Pertarungan antara Dewan Perwakilan Rakyat yang amat terhormat dengan Komisi Pemilihan Umum tentang larangan bekas terpidana korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat untuk sementara waktu sudah berakhir.
Akan tetapi, para "pemakan" uang rakyat dan negara itu belum boleh bersenang-senang dahulu.
Komisi Pemilihan Umum baru-baru ini mengeluarkan keputusan yang disebut PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang bekas-bekas koruptor itu untuk mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat, baik di DPD, DPR RI, DPRD I, maupun DPRD II.
Akan tetapi, DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat sangat menentang PKPU itu dengan alasan yang aneh sekali, yaitu bertentangan dengan hak asasi manusia dan undang-undang yang statusnya di atas PKPU tersebut.
Bahkan, Ketua DPR Bambang Soesatyo sampai berkata bahwa KPU tidak usah mengeluarkan larangan semacam itu sehingga biarlah para pemilih yang lebih dari 150 juta jiwa itu yang memutuskan apakah mereka mau memilih wakil-wakilnya yang bersih ataukah bekas koruptor.
Dalih ketua DPR itu, rakyat Indonesia sudah makin pintar sehingga biarlah mereka sendiri yang menentukan pilihannya dan tidak usah "dilarang-larang" oleh KPU.
Tidak kurang galaknya, suara juga muncul dari Wakil Ketua Komisi I DPD Kalimantan Selatan yang membidangi masalah hukum, Suripno Sumas, dengan mengatakan bahwa PKPU itu melanggar hak asasi manusia.
Rakyat, terutama para pemilih, seharusnya amat pantas untuk balik bertanya kepada Bamsoet atau Bambang Soesatyo serta Suripno dengan sebuah pertanyaan "kecil", akan tapi mendasar sekali, yakni apakah para koruptor itu tidak melanggar hak asasi manusia ratusan ribu, bahkan jutaan rakyat Indonesia. Cobalah Bambang dan Suripno berkaca pada kasus korupsi dana pembuatan KTP elektronik.
Setya Novanto sebagai mantan ketua DPR bersama segelintir anggota DPR lainnya ditambah dengan beberapa pejabat Kementerian Dalam Negeri, serta beberapa pengusaha sampai tega "memakan" uang rakyat yang tidak tanggung-tanggung jumlahnya, yakni sekitar Rp2,3 triliun.
Keluarnya PKPU Nomor 20 itu akhirnya memaksa Ketua KPU Arief Budiman bersama Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan pada Kamis (5/7), di Jakarta, bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laloly, Ketua DPR Bamsoet, agar mencari "jalan tengah" bagi banyak bekas koruptor itu.
Akhirnya dicapai "jalan tengah", yaitu bahwa para tokoh yang pernah dikenal sebagai bekas koruptor itu bisa mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif, baik di pusat maupun daerah.
Pertanyaan mendasar dari pertemuan ini adalah sudah selesaikah kasus PKPU Nomor 20 ini?
Jutaan pemilih rupanya masih berhak menarik napas lega, karena Ketua KPU Arief Budiman memberikan jawaban yang amat jelas.
KPU masih bisa mempersilakan bekas koruptor-koruptor itu untuk mendaftarkan diri sebagai wakil-wakil rakyat yang terhormat.
Namun, menurut Arief Budiman, KPU berhak mencoret atau menggugurkan nama-nama orang bermasalah itu dalam tahap pembuktian atau pengujian yang istilah resminya adalah verifikasi, terutama dalam rekam jejak mereka.
Kalau nama mereka sampai dicoret maka partai-partai politik yang mengajukan mereka bisa mengajukan calon-calon penggantinya. Bahkan, para bekas terdakwa itu bisa mengajukan uji materi atau judicial review kepada Mahkamah Konstitusi.
