencapai kisaran Rp4.000 triliun perlu diwaspadai.
Untuk itu, pemerintah harus makin bijak dalam menarik utang, terutama dari luar negeri yang rentan dengan fluktuasi dolar AS, agar tidak kesulitan dalam melakukan pengelolaan utang.
Bhima mengakui bahwa pemerintah masih bisa membayar atau melunasi utang tersebut meski kemampuan membayar diperkirakan bisa makin berkurang, seiring dengan penerimaan pajak yang tidak pernah mencapai target.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo juga meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam mengelola utang negara meski rasio utang terhadap PDB masih berada dibawah 30 persen.
Politikus Partai Golkar yang berlatar pengusaha ini mengajukan solusi agar APBN yang disusun pemerintah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada utang, yaitu dengan mengoptimalkan penerimaan pajak.
Perwakilan Koalisi Pembangunan Infrastruktur Andi Muttaqien mengatakan salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi utang adalah dengan mengurangi defisit anggaran dalam APBN.
Menurut dia, selama belanja pemerintah lebih besar tanpa mempertimbangkan penerimaan yang masih terbatas, negara belum terbebas dari pembiayaan melalui utang.
"Karena pengeluaran lebih besar daripada penerimaan, anggaran negara mengalami defisit (kekurangan). Selanjutnya, defisit ditutupi dengan mengajukan utang ke negara donor atau menerbitkan obligasi," ujarnya.
Meski saat ini porsi utang pemerintah relatif terjaga dan depresiasi rupiah hanya memengaruhi utang valas yang jatuh tempo pada tahun 2018, tidak ada salahnya pemerintah meningkatkan kewaspadaan.
Kegagalan dalam mengelola utang bisa menimbulkan prahara baru dalam perekonomian yang saat ini sedang tumbuh seiring dengan momentum membaiknya kondisi global.
Langkah ideal harus mulai diupayakan, tidak hanya dengan pengelolaan utang secara hati-hati dan "prudent", tetapi juga upaya untuk meningkatkan rasio pajak yang masih berada pada kisaran 10,8 persen terhadap PDB atau jauh dibawah rata-rata negara ASEAN sebesar 16 persen terhadap PDB.
Berita Terkait
Menkeu jamin APBN digunakan untuk peningkatan kesejahteraan guru
29 November 2024 10:18
Sri Mulyani: Anggaran infrastruktur terealisasi Rp282,9 triliun
22 November 2024 20:41
Sri Mulyani pangkas 50 persen anggaran dinas kementerian/lembaga
11 November 2024 15:28
Sri Mulyani jelaskan alasan adanya perombakan struktur Kemenkeu
8 November 2024 17:35
Sri Mulyani strikes again as Prabowo finance minister
21 Oktober 2024 14:52
Menteri-Menteri perempuan di Kabinet Merah Putih
21 Oktober 2024 14:51
Profil Sri Mulyani, Menteri Keuangan di tiga periode pemerintahan
21 Oktober 2024 11:44
Prabowo tunjuk Sri Mulyani dan tiga wakil bertugas di Kemenkeu
21 Oktober 2024 00:07