Beberapa hari belakangan ini, Ibu Kota Provinsi Jawa Timur diguncang bom bunuh diri. Pada hari Minggu, 13 Mei 2018, bom bunuh diri menyerang tiga gereja di Surabaya, pelakunya adalah satu keluarga.
Selanjutnya, pada hari Senin, 14 Mei 2018, masyarakat Surabaya kembali dikejutkan oleh ledakan bom. Bom meledak di Polrestabes Surabaya di Jalan Sikatan sekitar pukul 08.50 WIB. Pelakunya juga satu keluarga.
Sebelumnya, pada hari Minggu, 13 Mei 2018, pukul 21.20 WIB, terdengar ledakan dari Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo dalam operasi antiterorisme. Rusunawa tersebut ditempati oleh satu keluarga terduga teroris. Dari satu keluarga beranggotakan enam orang, sang kepala keluarga disebut polisi sebagai anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Fenomena munculya pelaku bom sekeluarga bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, tiga pelaku Bom Bali I pada tahun 2002, yakni Amrozi dan Ali Imron, merupakan kakak beradik. Sementara itu, di luar negeri, seperti di Syria dan Irak, juga kerap melakukan bom bunuh diri sekeluarga.
Dari berbagai pemberitaan di media massa, diketahui bahwa aksi teror bom sengaja mengajak anggota keluarga untuk rela mati agar masuk surga. Pemikiran dan keyakinan tersebut bisa menjadi penyebab pelaku rela mengajak anggota keluarga melakukan aksi bom bunuh diri dan mati bersama.
Jaringan terorisme dari hubungan kekeluargaan merupakan sebuah metode yang dilakukan. Metode ini kemungkinan dinilai efektif oleh para teroris. Pasalnya, psikologis sesama anggota keluarga dinilai lebih menguatkan dan memiliki sedikit risiko daripada menarik anggota dari luar.
Gegar Komunikasi
Maraknya aksi bom bunuh diri oleh para teroris dengan mengajak serta anggota keluarganya merupakan bukti terjadinya gegar komunikasi. Pemahaman seseorang bisa saja berubah ke arah sempit yang justru menyulut disintegrasi bangsa. Gegar komunikasi atau guncangan komunikasi terjadi manakala seorang individu mengalami perubahan pemahaman akan makna perang atau jihad.
Sejumlah aksi bom bunuh diri yang melibatkan sebuah keluarga yang terjadi secara beruntun di Surabaya mengindikasikan terjadinya kesalahpahaman akan makna jihad.
Arti kata jihad menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah (1) usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; (2) usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga; (3) perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam; perang melawan hawa nafsu (yang jahat).
Tampaknya, jihad lantas dimaknai secara sempit oleh sebagian kalangan dengan melakukan aksi bom bunuh diri. Padahal, aksi bom bunuh diri tersebut sesungguhnya bertentangan dengan makna jihad itu sendiri. Jihad secara umum dimaknai sebagai usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan.
Gegar komunikasi kaitannya dengan pemahaman keagamaan bisa berdampak fatal karena mengakibatkan aksi teror bom bunuh diri hingga menewaskan banyak orang tak bersalah.
Gegar komunikasi bisa dipantik oleh pihak luar melalui berbagai kajian-kajian. Nyatanya, kajian-kajian tersebut kemungkinan ditunggangi oleh berbagai kepentingan guna memecah belah bangsa. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan tim peneliti dari Amerika Serikat, Kolombia, dan Chile yang mengungkap bahwa sebenarnya agama bukan faktor relevan seseorang melakukan tindakan teror.
Hal ini perlu disadari oleh kita semua agar tidak terjerumus pada aksi teror ataupun teorirsme. Teror dalam kaitannya untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tidak bisa dibenarkan.
Tiga Elemen
Teror bom bunuh diri yang melibatkan seluruh anggota keluarga bisa dipahami dan dijelaskan dari tiga elemen tindak tutur komunikasi ketika memahami realitas. Ketiga elemen tersebut meliputi elemen lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Elemen lokusi merupakan pengategorian dan makna niatan. Dalam konteks ini, merupakan proses seseorang menghadirkan fakta melalui penafsiran subjektif. Subjektivitas ini tentu berkaitan dengan kategori dan ideologi.
Pengategorian fakta-fakta berkaitan dengan sistem ide-ide yang diungkapkan dalam komunikasi (Lul, 1998). Adapun ideologi, menurut Lauer (1993), memiliki kekuasaan logis untuk memotivasi, memaksa, atau bahkan memperalat individu.
Artinya, perihal kategori dan ideologi ekstrem yang keliru bisa memotivasi, memaksa, dan memperalat individu untuk berbuat kerusakan bagi diri sendiri dan orang lain. Akibatnya, ideologi ekstrem yang keliru akan memotivasi seseorang untuk menjalankan aksi bom bunuh diri.
Dengan kata lain, ideologi mewujudkan diri sebagai lokusi, yakni tindak tutur seseorang yang hendak menyampaikan suatu makna tertentu di balik pesan komunikasinya. Seorang teroris memiliki lokusi dalam suatu ungkapan bahasa yang berpeluang memiliki kekuasaan logis untuk memotivasi, memaksa, atau bahkan memperalat individu lain, yakni anak-anak dan istrinya.
Elemen lokusi berdampak pada terjadinya elemen ilokusi. Elemen ilokusi berkaitan dengan kesadaran berbahasa teroris. Elemen ilokusi dimaknai sebagai tindak tutur teroris yang hendak menyatakan sesuatu dengan menggunakan daya yang khas sehingga membuat teroris berserta keluarganya bertindak sesuai dengan apa yang dituturkannya.
Elemen ilokusi diwujudkan melalui upaya teoris dalam memilih dan menonjolkan bagian tertentu dari fakta atau realitas sehingga bisa memengaruhi anggota keluarganya untuk berbuat teror pula.
Misalnya, dengan menyatakan bahwa melakukan aksi bom bunuh diri merupakan jihad dan setelah mati bisa masuk surga. Hal demikian, walaupun sebenarnya tidak logis, bagi para teroris justru dinilai sangat logis.
Selanjutnya, elemen ilokusi menyebabkan efek komunikasi yang disebut elemen perlokusi. Elemen perlokusi menekankan pada efek tertentu pada pendengarnya, baik secara aktif maupun pasif.
Elemen perlokusi melihat bagaimana respons mitra tutur yang diajak bertutur. Elemen perlokusi ini menentukan kematangan rencana pelaku teror melalui bahasa tutur yang digunakan untuk meyakinkan anggota keluarganya agar setuju melakukan aksi teror pula. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa memang lebih berfungsi sebagai pemengaruh daripada sekadar alat komunikasi (Austin, 1962; Kaelan, 1998).
Dengan kata lain, maraknya aksi teror yang dilakukan sebuah keluarga merupakan wujud gegar komunikasi kaitannya dengan pemahaman akan jihad. Bagi pihak yang tergegar akan rawan melakukan sejumlah aksi teror semacam aksi bom bunuh diri.