Terus Terjadi
Kasus pembelaan terhadap bekas koruptor ini terus terjadi dengan 1.001 dalih ataupun argumentasi. Akibatnya, masyarakat tentu mempunyai hak bertanya kepada para wakil rakyat. Tidak hanya DPR dan DPRD yang mempunyai hak bertanya kepada pemerintah.
Sejak zaman dahulu, sudah begitu banyak kasus korupsi yang terjadi di Tanah Air, baik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, hakim sebagai unsur yudikatif, maupun anggota DPR, DPD, hingga DPRD.
Pada era 1970-an, terjadi kasus korupsi yang menggemparkan, dilakukan mantan Kepala Depot Logistik (Dolog) Kalimantan Timur Budiadji yang nilainya ratusan juta rupiah.
Kemudian, selama beberapa tahun terakhir ini sering sekali rakyat harus menerima "pil-pil pahit" berupa kasus korupsi atau gratifikasi, yaitu para pejabat negara menerima suap.
Contoh nyata, antara lain mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman yang menerima "hanya" Rp100 juta dari seorang pengusaha di Sumatera Barat yang ingin juga menjadi importir gula pasir.
Detik ini yang menjadi sorotan masyarakat adalah Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang disangka melakukan korupsi Dana Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh. Saat terjebak dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, ditemukan uang tunai Rp500 juta.
Belum lagi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang terlibat dalam kasus hukum di Kalimantan Tengah. Kemudian ada Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Mohammad Nazaruddin yang ketiganya pernah menjadi wakil-wakil rakyat yang "amat terhormat" di Senayan. Bahkan puluhan mantan dan anggota DPRD Sumatera Selatan dibekuk dalam OTT.
Entah sampai kapan lagi rakyat Indonesia yang jumlahnya saat ini saja sudah mencapai 262 juta jiwa itu, harus terus mendengar kasus-kasus korupsi, gratifikasi, atau apa pun istilahnya, yang menyangkut "uang haram" tersebut. Haruskah rakyat setiap hari mendapat informasi adanya pejabat-pejabat negara yang terkena OTT oleh KPK?
Bambang Soesatyo boleh saja bicara bahwa karena rakyat Indonesia sudah makin pintar maka KPU tidak perlu mengeluarkan larangan demi larangan.
Akan tetapi, apakah betul pendapat Bamsoet itu? Bukankah ada orang-orang di sekitar ketua DPR ini yang telah terbukti menjadi terpidana atau disangkakan melakukan tindakan melawan hukum?
Boleh atau berhakkah rakyat menuntut agar tidak ada satu pun wakil rakyat sebagai hasil Pemilihan Umum Legislatif 2019, tidak menjadi orang yang harus duduk di meja hijau gara-gara "uang haram"?
Sebagian rakyat Indonesia masih hidup dalam kesusahan karena pendapatan mereka tidak cukup untuk menghidupi dirinya sendiri serta anggota keluarganya.
Sementara itu, biaya pendidikan kian mahal dan sulit dijangkau. Demikian pula rumah atau tempat tinggal yang layak masih sering harus menjadi impian rakyat yang entah kapan bisa diwujudkan.
Bisa dan sanggupkah Ketua DPR Bambang Soesatyo yang terhormat bersama 559 wakil rakyat lainnya di Senayan secara konkret membantu rakyat Indonesia?
Berita Terkait
KPU Bangka Barat: Partisipasi pemilih Pilkada 2024 sekitar 65 persen
2 Desember 2024 20:37
Saksi paslon satu sampaikan enam pernyataan sikap ke KPU Bangka Selatan
2 Desember 2024 15:52
KPU Bangka Selatan gelar pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara pilkada 2024
2 Desember 2024 14:31
KPU Belitung Timur pastikan 192 TPS terdokumentasikan Sirekap
1 Desember 2024 15:37
KPU RI: Pilkada lanjutan digelar September 2025 jika paslon tunggal kalah
1 Desember 2024 13:56
KPU lakukan monitoring rekapitulasi perolehan suara pilkada di Bangka Belitung
1 Desember 2024 13:53